KPK Tindaklanjuti Informasi Dugaan Suap Pejabat Senior BI

Kontrak Pencetakan Uang Pecahan Rp 100 Ribu

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti informasi soal dugaan suap yang melibatkan pejabat senior Bank Indonesia (BI). Dugaan suap itu terjadi dalam kontrak pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu oleh perusahaan percetakan Australia, Securency International and Note Printing Australia (SINPA).

Meski belum menerima laporan resmi, KPK segera mengumpulkan informasi soal dugaan suap yang melibatkan duit pelicin USD 1,3 juta (sekitar Rp 11,83 miliar). ''Kami memang belum menerima laporan resmi tentang kasus tersebut. Tapi, yang pasti, kami akan mengumpulkan informasi dugaan suap itu,'' tutur Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. kemarin (25/5).

Johan menuturkan, KPK bisa menindaklanjuti perkara tersebut tanpa mengandalkan laporan dari masyarakat. KPK bisa menggali informasi melalui pemberitaan media. ''Namun, tidak bisa langsung ditetapkan dalam tahap penyelidikan,'' ujarnya.

KPK, kata Johan, tentu mengharapkan adanya laporan resmi dari masyarakat. Bahkan, masyarakat bisa melaporkan kasus suap tanpa menyebutkan identitas (anonim). Apalagi, KPK memiliki fasilitas pelaporan korupsi melalui KPK Online Monitoring System. ''Yang pasti, akurasi data dan informasi dibutuhkan agar bisa ditindaklanjuti,'' katanya. Dia menambahkan, KPK akan menjamin kerahasiaan identitas pelapor.

Menurut Johan, KPK tidak akan pandang bulu dalam menangani kasus dugaan suap. Apalagi, jika sampai menimbulkan kerugian negara. ''Selama itu (dugaan suap oleh) pejabat atau penyelenggara negara dan ada kaitannya dengan uang negara, KPK pasti akan memproses kasus tersebut,'' tegasnya.

Pejabat senior BI diduga menerima suap USD 1,3 juta untuk kontrak pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu tahun emisi 1999 dengan menggandeng SINPA. Uang lembaran plastik itu dicetak di Australia dengan nilai kontrak pengadaan USD 50 juta.

Kasus tersebut terungkap setelah salah seorang mantan karyawan SINPA melaporkan polisi federal Australia (AFP) perihal upaya penyuapan (pejabat) perusahaannya kepada pejabat bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia atau RB) dan pejabat BI.

Berdasar penelusuran Jawa Pos, pada 1999 BI dipimpin Syahril Sabirin. Sedangkan pejabat tinggi yang menangani persoalan sistem pembayaran ialah H.Y. Susmanto sebagai Direktur Pengedaran Uang. Lalu, deputi gubernur yang menyupervisi direktorat tersebut saat itu dijabat Iwan Ridwan Prawiranata. Saat kasus tersebut terjadi, RBA dipimpin Gubernur Bob Rankin, sedangkan SINPA dipimpin mantan Deputi Gubernur Graeme Thompson.

Keterangan BI
Sementara itu, BI menegaskan siap diperiksa soal dugaan suap USD 1,3 juta terkait dengan pemenangan tender pencetakan uang pecahan Rp 100 ribu. Bank sentral juga siap menjelaskan duduk masalah kasus tersebut.

''Saat ini kami tidak bisa bilang isu (suap) itu benar atau salah. Ini perlu diklirkan. Kalau memang mau diperiksa, silakan saja. Termasuk kalau KPK, Kejaksaan Agung (mau mengusut). Kami terbuka jika ada penegak hukum yang mencurigai sesuatu,'' kata Deputi Gubernur BI Budi Rochadi di Kantor BI, Jakarta, kemarin.

Auditor internal BI juga menggali informasi untuk penyelidikan kasus tersebut. ''Tapi, dari pengamatan sementara, tidak ada masalah,'' ujar Budi.

Dia juga menegaskan, BI tidak pernah menggunakan broker (makelar) dan campur tangan pihak luar dalam kontrak pencetakan uang. ''Kalau ada yang kemudian ngaku-ngaku, itu kan bisa saja. Makanya, harus dicari tahu,'' tuturnya.

Pemilihan anak usaha bank sentral Australia (SINPA, Red) sebagai pencetak uang, kata Budi, bukan tanpa alasan. Pada 1999, mereka adalah pelopor dan satu-satunya negara pembuat bahan uang selain berbahan polimer. Kala itu, bahan polimer dinilai lebih bagus dari sisi gambar, kebersihan, dan keawetan.

Uang kertas dari bahan polmer, jelas dia, lebih kuat dua setengah kali lipat daripada uang berbahan kertas biasa. Kala itu, uang pecahan Rp 100 ribu dicetak 500 lembar. ''Saat itu, Perum Peruri (BUMN yang ditugasi mencetak uang rupiah, Red) belum bisa mencetak uang berbahan polimer,'' jelas Budi.

Namun, meski ketika itu dinyatakan unggul, uang berbahan polimer tersebut akhirnya dicabut BI. Menurut BI, memalsunya gampang karena tidak dilengkapi dengan benang pengaman dan gambar air seperti di bahan kertas. Keawetan bahan polimer ternyata juga tidak berlaku di daerah panas seperti Indonesia. Jika dilipat atau berkerut, uang berbahan tersebut tidak bisa kembali rapi seperti semula. ''Kami dan beberapa negara lain akhirnya tidak pakai lagi karena banyak kelemahan,'' tuturnya. (sof/ken/c1/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 26 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan