KPK Pascanegosiasi Nazaruddin-SBY

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan M Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat,dan akan menjeratnya dengan 31 perkara tindak pidana korupsi (tipikor) di lima kementerian.

Nilai perkaranya lebih dari Rp6 triliun, mendekati skandal penalangan Bank Century (2008). Saat buron, Nazaruddin menyerang berbagai pihak,misalnya komisioner KPK Chandra Hamzah dan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja yang sedang mengikuti seleksi pimpinan KPK 2011–2015.

Tipikor yang dilakukan Nazaruddin juga mencemarkan kredibilitas partai dan pemerintahan yang ditopang Partai Demokrat. Dia memasok dana miliaran rupiah ke partainya dan mengaku mengoperasikan dana pemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (2010).

Negosiasi dengan SBY
Tipikor terjadi dalam jejaring. Selain terkait Badan Anggaran DPR dan birokrasi kementerian yang digagahinya, Nazaruddin berulah saat dia berstatus sebagai bendahara partai. Jejaring ini terkait dengan 20-an perusahaan yang dikelolanya. Kalau penanganan perkara yang melibatkan Nazaruddin tak dijernihkan,noda hitam akan membekas pada partai.

Banyak pihak di internal Partai Demokrat siap menerima kenyataan pahit apabila perkara Nazaruddin berimbas kepada partai. Yang menarik, Nazaruddin berkirim surat kepada SBY, Presiden RI dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat,tentang keluarga dan nasib dirinya (18/8). Dia meminta agar SBY melindungi istri dan anaknya. Sebagai pertukaran, dia tak akan menjerumuskan Partai Demokrat bersama perkaranya.

Dia akan menggunakan hak bungkam (the right to remain silent) dan siap menanggung sendiri risiko tipikor yang dilakoninya; kalau perlu, tanpa proses yang berkepanjangan. Mungkin inilah pertama kali seorang tersangka melakukan negosiasi dengan presiden, dan secara terbuka melalui media massa. Sebetulnya surat Nazaruddin mencerminkan sisi yang rumit dan sensitif dari perkaranya.

Keterlibatannya dalam tipikor merusak citra pemerintahan SBY dan partai berkuasa yang dibidani SBY. Pihak KPK dan Partai Demokrat menyadari surat itu adalah ulah lawyering yang memperhadapkan KPK dengan SBY.Apabila “menyetujui” hak bungkam Nazaruddin pada banyak perkara,tentu SBY akan mengintervensi KPK dengan berbagai risiko politik dan ketatanegaraan. Jelas tindakan gegabah.

Di sisi lain,KPK akan bunuh diri kalau tidak konsisten dan transparan menyelesaikan perkara Nazaruddin yang sudah diumumkan. SBY menyadari implikasi surat Nazaruddin dan bereaksi cepat (21/8/2011), yaitu mempersilakannya berbicara secara terbuka, jelas, dan tuntas tentang siapa pun yang terlibat dalam perkaranya.Meski menjawab secara normatif, surat SBY menentukan “politik pertukaran yang terkalkulasi” tentang siapa yang akan bertanggung jawab terhadap noda partai saat ini.

Kecepatan tanggapan SBY terhadap surat Nazaruddin tidaklah mengejutkan. Lebih tidak mengejutkan karena SBY telah mengendapkan informasi tentang ulah Nazaruddin dari tahun 2010, sejak Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meng-informasikan kepadanya. SBY tentu sudah memperhitungkan berbagai konsekuensinya sejak dia meminta Mahfud MD menyampaikan ulah Nazaruddin secara terbuka kepada publik. Suratnya kepada Nazaruddin juga sudah diperhitungkan.

Di Belakang KPK
Akankah Nazaruddin jadi “pelaku tunggal”tipikor? Tampaknya dia menyadari, menyeret pelaku lain tidak sertamerta memberikan perlindungan diri, apalagi membebaskannya dari tuduhan tipikor. Dipadukannya ancaman tentang keterlibatan namanama lain,khususnya di Partai Demokrat, dengan rencana menggunakan hak bungkam. Andaikata Nazaruddin bungkam, KPK tetap akan disorot apabila tidak menelisik keterlibatan nama-nama lain dalam 31 perkara yang sudah diumumkan.

Keterlibatan petinggi Partai Demokrat atau pihak lain pada perkara Nazaruddin ditentukan oleh relasi Nazaruddin dengan KPK. Penyelesaian perkaranya secara transparan dan akuntabel masih harus dibuktikan KPK dan Pengadilan Tipikor, yaitu dengan menerapkan prosedur penanganan perkara secara layak (due process of law). Kemungkinan besar 31 perkara Nazaruddin akan melimpah kepada kepemimpinan KPK 2011–2015, sehingga seleksi komisioner KPK saat ini semakin sarat kepentingan.

Proyeksi kepentingan sudah ditunjukkan oleh pembahasan calon komisioner KPK di Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (Setgab Koalisi). Konfigurasi kepemimpinan baru KPK, berdasarkan hasil kompromi pemeringkatan oleh Panitia Seleksi ataupun dengan fraksifraksi Setgab Koalisi di Komisi III DPR, memengaruhi penanganan kasus Nazaruddin dan perkara lainnya.

Politik Hukum
Pemberantasan korupsi memang tak steril dari politik. Seperti kesepakatan politik pada umumnya, kesuksesan atau kegagalan pemberantasan korupsi ditentukan juga oleh faktor konsistensi para aktor politik terhadap kesepakatan ini. Ketika berdemokrasi tak dilakoni dalam rambu-rambu pemisahan kekuasaan, independensi lembaga dan proses penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan korupsi,

selalu rawan ditundukkan pada logika dan kepentingan kekuasaan.Kondisi ini belum menjauh dari masa Orde Baru yang akrab dengan “politik sebagai panglima”. Maka itu,segala aturan perilaku bagi lembaga-lembaga hukum harus segera diperbaiki. Inilah salah satu cara membuat kinerja lembaga-lembaga hukum, sebagai institusi negara, agar lebih mengabdi pada kepentingan pencari keadilan.●

MOHAMMAD FAJRUL FALAAKH, Anggota Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 19 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan