KPK di Ujung Tanduk?

Reaksi politikus dari partai politik besar atas penahanan beberapa anggota DPR yang disangka terlibat kasus suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Senior BI Miranda Gultom telah mengarah pada upaya perlawanan balik yang serius.

Ancaman,boikot, hingga praktik memobilisasi massa pendukung untuk mengganggu proses penegakan hukum dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan politikus Senayan merupakan sinyal buruk bagi program antikorupsi. Dugaan bahwa partai politik tidak lebih sebagai bungker perlindungan bagi para kadernya yang bermasalah karena kasus korupsi kian menjadi kenyataan. Pada tingkat yang dipandang legal, partai politik dengan sigap menyiapkan tim hukum untuk memberikan pembelaan, yang kadangkala dapat menjelma sebagai tekanan politik.

Terakhir, status Bibit dan Chandra—meskipun telah mendapatkan deeponering dari Kejaksaan Agung—tetap dipersoalkan oleh Komisi III DPR RI. Pemberantasan korupsi hanya akan mendapatkan dukungan politik jika bergerak pada pusaran arus kecil, tetapi akan dianggap sebagai musuh yang membahayakan andai telah mengganggu kepentingan politik. Istilah kriminalisasi atau politisasi mudah sekali dicapkan kepada penegak hukum, khususnya KPK yang beberapa kali telah berhasil membongkar skandal korupsi para politikus Senayan. Serangan terhadap KPK kadangkala dibumbui dengan argumentasi bahwa proses penegakan hukum terhadap politikus hanya kencang bagi partai politik yang memosisikan diri sebagai oposisi. Seperti PDI Perjuangan yang menggunakan istilah kriminalisasi.

Sayangnya, berbagai komentar yang dimaksudkan untuk menekan secara politik lembaga seperti KPK banyak yang tidak didukung oleh data akurat. Sebut sebagai contoh adalah PDI Perjuangan. Sebelum kasus cek pelawat ditangani KPK,sebenarnya tidak ada satu pun politikus PDI Perjuangan yang diproses secara hukum oleh KPK. Sementara, dalam kasus lain,politikus dari Golkar, PPP, dan beberapa partai politik yang lain justru pernah diproses KPK karena terlibat korupsi.

Pusaran Kekuasaan
Melawan korupsi tak ubahnya mengurai tali temali kepentingan yang sudah sedemikian kokoh tersusun antara kekuasaan politik, bisnis, dan birokrasi. Saking kuatnya relasi kepentingan itu, perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia kerap mengalami kegagalan. KPK tampaknya sebuah fenomena sekaligus harapan baru yang lahir pascareformasi. Dengan wewenang yang diberikan UU, posisi yang ‘relatif’ independen dengan pemerintah berkuasa maupun sektor kekuasaan yang lain, lembaga yang terhitung baru dengan sumber daya manusia yang masih segar,KPK bisa berbuat lebih daripada penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian.

Tetapi, meskipun kiprahnya telah membuat keder banyak pihak, KPK tetaplah lembaga yang rentan terhadap pengerdilan. Konflik cicak versus buaya adalah representasi yang paling valid untuk menunjukkan bagaimana posisi KPK selalu akan dipengaruhi pusara kekuasaan yang bermain. Upaya untuk menggembosi KPK tentu saja tidak akan sedemikian telanjang karena akan langsung berhadapan dengan reaksi keras publik.Namun, berbagai muslihat untuk ‘mengendalikan’ liarnya KPK akan terus dilakukan, dengan cara dan pendekatan yang beraneka ragam.

Dua Momen Krusial
Masa depan KPK pascakasus cek pelawat akan sangat ditentukan dua momentum krusial yang sebentar lagi kita lewati. Pertama, proses seleksi kembali calon pimpinan KPK Jilid III pada 2011 mengingat masa bakti pimpinan KPK Jilid II akan berakhir. Bagi kelompok antipemberantasan korupsi, periode seleksi calon pimpinan KPK tentu saja merupakan kesempatan untuk membangun pengaruh. Dengan berkaca pada proses seleksi sebelumnya,terutama pada saat fit and proper test di DPR, upaya untuk ‘menyandera’ KPK sangatlah tampak.

Dari beberapa kandidat yang latar belakangnya secara objektif paling tepat memimpin KPK justru tidak masuk dalam radar anggota DPR. Sebaliknya, para kandidat yang cenderung kompromistis, tidak memiliki pengalaman yang kuat dalam agenda pemberantasan korupsi, kontroversial dari sisi integritas kerap kali menjadi kandidat favorit.Tentu saja sulit untuk tidak mengatakan bahwa proses fit and proper test sudah diselubungi oleh berbagai macam kepentingan sehingga sepak terjang KPK bisa dikendalikan. Investasi politik yang ditanamkan pada pimpinan KPK akan sangat menentukan kebijakan penegakan hukum KPK di kemudian hari.

Proses seleksi calon pimpinan KPK akan lebih panas daripada periode sebelumnya.Momentum pemilihan calon pimpinan KPK juga akan selalu menjadi ajang pertarungan sengit bagi kelompok yang mendukung agenda pemberantasan korupsi dengan para pihak yang menginginkan KPK bubar. Momentum kedua adalah program legislasi nasional 2011 yang sangat mungkin akan memasukkan UU KPK sebagai salah satu UU yang perlu direvisi.

Alih-alih akan disesuaikan dengan semangat dan prinsip pokok dalam konvensi PPB antikorupsi, 2003 (UNCAC) yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2006, sangat mungkin rencana melakukan amandemen terhadap UU KPK lebih difokuskan untuk mengatur kembali (baca: mengurangi) kewenangan esensial KPK.Jika memang UU KPK akan dijadikan sebagai prioritas amandemen di parlemen, bisa diduga bahwa hal itu merupakan bentuk konkret perlawanan politikus Senayan terhadap KPK.Targetnya tentu saja bagaimana agar wewenang KPK tidak terlalu besar, sehingga KPK tidak secara leluasa bisa menangkap basah para pihak yang tengah melakukan korupsi.

Gambaran yang mengkhawatirkan itu sangat ironis jika kita bandingkan dengan kekaguman komunitas internasional terhadap kinerja KPK. Bukan hanya lembaga negara, akan tetapi lembaga kerja sama internasional sekaligus komunitas masyarakat sipil di berbagai negara juga ingin mengetahui lebih rinci keberhasilan KPK Indonesia dalam memberantas korupsi. Mereka hendak belajar dari KPK Indonesia mengapa bisa sedemikian bagus.Tentu kita tidak berharap,ketika mereka tengah berada di Indonesia untuk belajar lebih jauh tentang KPK,lembaga ini sudah tinggal sejarah.●

ADNAN TOPAN HUSODO, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 22 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan