KPK; Apakah Dukungan dan Harapan Itu Masih Kuat?

Kamis, 30 Oktober 2008, sekitar pukul 14.30. Saat itu, hanya sekitar 10 wartawan yang ada di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta. Sebagian besar wartawan yang meliput kegiatan antikorupsi sibuk meliput vonis untuk mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, juga di kawasan Kuningan.

Saat wartawan di KPK mendengar informasi Burhanuddin telah divonis lima tahun penjara karena perkara penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), tiba-tiba ada informasi, Ketua KPK (saat itu) akan menggelar jumpa pers. ”Segera kumpul di KPK. Penting. AA (Antasari Azhar) mau konpres (konferensi pers).” Demikian pesan pendek (SMS) yang segera dikirimkan wartawan di KPK kepada rekan-rekannya yang masih berada di Pengadilan Tipikor.

Namun, tanpa menunggu wartawan lengkap, Antasari segera keluar dan menyatakan, mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, yang juga besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penarikan dana YPPI. Turut jadi tersangka tiga mantan Deputi Gubernur BI lainnya, Bunbunan EJ Hutapea, Maman H Soemantri, dan Aslim Tadjuddin.

Aktivitas
Aktivitas rutin terjadi di KPK. Aulia datang ke KPK untuk diperiksa melalui pintu depan dan pulang juga lewat pintu depan. Ketika hendak ditahan, dia juga keluar lewat pintu depan.

Aktivitas itu disebut rutin karena berlaku untuk siapa saja. Ketika Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (saat itu) Paskah Suzetta memberikan keterangan ke KPK, juga masuk dan keluar lewat pintu depan. Demikian juga dengan Menteri Kehutanan (saat itu) MS Kaban dan Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Yusril Ihza Mahendra.

Kebijakan KPK itu amat dihargai karena menumbuhkan banyak harapan tentang penegakan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu di masyarakat. KPK makin dihormati masyarakat, sekaligus ditakuti koruptor.

Tanpa ganjalan
Kebijakan KPK ini bukannya tanpa ganjalan. Komisi itu selalu mendapat pertanyaan kritis saat rapat kerja di DPR. Sejumlah sesaji juga sering ditemukan di depan Kantor KPK.

Namun, publik selalu membela dan mendukung KPK. Kuatnya dukungan terhadap KPK dapat dilihat saat Antasari terpeleset dan ada dugaan kriminalisasi kepada dua wakil ketua komisi itu, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Kini, apakah dukungan dan harapan terhadap KPK itu masih tetap kuat ketika komisi itu mulai menemui berbagai masalah? Seperti tiadanya sanksi tegas untuk dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Direktur Penuntutan Ferry Wibisono? Atau ketika sejumlah kebijakan dan aktivitas rutin mulai ditinggalkan.

Yang pasti, pembelaan terhadap kasus Bibit-Chandra pada saat ini sudah tidak segencar akhir 2009. (NWO)
Sumber: Kompas, 30 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan