Kotak Pandora Bank Century

Debat sistemik atau tidaknya kebijakan bailout Bank Century bukanlah satu-satunya akar masalah yang harus dibongkar. Ibarat samudra, ada palung yang lebih dalam dan lebih gelap yang harus dilihat, yakni proses dan tempat penyimpanan harta rampasan ”bajak laut” Century.

Sebut saja tentang fenomena mafia perbankan yang berkompromi dengan mafia politik, serta ”penyiasatan” hukum untuk bebas dari jerat korupsi.

Jika Panitia Khusus (Pansus) Bank Century ingin menguak skandal ini lebih dalam, hal itu tak boleh luput dicermati. Persidangan Pansus, Senin (4/1), awal tahun 2010, seharusnya menjadi harapan, bukan kecemasan berulangnya politik transaksional.

Mafia perbankan
Dunia perbankan dinilai sebagai wilayah yang sangat basah bagi praktik korupsi. Kasus Century bukanlah kasus yang tiba-tiba terjadi dan benar-benar baru. Mencermati audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 64/ LHP/XV/11/2009 jelas terlihat sebelum debat bailout soal alasan sistemik terjadi, ada deretan pelanggaran aturan yang dilakukan dalam kegiatan perbankan di Century sejak lama.

Beberapa pelanggaran itu pun mirip dan juga berulang di kasus-kasus perbankan lainnya. Sebut saja tiga dugaan penyimpangan yang paling menonjol, yakni L/C fiktif; pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), yang kemudian berujung aliran keluar dana nasabah dalam jumlah sangat banyak, dan upaya pembenaran melalui kebijakan.

Kasus dengan varian yang sama pernah terjadi dalam mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BDNI; dan Bank Bali yang bahkan sempat menjerat mantan Gubernur BI serta sejumlah dugaan aliran dana politik. Kasus Bank Global pada 2004 pun memperlihatkan variasi yang sejenis. Dimulai dari pemalsuan reksa dana, direktur bank kemudian melarikan uang hingga Rp 500 miliar ke luar negeri. Isu dana politik menjadi hal terhangat yang dibicarakan saat itu.

Satu hal yang mirip dengan skandal Bank Century adalah para nasabah yang ternyata terdiri dari BUMN besar di Indonesia. Saat itu, adagium yang lekat di badan usaha milik negara (BUMN) adalah ”sapi perahan” politisi. Entah kenapa BUMN sangat antusias menanamkan uang negara pada bank yang diragukan kredibilitasnya.

Namun, nasib Bank Global tidaklah sebaik Bank Century. Dengan ”dosa” yang relatif ringan dibanding Bank Century, BI akhirnya menyatakan mencabut izin Bank Global (13/1/ 2005). Kemudian, sejumlah pihak dijerat secara berlapis dengan undang-undang tindak pidana korupsi dan perbankan.

Benang merah praktik mafia perbankan itu ternyata tidak lepas dari sejumlah pejabat penting di BI. Kasus terakhir yang masih diingat persis oleh publik adalah penyalahgunaan dana sebesar Rp 100 miliar anggaran YPPI. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor bahkan telah menyeret mantan Gubernur BI, Deputi Gubernur BI, sejumlah direktur BI, dan anggota DPR.

Khusus untuk skandal Century, apakah para mafia perbankan masih menjadi aktor utama di balik kebijakan dan pelanggaran di sana? Pansus Bank Century sepatutnya melihat secara cermat kemungkinan ini. Pasalnya, jika DPR mampu mengungkap mafia perbankan, khususnya di BI, sesungguhnya kita tidak hanya sedang menyelesaikan satu kasus Century, tetapi telah meminimalisasi potensi kembali terjadinya perampokan dan korupsi di sektor perbankan.

Dugaan korupsi
Hasil dari temuan tersebut tentu tidak boleh berhenti di jalur politik semata. KPK seharusnya menjadi lembaga yang mengonkretkan proses hukum semua ”bajak laut” Century.

Menurut analisis ICW yang diturunkan dari hasil pemeriksaan investigasi BPK, dugaan korupsi atau minimal pelanggaran hukum dalam kasus Century dapat dikerucutkan di empat titik. Pertama, dalam proses merger tiga bank; kedua, penyaluran fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), ketiga, pengambilan keputusan KSSK dan penyaluran penyertaan modal sementara (PMS); dan keempat, dugaan penyalahgunaan dana FPJP dan PMS.

Dari empat titik di atas diharapkan, aktor-aktor utama mafia perbankan, broker politik dan para penikmat skandal Century bisa dijerat. Akan tetapi, pansus, KPK, dan publik juga perlu hati-hati dengan beberapa gerakan pembenaran skandal Century. Segala celah hukum untuk lolos dari jerat UU perbankan dan tindak pidana korupsi agaknya sudah disiapkan. Kita setidaknya bisa membaca tiga poin krusial pembenaran.

Pertama, argumentasi hukum tata negara (HTN) bahwa Perppu JPSK masih berlaku karena tidak pernah ditolak secara tegas oleh DPR. Kedua, mengatakan bailout Rp 6,7 triliun bukanlah termasuk keuangan negara karena tidak berasal dari APBN. Dan, ketiga, membangun wacana hukum bahwa ”kebijakan tidak bisa dipidana”, khususnya pidana korupsi.

Jika tiga argumentasi tersebut berhasil diterima oleh penegak hukum, khususnya KPK, maka skandal Bank Century akan menemui jalan buntu. Atau, kalaupun tetap ditangani, maka yang akan dijerat bukanlah master mind atau aktor utama. Oleh karena itu, kita perlu kawal KPK agar tidak terjebak dengan tiga logika di atas.

Pemetaan sederhana kasus Century dan kemungkinan celah pembenaran skandal ini seharusnya menjadi concern publik. Adapun KPK dan Pansus perlu lebih tajam mengungkap titik-titik panas tersebut. Berkutat pada debat alasan sistemik semata bisa menjebak kita pada jalan tak berkesudahan. Lebih baik fokus pada pelanggaran pidana di level kebijakan dan implementasi; serta pembongkaran mafia perbankan dan broker politik di balik skandal ini. Pasalnya, hal itu adalah petunjuk untuk melihat apa sebenarnya isi sebuah kotak pandora bernama Century.

Febri Diansyah Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan