Korupsi Vs Nama Baik

Perseteruan antara Susno Duadji, mantan Kepala Bareskrim Kepolisian RI, dan beberapa petinggi kepolisian tampaknya semakin memanas.

Berdasarkan pernyataan beberapa pejabat Polri kepada publik, manuver Susno dipandang tak saja sebagai serangan terhadap segelintir oknum petinggi kepolisian, tetapi juga dimaknai sebagai ancaman serius terhadap citra kepolisian sebagai sebuah lembaga penegak hukum. Belakangan, perseteruan melebar setelah pihak kejaksaan merasakan hal yang sama dengan kepolisian.

Konstelasi panggung perseteruan semakin terpola ketika kepolisian dan kejaksaan bersama-sama ”mengeroyok” petinggi Polri yang pernah jadi simbol tokoh buaya dalam konflik panas antara cicak versus buaya (baca: KPK versus kepolisian) beberapa waktu lalu.

Puncaknya, Susno ditetapkan sebagai tersangka terkait laporan Brigjen (Pol) Edmon Ilyas dan Brigjen (Pol) Raja Erizman dengan dugaan pencemaran nama baik dan dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP. Sebagaimana diketahui, Susno Duadji menyebutkan nama dua jenderal di kepolisian yang menurutnya terlibat dalam praktik makelar kasus saat mereka jadi anak buahnya semasa Kepala Bareskrim.

Di luar perseteruan personal antara Susno dan kepolisian serta kejaksaan, penetapan status tersangka itu menunjukkan sebuah persoalan klise dalam ranah penegakan hukum kasus korupsi: ketegangan antara mendahulukan proses hukum terhadap adanya pengungkapan/laporan kasus korupsi oleh pengungkap/pelapor di satu sisi dan ancaman kriminalisasi terhadapnya pada sisi lain, setelah ada laporan balik dari pihak yang disebut namanya oleh pelapor.

Ketegangan itu secara normatif sebenarnya sudah teratasi dengan diintroduksinya berbagai instrumen hukum yang mengindikasikan preferensi kepada masyarakat agar lebih terstimulasi berani mengungkap kasus korupsi daripada menakut-nakuti mereka dengan mambang pencemaran nama baik.

Setidaknya Surat Edaran Bareskrim Mabes Polri tanggal 7 Maret 2005 perihal Permohonan Perlindungan Saksi atau Pelapor yang ditujukan kepada Kapolda se-Indonesia—yang mengimbau jajaran kepolisian di berbagai daerah agar mendahulukan penanganan laporan kasus korupsi dan menunda laporan pencemaran nama baik dari pihak-pihak yang merasa dinistakan namanya dengan adanya laporan sebuah skandal korupsi—secara jelas menunjukkan hal itu.

Surat edaran yang notabene merupakan tindak lanjut surat pemimpin KPK tanggal 31 Januari 2005 perihal Permohonan Perlindungan Saksi atau Pelapor yang ditujukan ke Kapolri ini tampaknya pengejawantahan lebih lanjut spirit Pasal 41 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: dibuka ruang partisipasi publik mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Absurd membayangkan, saat publik diberi ruang partisipasi dalam aktivitas antikorupsi (dalam bentuk mengungkap atau melaporkan kasus), saat itu pula mereka terintimidasi oleh teror: dilaporkan balik dengan sangkaan pencemaran nama baik.

Paradoks
Dirujukkan kepada aturan normatif Surat Edaran Bareskrim Mabes Polri dan ketentuan Pasal 41 UU Tipikor, persoalan klise itu mestinya sudah jelas duduk perkaranya. Apa lacur, praktik di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Itulah yang terjadi pada penetapan status Susno Duadji sebagai tersangka.

Pada hemat penulis, prioritas kepolisian mendahulukan proses hukum pencemaran nama baik terhadap Susno daripada mengungkap skandal mafia pajak yang diungkapnya terasa kontradiktif dan paradoks terhadap beberapa hal.

Pertama, jika pilihan semacam itu dilakukan, tindakan kepolisian itu jelas kontradiktif dengan surat edarannya sendiri. Akibatnya, kepolisian tak hanya akan dituduh tak konsisten, tetapi bisa dianggap menjilat ludah sendiri.

Kedua, yang dilakukan kepolisian itu berpotensi berefek bola salju terhadap jajaran kepolisian di berbagai daerah di Indonesia, terutama ketika preseden itu dibaca sebagai ”penanda penting” sedang bergeraknya sebuah pendulum kebijakan: dari yang mempreferensikan penanganan laporan korupsi di atas penanganan laporan pencemaran nama baik menjadi sebaliknya. Apa yang dilakukan oleh (Mabes) Polri ini adalah paradoks kebijakan.

Dampak yang dikhawatirkan ke depan: polisi di daerah akan lebih agresif mengkriminalkan pihak yang mengungkap atau melaporkan skandal korupsi dengan jerat pencemaran nama baik daripada menangani pengungkapan atau pelaporan kasus korupsinya. Jika terhadap Susno Duadji, seorang Komjen Polisi, hal itu bisa dilakukan, apatah lagi terhadap orang biasa di daerah yang berani mengungkap sebuah praktik korupsi.

Ketiga, jika yang dilakukan kepolisian saat ini terhadap Susno diletakkan dalam kerangka perlakuan eksesif terhadap seorang peniup peluit, maka tindakan itu jelas paradoks dengan logika perlindungan yang seharusnya diberikan terhadap seorang saksi atau pelapor kasus korupsi.

Alih-alih memberikan ruang kepada Susno agar lebih leluasa membeberkan skandal yang akan dibongkarnya, penetapan status tersangka dengan jerat pencemaran nama baik bisa dimaknai publik sebagai upaya ”pembungkaman” agar yang bersangkutan tidak meneruskan nyanyiannya mengenai skandal mafia pajak di kepolisian. Jika benar itu yang terjadi, patut dipertanyakan apa motif kepolisian melakukan hal tersebut? Sengajakah untuk menutup celah terbongkarnya ”jaringan” gurita mafia pajak di jajaran elite kepolisian?

Hasrul Halili Dosen dan Kabid Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian anti (PuKAT) Korupsi FH UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan