Korupsi (Tidak) Ada Matinya

Tidak terbantahkan, korupsi benar-benar menjadi ancaman laten terhadap keberlangsungan negeri ini. Agar bahaya itu tidak mudah hilang dari ingatan, aturan hukum menambahkan predikat ”baru” bagi korupsi, yaitu sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Tidak berhenti sampai di situ, melihat dampak buruk yang ditimbulkannya pada sisi kemanusiaan, sejumlah kalangan tidak pernah ragu menyebut korupsi sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Selain melekatkan simbol baru itu, tindak pidana korupsi juga diancam dengan hukuman yang tidak dapat dikatakan ringan. Misalnya, tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam masa krisis ekonomi dapat dijatuhi dengan pidana mati.

Begitu pula dengan lembaga, untuk maksud memberikan akselerasi dalam memberantas korupsi, dibentuk lembaga independen bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan sangat ekstra. Sebagai institusi super, KPK dapat melakukan langkah-langkah yang extraordinary pula.

Tambahan simbol, ancaman hukuman dan pembentukan lembaga super, sepertinya tidak mampu menahan laju korupsi di negeri ini. Buktinya, merujuk tren korupsi semester I tahun 2010 yang dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW), terjadi peningkatan tajam (Kompas, 5/8) jika dibandingkan dengan tahun 2009.

Untuk jumlah kasus, misalnya, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat: 86 kasus (2009) menjadi 176 kasus (2010). Bukan tidak mungkin, sekiranya ada data yang lebih komprehensif, angka korupsi hampir dapat dipastikan akan jauh lebih masif. Tidak hanya pada kenaikan jumlah kasus, kerugian negara yang ditimbulkan serta jumlah tersangka juga berada pada kelipatan yang nyaris sama.

Dalam hal kerugian, tahun 2009 kerugian mencapai Rp 1,17 triliun, lalu meningkat mencapai Rp 2,1 triliun. Begitu pula dengan pelaku, terjadi peningkatan dari 217 menjadi 441 tersangka. Sekiranya ditambahkan dengan kasus-kasus korupsi yang selama ini terbengkalai, jumlah kasus korupsi pasti lebih mencengangkan. Jangan-jangan tren korupsi yang dirilis ICW hanya seujung kuku dari semua praktik korupsi yang sesungguhnya terjadi.

Menjual kewenangan
Dengan segala keterbatasan data ICW, secara jujur harus diakui, tren yang kian meningkat menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini seperti tidak ada matinya. Karena itu, masalah mendasar yang harus dipertanyakan: apa yang salah dengan agenda pemberantasan korupsi?

Disadari sepenuhnya, tidak mudah mengurai secara tuntas akar masalah penegakan hukum pemberantasan korupsi. Namun, mencermati tiga faktor utama yang selama ini dinilai berpengaruh signifikan dalam penegakan hukum, yaitu aturan hukum, penegak hukum, dan perilaku hukum masyarakat, ketiganya memberikan kontribusi atas meluasnya praktik korupsi selama ini.

Namun, jika ditelusuri lebih komprehensif, faktor penegak hukum dapat dikatakan memberikan kontribusi paling signifikan. Bukti paling nyata, dalam banyak kasus kejadian yang terungkap, sebagian penegak hukum begitu mudah menukar kewenangan yang dimiliki untuk meraih keuntungan pribadi.

Banyak contoh yang dapat dikemukakan, sebut saja kasus yang pernah mengguncang Gedung Bundar ketika jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap KPK menerima uang ”tanda terima kasih” dari Artalyta Suryani dalam penanganan skandal BLBI. Atau contoh lain, betapa ”mesranya” hubungan Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi hukum di negeri ini.

Tidak hanya pengalaman yang terjadi di proses awal, sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan, sejumlah hakim pun terbukti amat mudah menukar kemuliaan hakim untuk segala kepentingan di luar hukum. Padahal, dengan predikat sebagai ”wakil Tuhan” di muka bumi, hakim harus mampu menjaga integritas. Bagaimanapun, kewibawaan pengadilan sangat ditentukan oleh integritas hakim. Karena itu, sulit berharap wajah penegakan hukum akan berwibawa jika hakim banyak yang menggadaikan integritas.

Dalam agenda pemberantasan korupsi, tidak mungkin mengharapkan kemajuan jika penegak hukum gagal mempertahankan integritas pribadi. Bagi para pelaku dan mereka yang terkait dengan praktik korupsi, penegak hukum yang tidak berintegritas adalah lahan empuk untuk menjaga keberlanjutan praktik korupsi. Karena itu, semakin mudah penegak hukum menjual dan menggadaikan kewenangannya, praktik korupsi akan makin menemukan lahan subur.

Toleransi

Gagasan menyikapi secara ekstrem (Kompas, 6/8) untuk mengurangi praktik korupsi tidak mungkin terjadi sekiranya semua pihak masih tetap memberikan toleransi bagi mereka yang tersangkut dengan kasus korupsi. Dalam banyak contoh, dari hulu sampai hilir, penegakan hukum dikenal sangat toleran bagi mereka yang terkait dengan kasus korupsi. Pada tingkat yang paling rendah saja, misalnya, banyak dari mereka yang telah ditetapkan menjadi tersangka tidak ditahan. Padahal, penahanan akan memberikan pesan jelas bagi para pelaku korupsi.

Tidak hanya dalam soal itu, hukuman yang dijatuhkan terbilang rendah untuk praktik korupsi yang begitu masif. Sebagaimana dikemukakan di atas, ketentuan hukum memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman mati. Namun, sejauh ini, belum satu pun pelaku korupsi yang dihukum mati.

Kalau untuk mereka yang terkait dengan narkoba dan terorisme banyak yang dihukum mati, mengapa bagi koruptor seperti diharamkan? Padahal, dampak yang ditimbulkan korupsi tidak kalah dibandingkan narkotika dan terorisme.

Toleransi semakin kelihatan jelas setelah mereka menjalankan hukuman di lembaga permasyarakatan (LP). Jamak diketahui, di antara mereka yang dihukum, LP seperti hanya mengalihkan suasana dari rumah sendiri. Dengan segala kemudahan dan ditambah hukuman yang terbilang ringan, pemidanaan seperti kehilangan makna hakikinya.

Yang lebih sulit dipahami, kemudahan itu masih ditambah dengan fasilitas lain berupa pengurangan hukuman pada saat- saat tertentu. Dengan toleransi sistemik itu, mengurangi praktik korupsi jelas seperti burung pungguk merindukan bulan.

Tidak hanya di wilayah penegakan hukum, parpol juga memberikan toleransi bagi mereka yang terkait korupsi. Bahkan, untuk target politik tertentu, sejumlah parpol menutup mata semua itu. Sulit dibantah, mencari proteksi ke parpol (terutama yang besar) telah menjadi modus baru bagi mereka yang terkait korupsi.

Tidak hanya itu, sejumlah fakta menunjukkan, hubungan parpol dengan mereka yang tersangkut korupsi menjadi semacam simbiosis mutualisme. Karena itu, tak perlu heran jika banyak tersangka dicalonkan menjadi anggota legislatif dan kepala daerah.

Disadari, penyakit mati rasa merupakan ancaman laten dalam memberantas korupsi di negeri ini. Karena itu, praktik korupsi hanya bisa mati (setidaknya dikurangi) jika kesadaran kolektif kita bisa siuman. Tanpa itu, jangan pernah bermimpi keluar dari kubangan korupsi.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Agustus 2010

Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2010/08/11/02525398/Korupsi.Tidak.Ada.Matinya

Baca lebih lengkap tulisan ini, dengan mengunduhnya di sini dalam format image jpg...

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan