Korupsi Membusukkan Reformasi

Paruh akhir 1997, gelombang krisis moneter menyapu Asia Timur dan Tenggara hingga mengeroposkan sistem ekonomi Soeharto. Tak berapa lama, terkuak skandal keuangan gila-gilaan senilai Rp 144,5 triliun yang ngetop sebagai skandal BLBI dan merugikan negara lebih dari Rp 600 triliun.

Beberapa bulan kemudian disusul gelombang protes mahasiswa dan berbagai kalangan masyarakat yang sudah muak dengan penindasan politik dan korupsi yang berpusat di Istana Cendana bersama kroni-kroninya yang disebut ”konglomerat hitam”. Soeharto pun memilih lengser untuk selamat ketimbang ”bunuh diri” pada 21 Mei 1998.

Jejak reformasi
Dalam gelombang protes itu terdengar suara lantang yang memekikkan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pekik ini kemudian ditampung dan dimasukkan ke dalam ketetapan MPR dan UU. Beberapa tahun berikutnya KPK pun dibentuk. Ditambah lagi maraknya pelatihan dan kampanye mengenai transparansi dan akuntabilitas.

Tak hanya itu, reformasi berarti juga telah merombak format politik. Terbukanya kebebasan politik memberi peluang bagi berbagai kalangan untuk mendirikan partai-partai politik, serikat buruh, organisasi tani dan mahasiswa, organisasi lainnya serta kebebasan pers.

Pemilu multipartai digelar dan pada 2004 dimulai pemilu presiden dan sekaligus mengakhiri hak-hak istimewa TNI/Polri. Secara kelembagaan tata negara, wewenang dan peran MPR dan DPR dipulihkan. Secara de facto pun tak lagi disubordinasikan oleh Presiden. Perwakilan daerah melalui DPD di mana anggotanya dipilih langsung.

Sejak 2001, wewenang dan peran yang lebih besar pemerintahan daerah hingga tingkat kabupaten/kota melalui proyek politik otonomi daerah diberlakukan. Tiga provinsi menikmati otonomi khusus. Tujuh provinsi serta 198 kabupaten/kota bermekaran. Dan, pilkada digelar sejak 1 Juni 2005 termasuk memberikan kesempatan kepada calon independen (nonpartai).

Begitu juga lembaga kehakiman memetik buahnya dan menjadi lebih independen di bawah Mahkamah Agung (MA). Sebagai ”benteng konstitusi” dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Muncul juga Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Semua itu seolah-olah mekar harapan untuk mencegah dan mengikis korupsi dan suap yang sudah berurat-berakar.

Pembusukan
Harapan reformasi bakal membuahkan ”pemerintahan yang baik” (good governance) justru bertabrakan dengan merajalelanya korupsi. Ekonomi biaya tinggi tak pernah berakhir. Mesin uang Bank Indonesia (BI) dicurigai menggelontorkan duit tak hanya kepada bank-bank swasta yang membutuhkan talangan, tetapi juga kepada para politisi.

Sementara itu, birokrasi yang semakin bengkak dan liar, memungut apa saja yang bisa dipungut. Pungutan ini semakin menggila seiring proyek otonomi daerah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan sekitar 1.500 transaksi keuangan daerah dicurigai menyimpang beberapa tahun terakhir (Kompas, 1/5).

Jika sebelumnya pencari keadilan terganggu dengan sepak terjang ”mafia peradilan”, kini pemerintah mengakui kekuasaan ”mafia hukum”. Namun, belum lagi mafia ini diberantas, marak pula kiprah ”mafia pajak”. Dicurigai ratusan triliun rupiah uang pajak menguap dan mengalir ke kantong jaringan mafia setiap tahun.

Langkah reformasi aparat militer dan penegak hukum pun tersendat. Illegal logging dan illegal fishing maupun penyelundupan semakin marak. Pemberantasan ”mafia hukum” yang digadang-gadang atas kepolisian dan kejaksaan juga seperti menghadapi tembok.

Dari deskripsi ini reformasi bukan saja menggelembungkan biaya politik, melainkan juga melahirkan watak politisi yang rakus. Memang ada yang tersandung korupsi dan dijerat hukuman, tetapi lebih banyak yang licik meloloskan diri tanpa mau bertanggung jawab.

Mereka lebih mengandalkan permainan politik citra ketimbang menguatkan elemen pokok dalam reformasi.

Tak hanya biaya politik yang menggelembung tanpa hasil kedalaman demokratisasi, melainkan juga sumber kekayaan negara dan masyarakat dikuras melalui birokrasi dan operasi berbagai jaringan mafia. Maka, pembusukan reformasi menjadi tak terhindarkan. Dan mengiringinya, cita-cita mengenai ”pemerintahan yang baik” tak lebih dari sekadar dongeng.

Pada dasarnya, pembusukan reformasi karena korupsi memang suatu kegagalan politik. Karena itu, untuk melawannya, dibutuhkan energi dan kepemimpinan politik yang gigih menandinginya.

HENDARDI Ketua SETARA Institute
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan