Korupsi, Kebudayaan, dan Politik Kekuasaan

LAPORAN Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, departemen yang terkorup adalah Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
Suatu laporan yang memilukan karena mengungkapkan realitas sosial yang akut. Bangsa Indonesia sesungguhnya sedang menderita sakit parah karena ternyata semua departemen pemerintah yang mengurusi soal kesehatan bangsa dalam berbagai aspeknya telah bobrok.
Departemen Agama (Depag) mengurusi kesehatan mental spiritual bangsa, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengurusi kesehatan intelektual bangsa, dan Departemen Kesehatan (Depkes) mengurusi kesehatan fisikal bangsa, semuanya telah busuk dan membusuk. Adakah bangsa ini akan pulih dari sakitnya bila korupsi makin meluas?
Secara berseloroh, saat dipertanyakan mengapa Depag paling besar korupsinya, jawabannya karena di situ banyak orang merasa tahu bagaimana cara menghapus dosa sehingga mereka tidak takut melakukan korupsi. Kini, di masyarakat telah berkembang anggapan, ibadah umrah adalah salah satu cara pemutihan atas dosa-dosa. Karena itu, ramainya umrah para artis, pejabat, dan politisi ditengarai sebagai bagian menghapus dosa-dosanya. Dalam kaitan ini, dimensi horizontal kehidupan sosial agama terlepas dengan melemahnya etika sosial bangsa, padahal kemiskinan kian besar, sementara dosa korupsi lebih merupakan dosa horizontal yang tidak bisa dihapus melalui jalur vertikal.

Perspektif kebudayaan
Salah satu ciri sosial kehidupan masyarakat kita-seperti diajarkan dalam pengantar sosiologi Indonesia di sekolah-adalah paguyuban, lalu dikembangkan dalam sistem kekeluargaan yang bersifat extended family. Fenomena kehidupan sosial di pedesaan masih mencerminkan kuatnya extended family sehingga membangun rumah masih dilakukan dengan cara gotong-royong.
Akibatnya, seorang yang sukses kariernya dalam suatu keluarga dengan sendirinya berkewajiban memikul beban membawa keluarganya sukses, atau paling tidak memberi kesempatan keluarganya untuk menikmati sukses yang telah dicapai, dengan cara memberi bantuan finansial kepada keluarganya. Jika tidak, ia akan dianggap egois, pelit, tidak mengerti makna solidaritas, dan hanya mementingkan diri sendiri. Padahal, sukses yang dicapai bukan hanya peran dan usaha diri sendiri, tetapi juga peran keluarganya.

Karena itu, meski kita dilanda jumlah pengangguran amat besar, extended family yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat menjadi tempat meredam gejala destruktif dari pengangguran, guna menunggu dan mencari kesempatan yang baik untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi, pada sisi lain, beban yang dipikul seseorang yang dianggapnya sukses, sebagai pejabat, politisi, dan profesional menjadi amat besar, yang sering tidak mungkin dipikul gajinya yang secara resmi relatif kecil.

Extended family menjadikan jabatan dan kekuasaan dalam masyarakat memikul beban sosial ekonomi tinggi, dan korupsi adalah jalan pintas untuk dapat memikul beban itu dengan cepat dan mudah, dan amat dimungkinkan dengan adanya kekuasaan dan jabatan yang dimiliki seseorang. Karena itu, masyarakat menjadi amat permisif terhadap korupsi, apalagi bila koruptor itu amat dermawan, suka membantu kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, seperti membangun masjid atau tempat ibadah, membangun jalan, menggiatkan olahraga pemuda kampung, dan kebutuhan publik lainnya. Maka, tidak mustahil jika si koruptor yang dermawan itu tetap dianggap sebagai pemimpin mereka. Karena itu, merebaknya money politics akan dianggap sebagai kewajaran, sebagai bagian tawar- menawar dalam bisnis politik yang dapat mengantar seseorang memperoleh kekuasaan dan jabatan.

Korupsi sebagai cara dan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan dengan mudah dan cepat pada dasarnya merupakan gejala umum kebudayaan kita yang dikenal amat lunak, sebagai soft culture yang berkembang dalam kehidupan bangsa dan bersumber pada konsep kekeluargaan dan kekuasaan. Karena itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak bisa dengan mengabaikan dimensi kulturalnya yang kompleks. Kegagalan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan kerasnya benturan kebudayaan yang ada sehingga upaya pemberantasan korupsi cenderung melunak dan dipandang masyarakat sebagai rekayasa politik semata, untuk menjatuhkan kekuasaan seorang penguasa yang tidak disukai, bukan untuk membela kepentingannya. Sesuatu yang amat ironis dan merisaukan.

Politik kekuasaan
Budaya politik yang berkembang di Indonesia selama ini dipengaruhi konsep politik kekuasaan Jawa dan Islam, di mana keduanya mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan politik bangsa, dari dulu hingga kini. Keduanya berkecenderungan memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral karena turunan dari kekuatan besar yang metafisik, gaib, dan ilahiah. Akibatnya, kekuasaan selalu mempunyai kecenderungan kuat untuk berkembang menjadi sentralistik, otoriter, dan absolut, dengan dampak negatifnya memberi ruang amat longgar bagi korupsi, kolusi dan nepotisme di pusat kekuasaan itu sendiri.

Bila kini ditengarai gejala korupsi telah meluas ke mana-mana, sampai ke pelosok, bersamaan meluasnya otonomi daerah dan menyebar ke berbagai lembaga kekuasaan negara, seperti legislatif, yudikatif, bahkan pers, penyebaran dan perluasan korupsi itu sebenarnya disebabkan adanya penyebaran dan perluasan kekuasaan itu sendiri. Jika dalam era Orde Baru korupsi berkembang di sekitar pusat kekuasaan pemerintahan, di era reformasi korupsi berkembang kian luas mengikuti tren berkembangnya perluasan wilayah kekuasaan.

Korupsi merajalela dan memasuki masa bulan madunya, di mana telah tiba saatnya bagi orang-orang yang dulu di zaman Orde Baru belum menikmati manisnya korupsi, kini tiba giliran baginya. Karena itu, jika pemerintah dan partai politik sekarang terkesan gamang dan lamban memberantas korupsi, karena kenyataan menunjukkan terlalu banyak orang-orangnya yang sudah terjerat tindakan korupsi baru akibat perluasan kekuasaan era reformasi, bahkan pejabat pemerintah, penguasa dan politisi yang ada kini amat mungkin menjadi bagian penting proses pergiliran kesempatan untuk korupsi itu sendiri.

Karena itu, pemberantasan korupsi tidak bisa seperti makan bubur panas yang dimulai dari pinggir pelan-pelan ditiup, tetapi harus dimulai dari pusat-pusat kekuasaan publik dan sekitarnya dengan keras, mengakar, dan multidimensional, dengan cara membangun sistem kekuasaan baru yang transparan dan berbasis filsafat pelayanan kepada publik dan berlangsung profesional sehingga memungkinkan seorang pelayan publik dapat hidup secara layak dan terhormat, dan memberi kekuatan kepada pribadinya untuk menghindar dan terhindar dari korupsi.

Kini, diperlukan upaya pemberantasan korupsi sistematik dan berkelanjutan, bukan tambal sulam seperti menjahit kain yang sobek, dan hangat-hangat tahi ayam saja. Bukan isu politik, tetapi tindakan politik. Bukan komitmen, tetapi program aksi. Bukan ilmu, tetapi perilaku.(Musa Asy’arie Guru Besar dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tulisan diambil dari Kompas, Kamis, 13 November 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan