Korupsi Harus Dikeroyok

Pemberantasan korupsi tidak bisa lagi dilakukan secara parsial dan sendiri-sendiri. Pemberantasan korupsi harus dikeroyok bersama-sama oleh seluruh elemen antikorupsi.

Demikian saripati yang muncul dalam workshop antikorupsi bagi jaringan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta, Senin (7/3).

Dalam workshop itu juga mengemuka, kondisi korupsi di Indonesia sudah tidak bisa lagi dikendalikan, bahkan sudah mengarah ke tahap bunuh diri. Khusus untuk para hakim dan jaksa, perlu segera dilakukan rekam jejak bagi mereka karena dengan mengetahui rekam jejak mereka akan memudahkan bagi elemen antikorupsi untuk menjegal para hakim dan jaksa yang akan menjabat sebagai hakim agung, hakim konstitusi, anggota komisi yudisial, maupun anggota komisi kejaksaan.

Korupsi harus dikeroyok tidak bisa melalui jalur hukum kita yang belepotan ini, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Satjipto Rahardjo dalam acara yang juga dihadiri Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, dan Ketua Forum 2004 Romli Atmasasmita.

Menurut Satjipto, hukum kita tidak bisa dilihat dalam konteks negara hukum modern. Hukum kita saat ini cenderung jadi tempat aman yang menyelamatkan koruptor. Korupsi itu tidak bisa ditangani lagi dengan norma hukum, tetapi dengan norma sosial di mana orang jijik berdekatan dengan para koruptor. Ini harus dilakukan, dan harus segera dilakukan secara keroyokan dan mengubah cara pikir kita dalam pemberantasan korupsi, katanya.

Satjipto kecewa terhadap fakultas hukum yang lebih menekankan materi hukum yang bersifat teknologis, tetapi minim dalam menekankan aspek perilaku.

Kalau selama ini hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang dibawa ke kursi terdakwa, sekarang harusnya kita membawa fakultas hukum ke kursi terdakwa. Dari mana hakim, jaksa, polisi, dan pengacara itu belajar hukum? Ya, dari fakultas hukum. Sekarang, pertanyaannya lalu apa yang diajarkan fakultas hukum sehingga muridnya menjadi orang -orang yang pandai menyelamatkan koruptor? Ini harus menjadi renungan para pengajar di fakultas hukum, Satjipto menegaskan.

Kalah progresif
Pemberantasan korupsi di Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan pemberantasan korupsi pada tahun 1936 yang ternyata jauh lebih progresif. Satjipto mengatakan, pada tahun 1936 dalam catatan sejarah Indonesia, seorang residen sudah berani memecat seorang bupati yang korup. Hal ini sungguh berbeda dengan kondisi sekarang di mana pejabat tertinggi tidak berani memecat bawahannya yang korup.

Bahkan, dalam catatan sejarah Indonesia, ada seorang bupati yang memecat 120 persen kepala desa di daerahnya. Bupati itu memecat seluruh kepala desa lama, yakni 100 persen kepala desa yang ada korup dan dipecat semua, lalu dari kepala desa yang baru ternyata 20 persennya juga korup dan dipecat juga.

Teten Masduki mengatakan bahwa hal penting yang harus dilakukan elemen antikorupsi adalah segera melakukan rekam jejak atas karier jaksa dan polisi yang ada di Indonesia.

Teten mencontohkan, rekam jejak yang dilakukan oleh Cornell University untuk militer di Amerika Serikat. Cornell memiliki catatan perjalanan karier semua militer yang berpangkat militer ke atas. Rekam jejak hakim dan jaksa ini penting untuk mengetahui mana jaksa yang suka memberi surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan mana hakim yang suka membebaskan koruptor. (VIN)

SUmber: Kompas 9 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan