Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah

Inilah sebuah tragedi sekaligus ironi dalam tata kelola pemerintahan kita. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa pada 2010, kasus korupsi keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di Indonesia, dengan aktor utamanya para kepala daerah dan mantan kepala daerah. Sementara tahun sebelumnya, 2009, tren korupsi didominasi oleh anggota DPRD. Persemaian demokrasi lokal pun terancam gagal.

Modus korupsi lewat penyalahgunaan anggaran daerah yang menempati posisi teratas tersebut membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dalam pertemuan dengan kepala-kepala daerah se-Indonesia beberapa waktu yang lalu, Mendagri mengatakan bahwa hingga saat ini ada 17 gubernur dari 33 provinsi serta 150 bupati yang terkena kasus korupsi.

Mengapa otonomi daerah justru menyuburkan korupsi-korupsi di daerah di tengah upaya mewujudkan desentralisasi ekonomi yang berkualitas dan tata kelola pemerintahan yang baik? Pertanyaan gugatan ini layak kita ajukan karena, dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamiskan kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.

Tetapi maraknya kasus korupsi yang justru dilakukan aparatur negara, dari gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, hingga pejabat dinas, jelas telah merusak dan merobohkan sendi-sendi bangunan desentralisasi yang susah payah sedang kita bangun. Kasus-kasus korupsi tersebut juga telah mencoreng dan mencederai makna desentralisasi di tengah ekspektasi masyarakat yang begitu besar bahwa otonomi daerah diharapkan mampu melahirkan pencapaian pelayan publik (public services) yang baik terhadap masyarakat.

Kasus korupsi atas anggaran daerah dengan demikian secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah hanya dijadikan instrument untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan jauh dari komitmen untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ia juga potret tata kelola yang buruk dari penyelenggara pemerintah daerah.

Komitmen terhadap tata kelola pemerintah daerah yang baik perlu kita teguhkan, karena hingga saat ini parameter paling sederhana untuk mengukur keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal mengalami perbaikan. Kinerja dari keberhasilan pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi dan efektivitas.

Dalam konsep desentralisasi, makna efisien dan efektif dalam pemerintahan daerah harus berujung pada terciptanya prinsip keterjangkauan/aksesibilitas setiap program pembangunan oleh seluruh kelompok masyarakat. Selain itu, efektif dan efisien juga meniscayakan adanya kualitas dalam program-program pembangunan yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Semua itu akan terwujud ketika kerikil tajam bernama korupsi tidak menjadi bisul dan duri dalam daging yang dapat menggerus hak-hak rakyat.

Para penyelenggara pemerintah seharusnya sadar bahwa anggaran daerah merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk memungut uang dari rakyat, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun lainnya. Jika anggaran daerah tersebut tidak dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, apalagi justru dikorupsi oleh aparatnya, kewajiban rakyat untuk membayar “upeti” (baca: pajak/retribusi) menjadi batal.

Maka, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi, yang lokus penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan, tampaknya harus terus kita tabuh. Mengapa? Karena pilihan terhadap otonomi daerah telah kita pancangkan. Kita masih optimistis bahwa strategi desentralisasi akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Di samping itu, ketika dikawal dengan baik, otonomi daerah juga lebih memungkinkan bagi terciptanya persemaian demokrasi di tingkat lokal.

Karena itu, dalam proses desentralisasi, hal penting yang mutlak harus dikembangkan pemerintah daerah adalah menciptakan tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan. Setidaknya ada lima hal yang harus ada dalam prinsip tata kelola dan pengembangan kapasitas, yaitu kredibilitas, akuntabilitas, partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi.

Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas seperti di atas sesungguhnya diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah. Ada empat sasaran yang ingin dicapai. Pertama, produktivitas, di mana rakyat mampu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kedua, pemerataan (equality), di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ketiga, kesinambungan (sustainability), di mana pembangunan tidak cuma untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk generasi mendatang. Dan keempat, pemberdayaan (empowerment), di mana pembangunan harus dilakukan oleh rakyat.

Dengan pemahaman tersebut di atas, keberhasilan pembangunan daerah dalam konteks otonomi sangat dipengaruhi tiga hal. Pertama, ketersediaan sistem informasi yang memuat data tentang kinerja pembangunan daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan dijalankan sesuai perencanaan. Dan ketiga, menciptakan aturan main (regulasi) yang memberi ruang bagi seluruh partisipan pembangunan daerah untuk melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses.

Guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan mencegah korupsi oleh penyelenggara pemerintahan daerah, saya kira mekanisme kontrol yang ketat serta pemberian sanksi yang tegas harus menjadi agenda utama agar otonomi daerah tidak menjadi ruang bagi petualang-petualang politik lokal untuk mengail keuntungan besar di tengah impitan yang dialami masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian mencekik.

Muara dari seluruh proses di atas adalah terjadinya pencapaian pelayanan publik yang memang menjadi ikon desentralisasi. Jika desentralisasi tidak mengarahkan pada terjadinya perbaikan pelayanan masyarakat, sesungguhnya desentralisasi tersebut telah gagal dijalankan.

Karena itu, satu hal perlu kita tegaskan bahwa kita perlu terus mengawal pelaksanaan otonomi daerah demi tumbuhnya persemaian demokrasi lokal yang kita cita-citakan. Korupsi harus dijadikan musuh bersama yang tak bisa dimaafkan. Dengan cara inilah wajah otonomi daerah, yang selama ini telah kusam karena berbagai penyimpangan, dalam gerak perjalanannya bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih bermartabat.
Achmad Maulani, Peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia-Pasifik Universitas Gadjah Mada
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 Novemebr 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan