Korupsi Birokratis

PRESIDEN Megawati akhirnya melantik lima orang pemimpin Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 27 Desember 2003.

Mulailah era baru sebuah lembaga super bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).

Kehadiran KPTPK ditunggu- tunggu dan menjadi harapan masyarakat untuk melihat lembaga yang dapat memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, sejalan dengan itu, tak sedikit pihak yang merasa prihatin dan khawatir akan nasib lembaga ini di kemudian hari.

Kekhawatiran mereka terungkap bila melihat materi UU No 30 Tahun 2003 tentang KPTPK tak sesuper kewenangannya. Dalam hubungannya dengan ini, Indriyanto Seno Ajie (Kompas, 18/12/2003) meyakini, KPTPK tidak akan dapat memberantas apa yang disebutnya korupsi birokratis yang merasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Sinyalemen Indriyanto boleh jadi benar bila kita memahami materi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK lebih bersifat penal yang mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum, dan sama sekali tidak mengatur pencegahan serta pemberantasan kolusi dan nepotisme bagi penyelenggara negara.

Padahal, Tap MPR No VIII/ MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN jo Tap MPR No 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai Tahun 2002 jelas mengamanatkan kepada pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang pencegahan dan pemberantasan korupsi, UU No 30 Tahun 2002, dan undang-undang lain soal pencegahan serta pemberantasan kolusi dan nepotisme, yang hingga kini belum terbentuk.

Jadi, wajar keberadaan KPTPK dibayangi keprihatinan masyarakat karena belum terpenuhinya amanat MPR bagi upaya pencegahan dan pemberantasan KKN yang integrated dan sistemik.

Korupsi birokratis dan KPTPK
Korupsi birokratis secara luas diartikan sebagai korupsi yang dilakukan orang-orang yang sedang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Adapun dalam arti sempit korupsi birokratis adalah korupsi yang dilakukan para penyelenggara negara.

Melihat definisi dari korupsi birokratis, apakah KPTPK dapat memberantas korupsi birokratis? Meski memiliki kewenangan besar, KPTPK, menurut Indriyanto, tak akan mampu memberantas korupsi birokratis yang merasuki seluruh sendi pemerintahan negara.

Pendapat itu boleh jadi benar karena UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK intinya hanya mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dimaksudkan Tap MPR No VIII/MPR/ 2001 serta tidak dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas kolusi dan nepotisme.

Bahkan, UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK hanya mengatur pencegahan dan pemberantasan korupsi secara umum, tidak spesifik, terhadap penyelenggara negara. Padahal kita tahu, korupsi birokratis diyakini 90 persen dilakukan penyelenggara negara sehingga bagaimana mungkin kita dapat memberantas korupsi tanpa memberantas kolusi dan nepotisme para penyelenggara itu.

Materi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK lebih banyak merupakan konsep the do and the don’t, ketimbang konsep the what and the why yang bersifat grounded dan corroborated dengan fungsi, tugas, dan wewenang yang mengedepankan aspek klinis dalam memberantas korupsi. Jadi, bukan undang- undang untuk mencegah dan memberantas kolusi dan nepotisme yang terstruktur, institusional, dan behavioral.

Jadi, tanpa undang-undang pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme, bagaimana mungkin korupsi sebagai kejahatan extraordinary dapat diberantas jika sumber korupsi birokratis itu adalah kolusi dan nepotisme para penyelenggara negara tidak dicegah dan diberantas lebih dulu.

Fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) selama ini adalah salah realisasi konsep the what and the why sebagai bagian pencegahan dan pemberantasan akar korupsi, yaitu kolusi dan nepotisme, sudah menjadi sarana ampuh faktor deterrence dan pre-emptif bagi koruptor birokratis.

Fungsi, tugas, dan wewenang ini seharusnya sudah ada dalam undang-undang tersendiri tentang pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme. Semestinya kita berpikir, sebelum undang-undang ini terbentuk, KPKPN jangan dibubarkan dulu.

Keberadaan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK sebenarnya merupakan realisasi amanat dan perintah Tap MPR No VIII/MPR/2001. Tap ini secara jelas membedakan persepsi atas istilah korupsi dengan istilah kolusi dan nepotisme. UU No 30 Tahun 2002 jelas hanya dipersepsikan sebagai pencegahan dan pemberantasan korupsi, sedangkan pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme diatur undang-undang lain soal pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme.

Pembentukan KPTPK hanyalah awal dari kerja besar bangsa dan negara dalam memberantas KKN secara sistemik. Karena itu, amat disayangkan bila UU No 30 Tahun 2002 ini berlaku, tetapi tidak segera diikuti pembentukan undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme.

Dengan demikian, mungkin menjadi suatu hipotesis yang bisa diterima, pembentukan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPTPK hanyalah political lip service dan political interest pemerintah dan DPR ketimbang keinginan untuk mempunyai sistem terpadu dalam kerangka konsep negara hukum modern.

Kita tentu menjadi khawatir keberadaan lembaga ini akan bernasib sama dengan lembaga-lembaga sejenis, seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dan KPKPN yang hanya dijadikan current crash program pemerintah dan DPR belaka, yang setelah dianggap mbalelo lembaga ini lalu dibubarkan. Rakyat yang melek hukum dan melek politik tentu tak mau UU KPTPK dan Pemimpin KPTPK hanya alat yang berfungsi sebagai boneka politik yang sekadar sebagai role occupants yang doped.

Bila demikian, mereka lupa, korupsi birokratis adalah kejahatan extraordinary yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa didukung undang-undang pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme, kerja serta harapan besar masyarakat atas KPTPK hanyalah suatu kemustahilan.

Dengan demikian, wajarlah harapan masyarakat yang besar dibayangi kekhawatiran, lembaga super ini mustahil dapat memenuhi keinginan dan harapan masyarakat. Pencegahan dan pemberantasan KKN adalah amanat dan tuntutan nurani rakyat sehingga wajar masyarakat menuntut agar pembentukan undang-undang maupun pembentukan kelembagaan pencegahan dan pemberantasan KKN harus dilandasai pemikiran sistemik terstruktur dan institusional berdasarkan konsep law is it is embedded in human mind and manifested in their actions and interactions.

Kita tidak ingin melihat KPTPK tercatat sebagai bagian sejarah kelabu bangsa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan KKN serta tidak berharap sejarah itu berulang kembali. Bila demikian, genaplah hipotesis awal kita, pembentukan lembaga-lembaga penal dan nonpenal di Indonesia, seperti TGPTPK dan KPKPN, akan bermula dan berakhir dengan keputusan serat kehendak politik (political appointee) DPR belaka. (AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Tinggal di Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Senin, 19 Januari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan