Kontroversi Nazaruddin ke Singapura

Gonjang-ganjing politik di tubuh Partai Demokrat ternyata tidak berhenti setelah Dewan Kehormatan Partai Demokrat memberhentikan Muhammad Nazaruddin dari posisinya sebagai bendahara umum.

Kepergian Nazaruddin pada petang hari, 23 Mei 2011, ke Singapura dengan alasan untuk berobat karena ada gangguan jantung, telah menimbulkan persoalan pelik bagi partai berlambang segitiga biru ini.Anehnya, baru sehari kemudian, atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Imigrasi mencekal Nazaruddin untuk bepergian ke luar negeri demi proses hukum. Ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Pertama, apakah Nazaruddin sudah mengetahui terlebih dulu bahwa dia akan dicekal oleh Imigrasi? Kedua, apakah benar Nazaruddin mengalami gangguan jantung atau ingin menyelamatkan aset-aset pribadinya?

Apakah kepergiannya merupakan inisiatif pribadi atau bagian dari skenario penyelamatan nama baik partai agar Nazaruddin tidak “bernyanyi dengan nada sumbang” terhadap para petinggi partai yang dia sebut-sebut telah mengorbankan dirinya? Mengapa pula Partai Demokrat dan jajaran petinggi keamanan di republik ini lekas merespons dengan upaya untuk mengembalikan Nazaruddin secepatnya? Kasus Nazaruddin tampaknya memang bukan kasus korupsi kecil bagi Partai Demokrat.

Jika sangkutan dirinya dengan suap-menyuap di Kemenpora yang jumlahnya sekitar Rp3,2 miliar terkait dengan proyek pembangunan sarana atlet SEA Games XXVI di Palembang,angka itu tidaklah terlalu besar. Bandingkan dengan suap-menyuap di DPR dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Gultom yang mencapai Rp24 miliar, angka Rp3,2 miliar tentu sangat kecil. Bukan mustahil tuduhan korupsi di Kemenpora hanyalah “puncak gunung es” yang mungkin saja ada kasus-kasus korupsi lain yang menyangkut Nazaruddin, yang akan membawa nama Partai Demokrat ke dalamnya.

Apakah ancaman Nazaruddin untuk membuka tabir ketidakberesan di Demokrat menjadikan partai itu begitu terancam dan serius untuk menangani kasus ini. Partai Demokrat memang tidak boleh menganggap kasus korupsi yang dilakukan kadernya sebagai sesuatu yang biasabiasa saja. Namun, bila pertemuan antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dilakukan sampai dua kali dengan jeda tiga hari dalam satu minggu, ini menunjukkan bahwa kasus Nazaruddin bukanlah kasus yang biasa-biasa saja. Ini juga tentunya bukan karena adanya “SMS ancaman” dari Singapura yang mengatasnamakan Nazaruddin untuk membongkar aib di tubuh Partai Demokrat.

Jika kita baca baik-baik pesan singkat yang beredar sejak Jumat, 27 Mei 2011 itu, informasi yang ada di dalamnya amatlah absurd.Untuk mengetahui siapa pengirim SMS itu juga tidak sulit, karena untuk mendapatkan nomor mobile phone di Singapura kita harus menyerahkan identitas diri, yakni paspor bagi mereka yang bukan warga negara Singapura. Kita juga patut bertanya, mengapa pula segala daya dan upaya yang mengerahkan kader-kader Partai Demokrat akan dilakukan untuk “menjemput, mendorong,atau membawa pulang Nazaruddin” dari Singapura.

Mengapa pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto sampai-sampai memerintahkan polisi,Kementerian Luar Negeri dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk membawa pulang Nazaruddin dari Singapura? Mengapa pula tiga institusi yang sama tidak dikerahkan secara masif untuk membawa pulang Anggoro Widjojo dan Nunun Nurbaeti yang sudah lama bermukim di Singapura dan masih terjerat kasus-kasus hukum di Indonesia? Perbedaan cara penanganan kasus-kasus tersebut dan kasus Nazaruddin menunjukkan betapa “pentingnya” seorang yang bernama Muhammad Nazaruddin.

Bila pemerintah ingin mengetahui apakah terjadi pelarian aset Nazaruddin ke Singapura, ini juga dapat dilakukan oleh PPATK dan Bank Indonesia dengan sangat mudah. Pemerintah juga dapat membekukan sementara asetaset Nazaruddin di bank-bank dalam negeri jika pemerintah memandang hal itu penting bagi penyelidikan dan penyidikan. Kita melihat, mendengar, dan membaca betapa Partai Demokrat tampaknya sedang kalap terkait kasus Nazaruddin ini.

Satu sisi yang menarik, walau Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sudah memerintahkan agar jajaran kader partai tidak membuat pernyataan simpang siur mengenai kasus ini, tetap saja ada dua atau lebih kader partai itu yang begitu mudah berbicara mengenai kasus ini kepada pers. Lebih menarik lagi, mereka yang “berbalas kata” itu berasal dari dua kubu yang berbeda di dalam partai,yakni antara kubu Anas Urbaningrum dan kubu Andi Mallarangeng.

Lepas dari itu belum tentu mencerminkan pertarungan politik internal antara dua kubu, publik akan dengan mudah menilai bahwa ada sesuatu yang tak beres antara dua kubu itu. Ini belum ditambah dengan adanya dua orang yang saling mengklaim, Ruhut Sitompul dan Andi Nurpati, bahwa mereka masingmasing adalah juru bicara resmi Partai Demokrat. Secara kasatmata kita memang dapat menduga ada hal yang tidak beres dalam kasus Nazaruddin ini. Jika tidak, baik Partai Demokrat maupun pemerintah tentu tidak akan begitu cepat merespons kepergian Nazaruddin ke Singapura. Dengan atau tanpa paksaan sebenarnya Nazaruddin cepat atau lambat akan kembali ke Tanah Air.

Cara paling mudah bukan melalui pendekatan diplomatik,meminta Interpol atau intelijen agar Pemerintah Singapura membantu pemulangan Nazaruddin, melainkan dengan mencabut paspornya, sehingga dia tidak bisa ke luar dari Singapura. Kecil kemungkinannya Nazaruddin akan berganti warga negara. Kecil pula kemungkinannya dia akan berlama-lama di Singapura karena negara kota itu amat kecil dan membosankan jika kita tinggal di sana tanpa kegiatan yang pasti. Nazaruddin hanyalah pelaku bisnis tingkat nasional, bukan pelaku bisnis yang memiliki jaringan bisnis di tingkat regional Asia Tenggara, apalagi di tingkat Asia Timur.

Karena itu, tak akan ada yang dapat dilakukannya di Singapura. Gonjang-ganjing di Partai Demokrat hanya akan memberi kesan Nazaruddin memang tahu banyak soal keuangan Partai Demokrat. Pengetahuan itu yang menjadi kartu trufnya jika Partai Demokrat ternyata mengorbankan dirinya.

IKRAR NUSA BHAKTI,  Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 31 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan