Konspirasi Dana Aspirasi

Sepertinya, gugatan bagi anggota DPR yang tidak peduli dengan aspirasi rakyat segera akan terjawab. Jalan pintas yang dipilih untuk menjawab gugatan tersebut: APBN akan menyediakan dana segar bagi setiap anggota DPR untuk memenuhi aspirasi warga di daerah pemilihan mereka masing-masing.

Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai Rp 15 miliar bagi setiap anggota DPR. Tak saja wah dari segi jumlah, tetapi juga dari segi nama, yaitu ”dana aspirasi”.

Sebagaimana dikemukakan Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Azis, gagasan menyediakan dana aspirasi itu dimaksudkan untuk lebih mengintensifkan pembangunan daerah dan menunjukkan kinerja anggota DPR dalam memenuhi kebutuhan penduduk di daerah pemilihan masing-masing. Usulan itu adalah satu usaha anggota DPR untuk melaksanakan sumpahnya memajukan rakyat di daerah pemilihan (Kompas, 4/6).

Tak pelak, upaya jalan pintas untuk membangun citra bahwa anggota DPR peduli dengan aspirasi rakyat justru semakin menyudutkan DPR. Sulit untuk membantah bahwa dana aspirasi bukan dana politik.

Sesat tafsir
Secara konstitusional diakui, DPR memiliki fungsi anggaran. Dalam hal ini, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Khusus untuk fungsi anggaran, DPR hanya dimungkinkan untuk membahas dan menyetujui RAPBN.

Berdasarkan konstruksi hukum tersebut, upaya sejumlah anggota DPR mendorong dana aspirasi karena alasan telah berjanji (saat kampanye) dapat dikatakan sebagai sesat tafsir terhadap fungsi anggaran yang diatur dalam UUD 1945. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, fungsi konstitusional dalam penganggaran menjadi bagian yang melekat dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan DPR.

Sadar atau tidak, ketika mengusulkan dana aspirasi, mereka sedang menggadaikan makna hakiki DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Menjadi mudah dipahami, ketika ikut mengajukan program (dana aspirasi), DPR tidak hanya akan mengalami penumpulan fungsi pengawasan, tetapi semakin membenarkan tudingan yang mulai berkembang akhir-akhir ini: sebagian anggota DPR sebenarnya adalah sosok eksekutif yang menggunakan jubah legislatif. Dengan perilaku seperti itu, hampir dapat dipastikan bahwa dalam proses pembahasan RAPBN, DPR kehilangan daya kritisnya membahas program-program yang diajukan pemerintah.

Sejumlah catatan dan pengalaman pengelolaan keuangan negara yang pernah ada, DPR bukanlah lembaga perwakilan pertama yang berupaya melakukan ”tero- bosan” untuk menggelontorkan uang negara dengan dalih menindaklanjuti aspirasi rakyat. Pada periode 1999-2004, dengan alasan yang nyaris sebangun dengan rencana DPR, anggota DPRD Sumatera Barat memperkenalkan dana aspiratif. Ketika itu, masing-masing anggota DPRD disediakan dana segar Rp 200 juta untuk disalurkan di tempat pemilihan.

Meski mendapat perlawanan dari banyak elemen masyarakat, DPRD Sumbar tetap memaksakan dana aspiratif itu menjadi bagian APBD yang dikelola anggota DPRD. Dalam praktiknya, selain masalah pengelolaan, penyaluran dana aspiratif sulit dikontrol. Merujuk catatan Forum Peduli Sumatera Barat, sebagian dana aspiratif justru dimanfaatkan untuk menjaga kelangsungan operasional sejumlah partai politik. Tidak hanya itu, proposal bodong sengaja dibuat untuk mencairkan dana aspiratif. Kasus penyimpangan penyusunan dan penggunaan anggaran tersebut berujung di pengadilan.

Membeli dukungan
Jika diletakkan dalam bangunan sistem presidensial, lembaga perwakilan rakyat harus tetap menjaga dan mempertahankan posisinya sebagai lembaga yang terpisah dari eksekutif. Harusnya, DPR menolak segala tafsir yang semakin menjauhkan praktik dari sistem presidensial. Oleh karena itu, janji anggota DPR pada masa kampanye tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi untuk membenarkan kehadiran dana aspirasi.

Ketika bangunan hukum dan sistem pemerintahan sulit membenarkan gagasan kehadiran dana aspirasi, sikap ngotot partai politik untuk tetap meneruskannya di tengah penolakan sejumlah kalangan dapat dibaca sebagai bentuk menjaga kepentingan politik. Karena itu, menarik menyimak pendapat Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko, anggota DPR berniat memanfaatkan anggaran negara untuk investasi politik dan membeli suara (Kompas, 4/6).

Dengan mengikuti pandangan tersebut, tidaklah terlalu keliru mengatakan bahwa dana aspirasi akan digunakan untuk membeli dan mempertahankan dukungan rakyat. Apalagi, setelah melihat kinerja mayoritas anggota DPR selama ini, sulit meraih dukungan rakyat dari capaian menjalankan fungsi-fungsi konstitusional yang mereka miliki. Karena itu, dukungan rakyat harus dibeli. Salah satu cara paling efektif untuk membeli dukungan adalah dengan menaburkan uang di daerah pemilihan.

Anggota DPR seharusnya mengoptimalkan fungsi representasi, bukan sebaliknya, ngotot mempertahankan dana aspirasi. Oleh karena itu, sekiranya di tengah penolakan berbagai pihak dana aspirasi masih tetap didorong dan dipertahankan, biarlah rakyat yang menghukum partai politik yang paling ngotot!

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan