Konflik Kepentingan Wewenang Jaksa [13/07/04]

SALAH satu bentuk kritikan terhadap kejaksaan yang belum mampu berbuat optimal memberantas korupsi adalah seperti yang dikemukakan Presiden Megawati Soekarnoputri ketika membuka Rapat Kerja Kejaksaan belum lama ini. Saat itu Presiden menghimbau kejaksaan menghilangkan praktek dagang perkara.

Tugas dan wewenang kejaksaan berdasarkan ketentuan UU No. 5 tahun 1991 tentang kejaksaan sedemikian luas. Soal tugas dan wewenang kejaksaan sebagaimana diatur di dalam pasal 27 hingga dengan pasal 31 tidak hanya terbatas pada perkara pidana, tetapi juga dalam perkara tata usaha negara dan perdata, tetapi juga di bidang ketertiban umum. Dalam pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam mapun di luar pengadilan untuk dan atas nama pemerintah.

Apabila kita perhatikan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 5 tahun 1991, soal kewenangan kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) jelas tidak tercakup sama sekali. Sebab pasal 1 ayat (1) UU No. 5 tahun 1991 menyebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Conflict of Interest
Dari rumusan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (1) jelas terlihat bahwa kewenangan kejaksaan sebagai pengacara negara sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 ayat (2) tidak termasuk. Kalau memang kewenangan jaksa sebagai pengacara negara pada perkara perdata dan tata usaha negara serta di bidang ketertiban umum, seharusnya di dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (1) harus ditambahkan rumusan … sebagai pengacara negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara serta di bidang ketertiban umum.

Sebagai penasehat hukum (advokat) dari negara, in casu dalam hal ini Departemen-Departemen Pemerintahan atau BUMN/BUMD atau Pemda, ada kewajiban untuk merahasiakan hal-hal yang diketahuinya dalam hubungan pelaksanaan tugasnya sebagai penasehat hukum, baik yang diberikan padanya atau yang diketahuinya sendiri. Kewajiban yang lahir dari kepercayaan (trust) antara penasehat hukum dan kliennya itu bertentangan dengan kewajiban dan kewenangan jaksa sebagai penyidik yang harus mengungkap dan mengusut serta menuntut perbuatan-perbuatan yang diketahuinya bertentangan dengan hukum.
Berdasarkan nalar sehat, tidak mungkin seseorang pada saat yang bersamaan mampu mengungkapkan suatu peristiwa sampai tuntas dan jelas, sedangkan pada saat yang bersamaan orang bersangkutan dituntut pula untuk merahasiakan sesuatu atau hal tertentu.

Sebagai penyidik atau penuntut umum, tugas jaksa adalah mengusut perkara secara tuntas dan mengungkap segala sesuatu yang terkait dengan perkara. Semakin jelas suatu perkara maka tugas jaksa menjadi lebih mudah.

Sebaliknya dalam kapasitasnya sebagai pengacara, jaksa mempunyai kewajiban merahasikan berbagai hal yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, terlebih-lebih yang mempunyai potensi memberikan kerugian terhadap kliennya. Tidaklah mungkin jaksa berperan maksimum sebagai penyidik/-penuntut umum sekaligus sebagai pengacara negara atas suatu perkara yang sama. Kalau ini terjadi, posisi jaksa akan berada dalam satu yang sepatutnya secara dini dielakkan.

Kedudukan jaksa sebagai pengacara negara adalah merupakan tiruan dari sistem Hindia Belanda yang dianut dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Staatsblaad No. 41 tahun 1941. Tentu saja konsep demikian dari sudut waktu dan perkembangan zaman sudah tidak sesuai lagi, apalagi dilihat dari perkembangan hukum yang sangat cepat. Bahkan sudah menjurus pada bidang-bidang yang lebih spesifik dan spesialistis.
Sarjana-sarjana hukum yang menangani masalah-masalah hukum di departemen masing-masing lebih menguasai bidang tugas di departemennya secara spesifik dan khusus. Dalam sengketa hukum, mereka akan lebih tepat menjadi kuasa hukum pemerintah ketimbang aparat kejaksaan.

Undang-Undang Pengganti
Lahirnya kedudukan jaksa sebagai pengacara negara dalam perkara-perkara perdata dan Tata Usaha Negara sesungguhnya merupakan pemikiran yang timbul sesaat pada waktu RUU kejaksaan tersebut masih dalam proses pembaruan. Padahal konsiderans undang-undang tersebut sama sekali tidak menunjuk adanya pemikiran ke arah itu. Munculnya kewenangan/kedudukan tersebut dalam pasal 27 ayat (2) mengenai tugas dan wewenang kejaksaan, tanpa rujukan dalam konsiderans dapat memberi indikasi tidak matangnya hal tersebut dipertimbangkan. (Siahaan, Maruarar, 2001).
Kejaksaan dalam meningkatkan kinerja atau memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat luas, dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan atau upaya. Selain menghilangkan praktek jual beli perkara juga hindari terjadinya perbenturan kepentingan pada saat menangani suatu atau berbagai perkara.

Alasan lain mengapa kedudukan Jaksa sebagai pengacara negara perlu ditinjau kembali, adalah ketentuan dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat. Dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 ditentukan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

Sedangkan yang dapat mengangkat advokat adalah organisasi advokat dan salinan pengangkatannya disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri. (Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 18 tahun 2003.
Hal ini sejalan dengan asas perundang-undangan yang menyatakan bahwa undang-undang yang berlaku belakangan mengabaikan/meniadakan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu. Dengan berlakunya undang-undang advokat, maka kewenangan jaksa sebagai advokat (pengacara) negara sudah tidak berlaku lagi. Kewenangan untuk menangani perkara sebagaimana ditentukan oleh undang-undang tersebut diberikan kepada advokat.

Saat sekarang, Rancangan Undang-Undang (RRU) tentang Kejaksaan sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1991 sedang dibahas di DPR. Dalam rangkaian pembahasan RUU tersebut, kewenangan jaksa sebagai pengacara negara dalam perkara perdata dan tata usaha negara sudah saatnya ditinjau kembali, agar tidak lagi dimasukan sebagai kewenangan kejaksaan dalam undang-undang yang akan disahkan nanti. Adalah pada tempatnya penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara diserahkan kepada advokat sebagai pihak yang diberikan wewenang sesuai undang-undang.

Penulis adalah: Binoto Nadapdap, Dosen Luar Biasa FH-UKI Jakarta.

Tulisan ini diambil dari Sinar Harapan, 13 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan