Komunikasi Manipulatif Wakil Rakyat

KARUT-MARUT perpolitikan di Indonesia akhir-akhir memasuki wilayah yang tampaknya makin sulit diurai. Berbagai pertentangan, baik antarelite, antarlembaga tinggi negara, bahkan dengan lembaga independen, termasuk antara DPR dan KPK. Para pihak yang berkonflik selalu berkutat pada perasaan ''merasa paling'', yang akhirnya menumbuhkan egoisme, yang hakikatnya dimiliki manusia. Kesan berebut perasaan paling benar, paling jujur, sekaligus merasa paling tak pernah bohonglah yang mengemuka.

Dampak selanjutnya adalah makin tidak menentunya arah dan tujuan para elite dalam mengelola negara dan bangsa. Padahal bila dicermati justru keegoisan itulah yang bila tidak segera diatasi akan terus membawa bangsa dan negara ini pada kondisi yang makin terpuruk. Berbagai contoh kasat mata mengindikasikan merebaknya korupsi politik yang melibatkan elite berbagai partai, makin memprihatinkan.

Melalui berbagai upaya, mereka berkesan merasa tetap bersih, bahkan menyerang balik lembaga yang berdasarkan UU memang memilki kewenangan menyelidiki dan menyidik, termasuk KPK. Puncaknya, kepentingan yang lebih besar dan menyangkut hajat hidup orang orang banyak seperti pembahasan RAPBN pun diabaikan, demi egoisme, gengsi, dan kepentingannya masing-masing.

Aksi pemogokan sementara anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam membahas RAPBN jelas bukan sikap negarawan yang selalu berjanji memperjuangkan nasib rakyat. Klaim kebenaran atas tindakan mereka sejatinya justru mempertontonkan atraksi yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Bila perilaku itu mereka teruskan, suatu saat akan meluap menuju tindakan yang tentu saja ongkos politiknya mahal. Akankah mereka segera sadar atau sebaliknya? Masih akan tetap sulitkah mengungkap kebenaran?

Mencari Kebenaran

Yuliana Ford melalui bukunya Paradigm and Fairy Tales menyebut ada empat macam kebenaran, mulai kebenaran empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, hingga kebenaran metafisis. Tiga hal yang disebut di depan mestinya dipahami dan dijalankan oleh para elite. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, dan yang muncul justru kebenaran egois atau pembenaran (justifikasi).

Sepertinya para elite lebih senang berpedoman pada apa yang disampaikan Peter L Berger melalui pandangan konstruktifnya, karena melalui pendekatan itu para elite merasa lebih mudah berdalih, sekaligus lebih mudah meyakinkan masyarakat. Sebaliknya mereka lupa, bahwa apa yang mereka lakukan itu menjadi tontonan yang lebih lucu ketimbang lawakan, karena berbagai dalih dan data yang mereka sampaikan sangat tidak meyakinkan, dan dalam bahasa komunikasi sering disebut komunikasi manipulatif.
Setidaknya, masyarakat menyaksikan hal itu melalui berbagai tayangan interaktif di televisi nasional. Melalui media itu pula rakyat menyaksikan ketidakjujuran dan ketidakkonsistenan sejumlah elite, yang justru ngotot menutupi kesalahan, yang muaranya juga untuk menjaga citra komunitas.

Kita saksikan dengan jelas bagaimana ketidakjujuran elite Partai Demokrat terkait dengan kasus wisma atlet SEA Games, kepergian hingga ketika Nazaruddin ditangkap. Demikian pula dengan kasus di Kemenakertrans. Bila menengok ke belakang, kita juga makin keras mempertanyakan kebenaran kasus Antasari Azhar, bailout Bank Century, dan kasus Cyrus Sinaga.

Yang paling aktual kita tentu perlu terus mencari kebenaran di balik konflik antara Banggar DPR dan KPK. Pantaskan demi ego dan kepentingan kelompok, harus mengorbankan kepentingan yang lebih luas, terlebih terkait dengan hajat hidup masyarakat? Yang jelas, political will pemerintah dengan memedomani falsafah ing ngarsa sung tuladha Ki Hadjar Dewantara, perlu segera dijalankan guna menghilangkan karut-marut tersebut, atau sebaliknya membiarkannya hingga kita terpuruk dan memancing kemarahan masyarakat. (10)

Drs Gunawan Witjaksana MSi, dosen Stikom dan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 17 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan