Kompetensi Pengadilan Pajak

Mencuatnya kasus perpajakan belakangan ini menyita perhatian publik.

Di balik skandal itu, perlu dipisahkan beberapa hal, antara lain, pertama, kasus yang dilakukan oleh Gayus Tambunan ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa oknum di instansi tersebut. Terhadap hal ini, ketentuan hukum telah memberikan rambu-rambu hukum yang jelas, terutama ketentuan KUHP dan UU lainnya. Kedua, eksistensi Pengadilan Pajak (PP) itu sendiri karena terjadi kesalahan persepsi bahwa lembaga ini dinilai tidak konstitusional. Kerancuan berpikir seperti itu lebih disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang PP dan peran perpajakan.

Sekiranya tidak ada UU yang memberi pembenaran atas penarikan pajak, niscaya tepatlah dalil yang berkembang di AS bahwa taxation without representation is robbery. Karena dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi langsung akibat pembayaran pajak. Hanya dengan kesadaran wajib pajak (WP) dan pelayanan yang baik dari fiskus, kesadaran WP dapat ditumbuhkan. Tanpa UU yang memberikan kewenangan kepada negara niscaya pembayaran pajak sulit dilakukan secara sukarela oleh warga negara.

Aristoteles menyatakan, tujuan hukum adalah untuk menciptakan keadilan, begitu pula dalam bidang pajak. Melalui hukum pajak diciptakan keadilan dalam pemungutan pajak. Oleh karena itu, dimensi keadilan yang meliputi pengaturan, pemungutan, dan pemanfaatan hasil pajak harus diarahkan kepada keadilan, yaitu kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi warga negara.

Pengadilan pajak
Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, telah dikenal upaya administratif, yakni Hakim Doleansi. Doleansi atau keberatan diajukan oleh WP dalam hal terjadinya sengketa antara WP akibat penetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus. Pengaturan ini terdapat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (1944) ataupun Ordonansi Pajak Perseroan (1925) dan peraturan perundang-undangan lain ketika itu. Keberatan tersebut diajukan kepada instansi perpajakan sehingga upaya ini lebih merupakan upaya administratif. Atas putusan Doleansi, WP dapat mengajukan keberatan kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Menurut Rochamat Soemitro, upaya hukum ini termasuk kategori Peradilan Semu atau Kuasi Peradilan.

Padahal, yang dikehendaki adalah adanya peradilan yang mandiri dalam arti sesungguhnya. Baik Doleansi maupun MPP, secara nomenklatur lebih memperlihatkan sebuah upaya administratif, padahal yang dikehendaki adalah keadilan bagi WP. Baru pada reformasi perpajakan 1983 diintroduksikan adanya PP. Akan tetapi, untuk merealisasikan PP itu, pembentuk UU masih menempuh jalan berliku karena melalui UU Nomor 17 tahun 1997 ditetapkan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Sesungguhnya lembaga yang terakhir tak jauh berbeda dengan dua lembaga di atas. Ironisnya melalui UU Peradilan Tata Usaha Negara tahun 1986 upaya yang ditempuh WP dengan menggunakan sarana di atas dinyatakan sebagai upaya administratif.

Dengan demikian, baik terhadap putusan MPP maupun BPSP dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sehingga sudah dapat diduga penerimaan negara dari sektor ini akan tersendat akibat WP masih melakukan upaya hukum. Walau secara normatif dalam kedua UU terdapat penegasan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, secara faktual justru wajib pajak terkadang mengajukan penundaan kewajibannya karena masih melakukan upaya hukum. Diakui atau tidak, dalam proses ini tindakan main mata antara pihak-pihak dapat terjadi, yang secara langsung atau tidak langsung bernuansa suap atau bahkan korupsi.

Pada 2002 barulah PP direaliasasikan. Melalui UU No 14/2002. Sesungguhnya PP ini merupakan bentuk peradilan khusus sebagaimana ditetapkan oleh UU kekuasaan kehakiman. Kekhususan tersebut tidak lain karena bidang perpajakan merupakan bidang khusus yang hanya dapat dipahami mereka yang mengerti seluk beluk perpajakan sehingga hakim yang bertugas di PP adalah mereka yang punya pengetahuan luas tentang pajak dan hukum pajak.

PP memiliki kompetensi menyelesaikan sengketa pajak akibat dikeluarkannya putusan dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Hal ini berarti kompetensi PP tidak overlapping dengan badan peradilan umum. Yang digarap PP adalah masalah keberatan WP dalam kedua hal di atas, bukan menyangkut penyimpangan atau tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang menjadi kompetensi lembaga peradilan umum. PP merupakan instansi pertama dan terakhir memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ini untuk mencegah WP beritikad buruk.

Terhadap hakim PP, MA memiliki kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan. Persoalannya, apakah pengawasan itu efektif dilakukan? Di situlah persoalannya. Semua kita menghendaki agar aspek keadilan diwujudkan dalam bidang perpajakan karena memang demikianlah undang-undang mengamanatkan.

M Ali Zaidan Pengamat Hukum
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 April 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan