Kode Etik DPR dan Menara Angkuh

Kode Etik DPR akhirnya disahkan dalam rapat paripurna 29 Maret lalu meski minus Fraksi Hanura dan Fraksi Gerindra yang mogok-tanding menolak putusan.

Disayangkan bahwa pengesahan itu tidak disertai dengan perbaikan kentara setelah draf batal disahkan dalam rapat paripurna 16 Februari lalu. Debat perihal penyusunan Kode Etik DPR berakhir dengan antiklimaks.

Berawal dengan ingar-bingar studi banding ke Yunani, ironisnya berakhir dengan perubahan tanpa substansi. Studi banding yang menghabiskan anggaran negara Rp 2,2 miliar ini ternyata tak menghasilkan rekomendasi yang kentara terhadap perbaikan kode etik. Bukan karena kode etik di Yunani jelek, melainkan karena Badan Kehormatan DPR sengaja tak menyerap kode etik dari Parlemen Yunani yang rinci, runtut secara manual, dan berdampak tegas dengan sanksi mengikat.

Langkah mundur
Dibandingkan dengan kode etik sebelumnya, yang sekarang cenderung melangkah mundur. Hal-hal yang kurang substansial justru dimasukkan: anggota Dewan tidak boleh ke tempat pelacuran serta harus berpakaian rapi, sopan, dan pantas sesungguhnya tidak lagi perlu diatur dalam kode etik. Dalam norma umum sudah ada itu.

Lebih dari itu, justru roh penegakan citra dan wibawa DPR dilunturkan. Roh penting yang tidak rinci diatur adalah mekanisme izin, materi konflik kepentingan, gratifikasi, dan mekanisme sanksi. Soal bolos rapat tidak termasuk dalam pelanggaran kode etik. Padahal, pada periode sebelumnya, bolos rapat termasuk pelanggaran kode etik.

Ketika melihat hasil studi banding dari Yunani, tersua bahwa parlemen di sana memberi sanksi potong gaji 30 persen terhadap anggota parlemen yang tak mengikuti rapat tanpa izin. Materi konflik kepentingan juga tak diatur secara spesifik. Dalam kode etik tahun 2004 diatur bahwa sebelum rapat DPR dengan mitra terkait, anggota Dewan wajib mengumumkan di hadapan peserta rapat jika ada kepentingan antara masalah yang dibahas dan kedudukannya sebagai pribadi di luar sebagai anggota.

Artinya, ada proses terbuka dan obyektif ketika membahas masalah yang berhubungan dengan mitra. Dalam kode etik yang baru, ini tak diatur lagi. Yang ada ”anggota bersikap adil dan profesional dalam melakukan hubungan dengan mitra” dan itu membuka celah baru untuk korupsi. Dengan anggaran DPR yang terbatas, bukan tak mungkin modus korupsi anggota Dewan akan berubah: dari menggelapkan uang negara kepada penyalahgunaan wewenang, memanfaatkan suap, atau bermain dalam pencarian rente memanfaatkan relasi bisnis politik.

Ada beberapa bukti yang menguatkan argumentasi itu. Forum rapat dengar pendapat umum yang berlangsung terbuka dibuat jadi tertutup (7 Februari 2011). Ini terjadi saat rapat Komisi IV dengan Asosiasi Pengusaha Daging dan Feedlot Indonesia serta Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia. Ternyata ditengarai, ada anggota Komisi IV yang juga pengusaha peternakan sapi. Ada pula anggota DPR dalam rapat dengar pendapat 27 Juli 2010 yang terang-terangan meminta biaya kunjungan kerja ke negeri lain kepada mitra kerja (Bank Mandiri). Alasannya, ingin membantu bank itu bernegosiasi dan melobi China terkait dengan pembukaan cabang di sana.

Modus paling baru adalah membekingi kelompok tertentu melancarkan bisnis. Seperti santer diberitakan, ada anggota Dewan yang diduga melindungi penyelundupan barang ilegal berisi ponsel mewah dan minuman keras. Penyalahgunaan wewenang itu terjadi di sela inspeksi mendadak Komisi III ke kantor imigrasi menyelidiki kasus paspor palsu Gayus Tambunan.

Mengkhianati rakyat

Kode etik sebenarnya tidak mengatur hal teknis saja, tetapi juga menjaga amanat rakyat agar anggota Dewan jangan mengutamakan kepentingan pribadi. Ini sesuai Pasal 2 Ayat (1).

Namun, tampaknya ayat ini jauh panggang dari api. Lihatlah, Ketua DPR tetap ngotot akan membangun gedung bernilai Rp 1,168 triliun. Padahal, gelombang penolakan muncul dari masyarakat, baik yang masuk dalam LSM maupun warga pada umumnya. Tindakan Ketua DPR yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan ini sebenarnya juga termasuk tidak mematuhi kode etik.

Jadi, selain akan melakukan gugatan secara hukum, masyarakat sipil tampaknya juga perlu melaporkan Ketua DPR kepada Badan Kehormatan. Tindakan ngotot membangun gedung baru dapat digolongkan pelanggaran kode etik karena lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan daripada kepentingan masyarakat yang sebagian besar belum sejahtera.

Selain itu, Ketua DPR yang terkesan melawan kehendak masyarakat juga terkesan arogan. Seperti dimuat Kompas edisi 28 Maret lalu, Ketua DPR mengatakan, ”DPR ini representasi rakyat, tapi LSM perwakilan mana? Dipilih oleh rakyat? Masak kita hasil pemilu dikalahkan oleh ormas-ormas? Jadi janganlah kita mengatasnamakan rakyat. Ini resmi hasil konstitusi. Kalau mengatasnamakan sebagian anggota rakyat, ya sah-sah saja. Mungkin dulu golput, mungkin kalah pemilu. Jangan mengatasnamakan rakyat.”

Ini suatu pelecehan terhadap kelompok masyarakat sipil. Bukan kali ini saja, tahun 2010 Ketua DPR pernah dilaporkan ke Badan Kehormatan atas pelanggaran etika. Akhirnya, DPR perlu ingat bahwa ekspektasi harapan masyarakat sangat tinggi, terutama dalam hal wibawa dan kerja memperjuangkan rakyat. Kode etik sebagai pagar penjaga seharusnya ditaati dan dipatuhi menyangkut pertanggungjawaban kepada masyarakat selaku konstituen. Bukan ngotot membangun menara keangkuhan!

Apung Widadi Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan