Koalisi Melawan Korupsi

DENGAN alasan Presiden Megawati Soekarnoputri gagal menyelamatkan agenda reformasi, beberapa partai politik mulai melakukan langkah nyata menghadapi Pemilu 2004. Salah satu di antaranya membangun koalisi.

LANGKAH ke arah itu diakui Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Mohammad Mahfud MD. Sudah dua kali diadakan pertemuan tokoh partai politik, seperti PKB, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera (Kompas, 29/10/2003).

Meski beberapa petinggi partai politik yang ikut bergabung masih malu-malu mengatakan yang sebenarnya, pengakuan Mahfud cukup untuk dijadikan bukti awal bahwa sebuah kerangka dasar koalisi sudah mulai dibangun. Dari perkembangan pemberitaan, target pembentukan koalisi adalah mengganti kepemimpinan nasional. Bagi mereka, selama tidak terjadi pergantian kepemimpinan, negeri ini tidak akan pernah mampu keluar dari multikrisis yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997.

Berkaca pada pengalaman pergantian kepemimpinan beberapa waktu lalu, masih segar dalam ingatan sebagian besar publik di negeri ini bagaimana koalisi dibangun untuk merenggut kekuasaan Abdurrahman Wahid. Saat itu, alasan yang dikemukakan sama sebangun dengan wacana yang sedang dikembangkan saat ini, pergantian kepemimpinan sebuah keniscayaan guna menyelamatkan agenda reformasi untuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Kenyataannya, setelah hampir dua setengah tahun dilakukan pergantian, keadaan tetap tidak kunjung membaik.

Barangkali, tidak ada yang membantah Indonesia masih terpuruk dalam krisis. Karena itu, pada salah satu sisi, tetap ada yang percaya, pergantian kepemimpinan dapat menjadi salah satu jalan keluar. Tetapi, di sisi lain, setelah dilakukan berulang kali sejak 1998, banyak kalangan mulai meragukan, pergantian kepemimpinan as such merupakan cara paling ampuh keluar dari krisis. Apalagi pergantian itu dimulai dengan membentuk koalisi tanpa bingkai yang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali meraih kekuasaan.

Berdasarkan kenyataan itu, pergantian kepemimpinan tidak dapat lagi dijadikan variabel tunggal yang mempersulit Indonesia keluar dari krisis. Semua partai politik-terutama peserta Pemilu 1999 yang mendapat kursi di parlemen-secara terbuka harus mengakui, ada faktor penting lain yang mereka telantarkan selama ini, yaitu pemberantasan korupsi. Paling tidak, meruyaknya korupsi berbanding lurus dengan perkembangan sistem multipartai. Karena itu, yang harus dibangun adalah koalisi partai politik untuk melawan korupsi.
SETIDAKNYA ada empat alasan mendasar mengapa perlu dibentuk koalisi partai politik melawan korupsi.

Pertama, sampai saat ini partai politik hanya sibuk memikirkan bagaimana menghadapi Pemilu 2004. Gagasan koalisi dapat dikatakan sebagai bagian dari skenario memenangi pemilihan umum. Hampir tidak ada yang membahas dengan serius bagaimana menjadikan korupsi sebagai lawan abadi. Padahal, negeri ini sudah megap-megap dicekik koruptor yang sebagian pelakunya berasal atau terkait partai politik.

Misalnya, sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai daerah tersangkut kasus korupsi. Kalau memang ada komitmen untuk memerangi korupsi, sudah harus ada kebijakan internal partai politik untuk tidak lagi memasukkan nama itu ke dalam daftar calon anggota legislatif untuk Pemilu 2004. Tentu saja larangan itu tidak hanya ditujukan terhadap anggota perwakilan rakyat di daerah, tetapi juga terhadap anggota perwakilan rakyat di pusat, meski yang bersangkutan adalah tokoh mahapenting di jajaran dewan pimpinan pusat partai politik bersangkutan.

Sejauh ini hampir tidak ada partai politik yang secara terbuka menegaskan larangan ini. Adakah ini langkah taktis partai politik untuk menghindari konflik internal? Atau, apakah ini dapat dijadikan indikasi bahwa hampir semua partai politik tidak ada yang tidak terlibat praktik korupsi?

Kedua, membedakan antara partai politik yang punya komitmen memberantas korupsi dan partai politik yang tidak punya keinginan serius melawan praktik korupsi. Pembedaan itu menjadi penting agar publik mampu membedakan antara partai politik yang berpotensi menjadi sarang korupsi dan partai politik punya komitmen memerangi korupsi. Selama ini, pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mendapat dukungan lebih luas. Ketika dukungan itu diperoleh, jangankan memerangi, partai politik menjadikan korupsi sebagai salah satu modal dasar mempertahankan kekuasaan.

Saya percaya, membangun koalisi dengan platform pergantian kepemimpinan akan jauh lebih mudah dibanding membangun koalisi melawan korupsi. Alasannya, berkuasa adalah target utama yang harus digapai partai politik. Tetapi, bila koalisi melawan korupsi, dapat dipastikan banyak yang akan menghitung untung-ruginya karena koalisi akan melahirkan komitmen bersama yang dapat menyulitkan posisi partai politik, terutama yang terindikasi memelihara praktik korupsi. Misalnya, membuat kesepakatan untuk tidak melakukan praktik politik uang dalam Pemilu 2004.

Ketiga, membangun koalisi yang lebih luas dengan kelompok masyarakat lain yang mulai mencanangkan perang terhadap korupsi. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah membangun koalisi (baca: kerja sama) dalam memberantas korupsi. Sebelumnya, berbarengan dengan penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR 2003, beberapa kelompok masyarakat mendeklarasikan Gerakan Rakyat Melawan korupsi (Garansi) di Gedung MPR/DPR. Bila semua upaya itu disambut dan dikembangkan partai politik, akan muncul koalisi besar melawan korupsi.

Sayang, semua upaya yang dibangun masyarakat itu tidak menarik perhatian mayoritas partai politik. Padahal, untuk menghadapi pemilihan umum, tingkat respons mereka terhadap aspirasi yang berkembang di tingkat publik dapat mempengaruhi dukungan suara pemilih. Apalagi kalau aspirasi itu muncul dari organisasi massa sebesar NU dan Muhammadiyah, partai politik peserta koalisi akan mendapat nilai tambah dalam menghadapi pemilu mendatang. Tidak hanya itu, partai politik punya kesempatan merespons aspirasi yang berkembang untuk kemudian diperjuangkan dalam ranah kekuasaan.

Keempat, membentuk rezim baru yang bebas dari praktik korupsi. Poin ini sejalan dengan rencana pembentukan koalisi yang sedang digagas beberapa partai politik yang disebutkan pada awal tulisan ini. Bedanya, pembentukan rezim itu dilakukan koalisi partai politik yang mengharamkan praktik korupsi. Meskipun tidak ada jaminan akan memenangi Pemilu 2004, mulai sekarang koalisi itu sudah harus membangun langkah strategis guna membebaskan Indonesia dari cengkeraman koruptor. Jika perlu, langkah strategis itu dibuat dalam bentuk kontrak sosial dengan massa pemilih.

Langkah strategis dan kontrak sosial itu diperlukan untuk mencegah agar koalisi tidak lupa dengan semua janji mereka untuk memberantas korupsi. Selama ini pengalaman menunjukkan, janji memerangi korupsi hanya lancar diucapkan untuk meyakinkan publik menjelang sampai di takhta kekuasaan. Setelah berkuasa, mereka melakukan daur ulang sikap rezim terdahulu dalam memerangi korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus, rezim baru berusaha mempertahankan kekuasaan di atas tiang korupsi yang ditata dengan sangat apik.

MUNGKINKAH membangun koalisi partai politik seperti yang digambarkan di atas? Rasanya, melihat kecenderungan yang ada saat ini, koalisi itu sulit dibentuk menjelang pelaksanaan Pemilu 2004. Apalagi bila koalisi itu melibatkan partai politik besar yang sudah mapan. Barangkali peluang membangun koalisi melawan korupsi hanya mungkin dilakukan partai politik kecil yang belum tertular virus korupsi dan partai politik pendatang baru yang lolos verifikasi sebagai peserta pemilihan umum.

Itu pun hanya mungkin diwujudkan bila kedua kelompok partai politik tidak tergoda bergabung dengan aneka bentuk koalisi yang hanya dirancang guna meraih kekuasaan pasca-Pemilu 2004. Pilihan itu tidak mudah karena sebagian besar pembentukan partai politik hanya menggapai kekuasaan. Kecuali, ada yang mau berpikir dan rela berkorban guna menyelamatkan negeri ini. Yang pasti, jangan pernah menyerah melawan korupsi.
(Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dan peserta Program INDIRA di Van Vollenhoven Institute University of Leiden)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Rabu, 12 November 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan