Kisah Kolaborasi Jurnalis dan Masyarakat Sipil di Yogyakarta
Bagaimana kolaborasi antara jurnalis dan masyarakat sipil di Yogyakarta dalam mengungkap indikasi penyelewengan pembangunan gedung relokasi PKL?
Bhekti Suryani tidak puas dengan dampak dari liputan investigasi yang ia ikut kerjakan itu. Selama tiga bulan lamanya ia dan tim menelusuri berbagai macam dokumen dan menemui beragam narasumber. Liputannya yang terbit pada pertengahan November 2019 ini menelisik dugaan penyimpangan tender pada pembangunan gedung relokasi pedagang kaki lima di kawasan Malioboro.
“Pola kejahatannya sudah terlihat dan aroma nepotismenya kental sekali. Tapi tidak ada tindak lanjut dari sisi pidana,” keluh Bhekti.
Sehari-hari Bhekti bekerja sebagai jurnalis di Harian Jogja. Ia merupakan salah satu jurnalis yang terlibat dalam sebuah proyek investigasi kolaboratif antara jurnalis dan masyarakat sipil di Yogyakarta. Liputan hasil kolaborasi ini terbit secara mandiri di beberapa media berbeda, tempat kerja masing-masing jurnalis yang terlibat dalam proyek ini.
Proyek investigasi ini bermula ketika 20 orang jurnalis dan aktivis organisasi masyarakat sipil mendapatkan pelatihan dari Indonesia Corruption Watch dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pelatihan yang diadakan pada awal Juli 2019 itu berfokus pada isu pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan.
Usai pelatihan tersebut, Bhekti mengajukan usulan untuk menelisik proyek pembangunan gedung bekas Bioskop Indra, bioskop pertama di Yogyakarta. Dari sejumlah indikasi awal, aroma dugaan penyelewengan meruap kuat. Mereka pun menggunakan data dari OpenTender.net untuk membuktikan kecurigaan mereka. OpenTender.net adalah situs yang menyediakan data mengenai potensi korupsi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan. Hasilnya, situs ini memberikan nilai 19, yang berarti bahwa proyek pembangunan tersebut masuk dalam kategori penyimpangan tinggi.
Beres menentukan topik peliputan, kolaborasi pun memilih anggota tim. Karena tidak ada seleksi, maka seluruh peserta pelatihan termasuk delapan jurnalis menjadi bagian dari tim kolaborasi ini. Namun, koalisi gemuk ini justru menyulitkan pergerakan tim. Liputan mereka tersendat pada bulan-bulan pertama karena perbedaan ritme kerja. Persoalan lain, menurut Bhekti, tidak semua pewarta memiliki pengalaman dan semangat dalam investigasi kolaboratif. “Ada yang tidak terbiasa mengolah data,” kata Bhekti.
Sebagai salah satu anggota tim, Haedar dari IDEA Yogyakarta menuturkan ada juga persoalan lain di luar masalah kompetensi, dan itu justru datang dari kantor media masing-masing jurnalis. Sebagian wartawan, misalnya, tidak dibebaskan dari beban liputan reguler. Padahal, menurut Haedar, liputan investigasi berbeda dengan liputan biasa. Mereka mesti mempelajari peta besar persoalan, mencari dokumen, hingga mengonfirmasi nama-nama yang terkait dengan isi pemberitaan.
Selama beberapa bulan penelusuran dokumen, hanya tiga jurnalis yang benar-benar bekerja intensif. “Yang lain terbebani dengan agenda liputan harian,” kata Haedar.
Faktor lain yang juga menghambat proses investigasi adalah kompetensi di bidang pengadaan barang dan jasa. Menurut Haedar, keterbukaan kontrak merupakan isu baru bagi sebagian besar anggota tim kolaborasi. Di luar itu, anggota koalisi juga memiliki beragam latar belakang dengan fokus advoksi yang tidak sama. Misalnya, ada organisasi yang lebih fokus pada advokasi terhadap kelompok yang terdampak pasca relokasi. Mereka antara lain buruh gendong, pedagang, dan kelompok miskin.
Terlebih, beberapa anggota tim kolaborasi mundur dari proyek ini di tengah jalan. Meski begitu, Haedar menceritakan kalau seluruh anggota tim bersepakat bahwa pembangunan gedung ini berpotensi merugikan kepentingan banyak orang. “Titik temu di antara kami adalah pengawasan anggaran publik,” ujar Haedar.
Dalam pembagian tugas, aktivis bertugas mendapatkan dokumen pengadaan sementara jurnalis bertugas untuk mengonfirmasi temuan-temuan dari dokumen tersebut. Namun, perbedaan ritme kerja antara jurnalis dengan aktivis juga sempat menyulitkan kerja tim.
Bhekti mengakui perlu waktu dalam menyesuaikan ritme kerja. Kegagalan mendapatkan dokumen pengadaan membuat jadwal investigasi melenceng dari jadwal. Ketika sudah harus masuk ke tahap konfirmasi ke pihak tertuduh, tim kolaborasi justru masih kesulitan mendapatkan dokumen pengadaan. Akibatnya, liputan pun menjadi lebih lama. “Padahal waktunya sudah mepet,” kata Bhekti.
Haedar tak menampik pada awalnya mereka memang tertatih-tatih. “Kami belum terbiasa melihat dokumen tender dan pengadaan,” ujarnya.
Menurut Haedar, akses dokumen bermasalah karena pejabat di pemerintahan Yogyakarta berpendapat dokumen pengadaan bukan dokumen publik. Namun tim kolaborasi tak putus asa. Beberapa cara mereka tempuh untuk mendapatkan dokumen.
Pada awalnya, Haedar berupaya mendekati para pejabat terkait secara personal karena ia pernah bekerjasama dengan mereka di sejumlah program. Tapi gagal. Mereka kemudian menempuh prosedur resmi dengan mengirim surat. Cara ini pun tetap tak membuahkan hasil. “Mereka hanya memberikan dokumen yang juga bisa kami akses di internet,” kata dia.
Berbekal data yang ada, tim kolaborasi menemui sejumlah narasumber yang bisa menceritakan mengenai dugaan monopoli dan penyimpangan di proyek ini. Hasilnya, liputan wartawan itu pun terbit pada pertengahan November 2019. Kolaborasi jurnalis dan masyarakat sipil ini menemukan bahwa pengadaan gedung relokasi itu menggunakan metode lelang cepat yang umumnya dipakai untuk proyek-proyek sederhana. Di sisi lain, tim kolaborasi juga menemukan dua dari tiga paket pembangunan dikuasai oleh orang yang sama sehingga ada dugaan monopoli.
Setelah liputan itu terbit, tidak banyak tindak lanjut yang bisa mereka lakukan. Haedar mengatakan, pemerintah Yogyakarta memilih diam dan tidak merespons liputan ini. “Mereka memang tidak frontal,” kata Haedar.
Agar kerja jurnalis memiliki dampak, Haedar berharap ada upaya untuk menyebarkan gagasan tentang keterbukaan kontrak ke publik yang lebih luas. “Mainstreaming isu pengadaan barang dan jasa menjadi sangat relevan,” kata Haedar. Tujuannya, agar publik memiliki kesadaran yang sama dalam proses pengadaan barang dan jasa. Peningkatan kapasitas di sektor ini akan membuat lebih banyak mata yang mengawasi proyek pemerintah. Apalagi, ujar dia, proyek pengadaan di lingkungan pemerintahan Yogyakarta jumlahnya sangat besar tiap tahun.
Liputan yang tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum sebenarnya mengecewakan Bhekti. Namun, pengalaman selama tiga bulan itu memberi bekal yang cukup untuk mematangkan naluri investigasinya. Setelah mendapatkan pelatihan Open Tender, sekarang radarnya segera menyala begitu mendengar ada proyek pengadaan di lingkungan pemerintahan.
“Begitu ada proyek pengadaan, sensor kami langsung bekerja. Ada potensi penyimpangan nggak ya?” kata Bhekti. []