Kilas Balik ICW: 17 Tahun Melawan Korupsi

Tepat pada tanggal 21 Juni 2015, Indonesia Corruption Watch berulang tahun ke 17. Tercatat, sudah terjadi tiga tahap proses regenerasi aktivis dan gerakan antikorupsi di ICW. Untuk pertama kalinya, organisasi ini digawangi oleh Teten Masduki. Kini Teten menjadi salah satu anggota Tim Komunikasi Presiden Jokowi. Sebelumnya ia sempat mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat bersama Rieke Diah Pitaloka, namun kalah oleh pasangan Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar. Setelah generasi Teten, lahir generasi kedua dengan koordinatornya, Danang J Widoyoko. Saat ini Danang sedang mengambil studi S3 di ANU, Canberra, Australia.  Kini, ICW dikendalikan oleh generasi ketiga yang separuh awaknya masih usia muda. Harapannya, akan banyak gagasan, pemikiran dan terobosan dalam melawan korupsi yang lahir dari aktivis muda yang bergabung dengan ICW.

Tantangan dalam memberantas korupsi dari satu generasi ke generasi berikutnya tentu saja berbeda. Dulu, sebelum gerakan antikorupsi menjadi lebih massif seperti saat ini, ICW bergerak sendirian. Belum banyak inisiatif yang diambil untuk mendorong gerakan antikorupsi. Oleh karenanya, upaya yang kala itu dilakukan adalah bagaimana menyusun strategi supaya warga atau kelompok masyarakat dalam terlibat langsung dalam melawan korupsi. Fokus area advokasinya adalah membongkar kasus-kasus korupsi. Harapannya, dengan mengungkap kasus korupsi dan mempublikasikan temuan tersebut secara besar-besaran, publik akan tergerak untuk melakukan hal yang sama. Membangkitkan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi adalah salah satu tujuannya. Usaha itu bisa dikatakan berhasil. Masyarakat, bahkan dari pelosok negeri, kini berani melaporkan adanya dugaan kasus korupsi.

Pada generasi kedua, tantangan utamanya adalah bagaimana membangun metoda gerakan antikorupsi baru yang adaptif dan responsive terhadap masalah yang lebih kompleks. Pengenalan berbagai macam pendekatan adalah strategi yang dipilih. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengadopsi sebagian besar konsepnya dari ICAC di Hongkong, adalah salah satu pilihannya. Dalam situasi dimana aparat penegak hukum yang konvensional gagal dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum, dan kebutuhan akan strategi pemberantasan korupsi yang lebih luas, KPK adalah jawabannya. Dengan otoritas yang lebih kuat, mekanisme kelembagaan yang lebih transparan dan akuntabel, serta fungsi pemberantasan korupsi yang lebih berdimensi jangka panjang, KPK cepat mendapatkan tempat di hati publik. Selain mendorong kelahiran KPK, ICW juga mengembangkan berbagai macam metoda pengawasan dan advokasi antikorupsi yang lain. Seperti contoh eksaminasi publik, kartu laporan warga, gugatan class action, monitoring dana kampanye, uji keterbukaan informasi publik dan lain sebagainya.

Kini, pada usia 17 tahun, tantangan yang dihadapi gerakan antikorupsi makin berat. Bukan hanya karena terjadinya fragmentasi gerakan sosial, akan tetapi pada saat yang sama konsolidasi kekuasaan yang oligarkhis makin kuat, praktek desentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap korupsi, stagnasi reformasi birokrasi dan buntunya agenda reformasi hukum. Hukum menjadi alat politik. Ada pengulangan sejarah antara periode Orde Baru dengan Orde Reformasi dimana hukum tidak steril dan tidak independen dari kekuasaan yang korup sehingga mudah dimanipulasi dan disalahgunakan untuk kepentingan segelintir penguasa. Akibatnya, produk reformasi terancam. KPK menjadi target untuk dilucuti wewenangnya dan terancam tumpul. Kelompok antikorupsi yang aktif dibungkam dan dikriminalisasi.

Dengan tantangan yang makin pelik, ICW membutuhkan strategi baru yang lebih efektif. Tampaknya, gerakan antikorupsi harus bergerak pada aras yang lebih luas, dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk terlibat. Membangun jaringan antikorupsi yang lebih solid dan lebih terorganisir merupakan tantangan baru yang harus dijawab. Lahirnya pemimpin lokal yang memiliki komitmen besar membangun pemerintahan yang bersih dan akuntabel, ditengah pesimisme banyak pihak atas politik desentralisasi, merupakan peluang baru yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh ICW dan gerakan antikorupsi. Membangun keterlibatan yang lebih luas melalui mekanisme critical engagement dengan pemimpin lokal yang berkomitmen dalam agenda antikorupsi adalah kesempatan untuk memupuk harapan publik bahwa perubahan bisa dilakukan. Demikian halnya, revolusi teknologi informasi memberikan kesempatan yang besar bagi gerakan antikorupsi untuk mendesain strategi advokasi yang lebih efektif.

Untuk menjaga supaya nafas gerakan antikorupsi dapat hidup lebih lama dan mengakar secara lebih dalam, ICW menganggap perlunya proses regenerasi yang berkelanjutan. Sekolah Antikorupsi (SAKTI) yang diinisiasi ICW bersama jaringan antikorupsi di tempat lain adalah salah satu ikhtiar untuk memperpanjang langkah dan usaha melawan korupsi. Anak muda adalah generasi andalan setiap bangsa. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa dilawan oleh siapapun. Dengan berporos pada anak muda, gerakan antikorupsi diyakini akan menjadi lebih bertenaga, kian kreatif dan dapat menjawab tantangan yang lebih berat.***

                                                                                           Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan