Kewenangan Mendagri Membatalkan Perda [13/08/04]

Revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU PD) terus digarap. Dalam salah satu klausul rancangan revisi tersebut, di antaranya bahwa peraturan daerah (perda) dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Kewenangan membatalkan perda yang bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi tetap menjadi kewenangan Mendagri. Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Oentarto Sindung Mawardi.

Sebelumnya, Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional II mengusulkan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah berwenang untuk dan atas nama presiden membatalkan peraturan daerah dan kebijaksanaan kepala daerah kabupaten/kota yang terbukti atau secara nyata bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum (Kompas, 10/8).

Ide pembatalan perda melalui Mendagri atau gubernur dapat dipahami, karena banyak distorsi penyelenggaraan otonomi daerah dengan bingkai UU PD selama ini, di antaranya pembuatan regulasi lokal melalui perda yang menunjukkan eksklusivitas lokal daripada inklusivitas lokal, bahkan lebih cenderung tampak sebagai wajah kesewenang-wenangan lokal yang berujung korup.

Namun, persoalan guna mengatasi hal tersebut, otoritas lokal dalam hal regulasi tidak boleh dengan mudah dibatalkan oleh otoritas pusat karena hal ini cenderung menjadi kesewenang-wenangan yang cenderung mengarah pada resentralisasi, bukan merekonstruksi perangkat desentralisasi yang lebih membumi dan terkontrol.

Jelas bahwa kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda adalah rechtspolitiek (politik hukum) pemerintah pusat untuk semakin mencengkeram leher manajemen lokal. Padahal, yang seharusnya dipikirkan adalah bagaimana revisi UU PD ini membuat pemerintahan pusat dan hukum itu mampu memfasilitasi dan mengawal desentralisasi hingga tujuan utamanya tercapai, yaitu kemakmuran lokal yang ujung-ujungnya kemakmuran merata seluruh bangsa.

Persoalan dari revisi ini menyangkut kewenangan pembatalan perda oleh Mendagri atau gubernur dapat menimbulkan komplikasi yuridis. Menurut saya, kewenangan membatalkan perda, atau bahasa yuridisnya menyatakan bahwa perda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berada dalam domain judicial review di Mahkamah Agung (MA). Pembatalan juga dapat dilakukan melalui revisi legislasi oleh kekuasaan lokal sendiri atau kekuasaan yang lebih tinggi yang mendapatkan atribusi kewenangan dari undang-undang, bukan pada Mendagri/gubernur yang notabene hanyalah pembantu presiden dalam kekuasaan eksekutif.

Jika keinginan Mendagri/gubernur dapat membatalkan perda ini diundangkan, dapat menimbulkan komplikasi konstitusional. Klausul revisi ini akan bertentangan dengan konstitusi (law against the constitution) ketika kita sepakat bahwa pembatalan perda adalah domain judicial review.

Pasal 24A UUD 1945 menentukan bahwa MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan konstitusional MA ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) dan Pasal 31 UU No. 5/ 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14/ 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA.

Dari ketentuan konstitusi di atas yang dijabarkan lagi dalam UU KK dan UU MA, Mendagri/gubernur tidaklah memiliki dasar konstitusional untuk diberi kewenangan membatalkan perda. Produk hukum Mendagri/gubernur seperti Keputusan Mendagri ataupun Keputusan Gubernur adalah ranah administratif yang tidak mempunyai energi menginvasi ranah kekuasaan judicial review yang berada pada MA. Maka, kekuasaan membatalkan perda yang diberikan kepada Mendagri maupun gubernur yang jika diundangkan dalam Revisi UUPD, UU PD revisi tersebut dapat digugat melalui MK oleh pemerintah kabupaten/kota sendiri atau unsur lainnya karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Tap MPR No. III/MPR/2000 menyebutkan hierarki perundang-undangan yang berlaku saat ini bahwa perda berada di bawah keputusan presiden (keppres), peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), undang-undang (UU), Tap MPR, dan UUD 1945.

Dalam RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disetujui DPR pada 24 Mei 2004, perda dibedah menjadi tiga kualifikasi, yaitu Perda Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan gubernur, Perda Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota, Peraturan Desa atau peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Kedudukan hukum perda dalam RUU ini di bawah peraturan presiden, peraturan pemerintah, undang-undang/perpu, dan UUD 1945. Sementara itu, Keputusan Mendagri atau Gubernur tidak berada dalam hierarki tersebut, karena kedua instrumen hukum ini sesungguhnya adalah ranah administratif yang tidak mempunyai energi untuk membatalkan perda.

Seandainya baju hukum Mendagri atau gubernur untuk membatalkan perda, misalnya dengan Peraturan Mendagri atau Peraturan Gubernur, juga tidaklah mempunyai energi untuk membatalkan perda karena perda adalah peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum lebih tinggi karena merupakan bagian hierarki perundang-undangan.

Menurut saya, bahwa jika pemerintah dengan spirit kontrol atas regulasi lokal yang eksklusif yang terkadang melabrak peraturan perundang-undangan di atasnya, kewenangan pembatalan-nya bukanlah kepada otoritas Mendagri atau gubernur sendiri. Berdasarkan RUU Pembentukan Perundang-undangan pembatalan perda dapat dilakukan dalam ranah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Untuk Perda Kabupaten/Kota yang dianggap bertentangan dengan perundang-undangan, gubernur dapat membatalkan Perda Kabupaten/Kota dengan merevisi perda tersebut melalui instrumen hukum Perda Provinsi yang imperatif hasil kolaborasi dengan DPRD Provinsi, jadi bukan otoritas gubernur an sich, otomatis ketentuan Perda Kabupaten/Kota yang direvisi oleh Perda Provinsi menjadi tidak berlaku.

Presiden pun dapat menggunakan kewenangan mengaturnya melalui peraturan presiden untuk merevisi (sesungguhnya membatalkan) jika DPRD dan pemerintah kabupaten/kota setempat tetap ngotot untuk tidak melakukan legislative review dengan syarat-syarat tertentu yang harus dijabarkan dalam revisi UU PD.

Apabila syarat tersebut terpenuhi, presiden melalui instrumen peraturan presiden dapat merevisi Perda Kabupaten/Kota, termasuk Perda Provinsi, untuk kemudian ketentuan perda yang telah direvisi secara otomatis tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini mendapat landasan kuat prinsip hukum bahwa hukum yang lebih tinggi atau lahir belakangan meminggirkan hukum yang lebih rendah atau lahir duluan. Lex superiori derogate legi inferiori, lex posteriori derogate legi priori. (A. Irmanputra Sidin, Asisten Hakim Konstitusi, Tulisan ini merupakan pendapat pribadi)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 13 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan