Ketua Panitera PN Jakbar Dilaporkan Terima Suap [11/06/04]

Ketua Panitera Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar), Limbong, dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena diduga menerima suap sebesar Rp40 juta, Selasa (8/6) malam. Limbong dilaporkan oleh Djajusman, penggugat kasus sengketa tanah yang sedang disidangkan di PN Jakbar.

Menurut informasi yang dikumpulkan Media, sidang sengketa tanah yang melibatkan Djajusman dan Rismar Hidayat akan segera masuk dalam tahap putusan. Djajusman curiga bila Rismar akan menyuap petugas PN Jakbar untuk memenangkan perkara. Lalu, dia melakukan penyelidikan untuk membuktikan hal itu.

Selasa (8/6) sore, Djajusman membuntuti Rismar yang diduga akan bertransaksi dengan oknum di PN Jakbar. Ketika mobil Rismar berhenti di tempat pencucian mobil, sebelah rumah makan padang di Jl KS Tubun, Petamburan, Jakarta Barat, ternyata Rismar bertemu dengan Limbong.

Saat Rismar akan menyerahkan satu amplop cokelat berlogo BCA, Djajusman langsung merampasnya. Djajusman menuduh keduanya melakukan transaksi suap agar dirinya kalah dalam persidangan.

Amplop, yang ternyata berisi uang pecahan Rp100 ribu sebanyak Rp40 juta, lalu dibawa Djajusman ke Polda Metro Jaya. Ia lalu melaporkan Limbong dan Rismar ke Sentra Pelayanan Kepolisian. Keduanya dituduh melanggar pasal 420 dan 419 KUHP, serta UU RI no 11/1980 tentang tindak pidana suap. Uang yang dibungkus amplop cokelat bertuliskan untuk Mr X itu ia serahkan ke polisi untuk dijadikan barang bukti.

Sementara itu, di Pengadilan Tinggi DKI giliran kuasa hukum Letjen (Purn) Djadja Suparman (mantan Pangkostrad) dkk dimintai keterangannya, kemarin. Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur diperiksa oleh Pengadilan Tinggi DKI yang diduga terkait memanipulasi surat bukti baru dalam perkara sengketa tanah seluas delapan hektare (Media, 9/6).

Majelis hakim PT DKI meminta penjelasan mengenai tuduhan adanya penggelapan surat bukti yang dilakukan ketiga majelis hakim dan panitera PN Jaktim, ujar Suhana, pengacara Djadja Suparman.

Dalam kasus itu, yang beperkara adalah PT Mercu Buana, milik pengusaha Probosutedjo melawan warga kelurahan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Pihak tergugat kelompok warga itu salah satunya Djadja Suparman.

Dalam putusannya yang dibacakan pada tanggal 24 Mei lalu, majelis hakim PN Jakarta Timur yang diketuai Sjarnubi dalam putusannya memenangkan gugatan PT Mercu Buana dengan putusan serta-merta. Artinya, eksekusi terhadap lahan yang ditempati oleh 120 kepala keluarga dilakukan tanpa menunggu putusan banding.

Menurut Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Tinggi Jakarta Hasan Basri Pase, warga keberatan atas putusan tersebut karena dalam pertimbangannya majelis hakim mengajukan enam buah surat bukti kepemilikan tanah yang memenangkan PT Mercu Buana. Sementara itu, selama persidangan berlangsung, surat bukti yang diajukan hanya satu buah, sehingga diduga telah terjadi manipulasi terhadap surat bukti. Saat itu ketika pemeriksaan berlangsung, puluhan warga Kelurahan Jatinegara Kaum yang terancam digusur melakukan unjuk rasa di depan Kantor Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Menurut Suhana, putusan PN Jaktim telah cacat hukum dan telah terjadi kebohongan publik. Saat dibacakannya putusan di PN Jaktim tanggal 24 Mei lalu, majelis memutuskan perkara tersebut dengan menggunakan 6 surat bukti kepemilikan tanah. Namun, nyatanya hanya menyampaikan satu surat bukti, yakni surat hak guna bangunan (HGB) No 123, sedangkan surat bukti lainnya tidak.

''Berdasarkan hal tersebut, kami sepakat langsung melaporkan ke pengadilan tinggi dengan dasar penyelundupan dokumen. Bagaimana bisa majelis hakim memutuskan suatu perkara yang seharusnya memiliki enam surat bukti kepemilikan, namun nyatanya hanya satu surat bukti yang disampaikan. Akhirnya, perkara nomor 155/2003 tersebut dimenangkan majelis hakim kepada mereka, ujarnya. (Inv/Ars/J-2).

Sumber: Media Indonesia, 11 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan