Ketua DPRD Cianjur Divonis Bebas [25/06/04]
Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi APBD senilai Rp 3 miliar, yaitu Ketua DPRD Cianjur, H. Deden Zaini Dahlan, S.H., Sekretaris DPRD, Hj. Nani Anggraeni, S.H., dan Kepala Sub. Keuangan DPRD, Hj. Tinoy Kustini Subli, S.H., divonis bebas murni oleh majelis hakim dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cianjur, Kamis (24/6).
Begitu majelis hakim yang diketuai Irwan, S.H., dan anggota Lamsana Sipayung S.H., dan Rukman Hadi, S.H., mengetokkan palu dan sambil menyebutkan vonis bebas murni, ketiga terdakwa terlihat menangis terharu. Sesaat kemudian mereka langsung mendapat ucapan selamat dan pelukan dari ratusan pengunjung yang memadati ruang persidangan.
Dalam persidangan yang berlangsung selama hampir 6 jam lebih, majelis hakim menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yang menuntut terdakwa I Deden Zaeni Dahlan 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta. Serta terdakwa II Nani Anggraeni dan terdakwa III Tinoy Kustini masing-masing dituntut 3 tahun penjara plus denda Rp 300 juta.
Menurut majelis hakim, dakwaan JPU yang menjerat ketiga terdakwa dengan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang korupsi tidak terbukti. Selain itu, berdasarkan keputusan majelis hakim, Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang anggaran dewan yang digunakan oleh JPU sudah tidak berlaku alias batal dalam judicial review Mahkamah Agung. Peraturan tersebut hanya menjadi pedoman karena sudah ada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang juga mengatur perimbangan anggaran bagi lembaga legislatif.
Menanggapi keputusan vonis bebas murni tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur, Memed Sumenda, S.H., mengaku tidak kaget dan pihaknya akan melakukan kasasi terhadap keputusan dari majelis hakim tersebut.
Memed juga melihat selama jalannya persidangan, mejelis hakim beranggapan kalau PP 110 tahun 2000 dianggap tidak berlaku lagi. Padahal, dakwaan JPU dengan mendasarkan pada PP No 110 Tahun 2000 sudah benar. Alasannya, pada saat APBD tahun 2002 dibahas dan ditetapkan, peraturan tersebut masih berlaku. Selain itu, sambung Memed, judicial review oleh Mahkamah Agung tidak serta merta menggugurkan peraturan tersebut. Jaksa sudah benar dalam melakukan dakwaan yang didasarkan pada PP No 110 Tahun 2000 itu, untuk itu kita akan melakukan kasasi kata Memed yang dihubungi melalui pesawat telefon.
Dada siap
Sementara itu, Wali Kota Bandung, Dada Rosada menyatakan tidak keberatan diundang tim penyidik kejari setempat untuk dimintai keterangan seputar dugaan korupsi DPRD Kota Bandung. Pernyataan senada, juga diungkapkan Ketua Fraksi Keadilan Bulan Bintang (FKBB) DPRD kota, Husni Muttaqin.
Biar saja. Saya nggak keberatan diundang kejaksaan, tegasnya kepada wartawan di Stasiun kereta api (KA) Bandung di sela-sela pengecekan persiapan ulang tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), Kamis (24/6).
Komentar wali kota tersebut, menanggapi rencana tim penyidik Kejari Bandung mengundang sejumlah pejabat Pemkot dan anggota DPRD untuk dimintai keterangan pekan depan. Hanya, sejauh ini belum diketahui siapa saja yang akan diundang meskipun ada isyarat pejabat yang berhubungan dengan keuangan.
Sebelumnya, menjawab pertanyaan PR tentang rencana pemanggilan (bukan diundang,red) sejumlah pejabat Pemkot dan DPRD itu, dia menegaskan masalah tersebut urusan DPRD. Itu urusan DPRD. Tanya saja ke mereka, jawabnya.
Ketua FKBB Husni Muttaqin menegaskan, munculnya dugaan korupsi ini memang harus dibuktikan kebenarannya oleh Kejaksaan. Demikian pula, lembaga dewan juga harus mampu menunjukkan dasar-dasar hukumnya apabila tuduhan korupsi itu tidak betul. Saya sendiri siap untuk mempertanggungjawabkan pemakaian dana obeservasi dan operasional yang telah saya terima, tegasnya saat dikonfirmasi PR di Gedung DPRD, kemarin.
Kandidat Ketua DPRD Kota Bandung periode 2004-2009 ini mengaku, dana observasi yang ia terima lewat komisi Rp 15 juta per tiga bulan selalu digunakan berdasar kebijakan partai, dalam hal ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dari dana itu, 40 persen untuk kegiatan partai, 30 persen kegiatan sosial dan 30 persen lainnya untuk pribadi. Itu kebijakan partai kami. Insya Allah saya juga siap menyerahkan laporan jika memang dibutuhkan, tambahnya.
Serahkan surat
Sementara itu, Direktur Bandung Institute for Governance Study (BIGS) Dedi Haryadi, kamis pagi (24/6) menyerahkan surat ke Kajari Bandung, Yuswa Kusumah, S.H. Akan tetapi, karena saat itu Kajari tidak ada di kantor, maka surat itu dititipkan ke sekretariat Kejari.
Dalam surat itu, Dedi mempertanyakan status laporannya tentang dugaan korupsi DPRD Kota Bandung tanggal 11 Juni 2004 lalu. Dia juga akan melaporkan ke Komisi Ombudsman Nasional (KON) apabila surat keduanya itu dalam tempo sepekan tidak direspons Kejari.
Jika dalam waktu sepekan surat kedua ini juga tidak ada respons, kami akan melaporkan ke Komisi Ombudsman di Jakarta. Biar nanti Ombudsman yang meneruskan ke Kejaksaan Agung dan selanjutnya kejaksaan Agung mempertanyakan ke Kejari Bandung, jelasnya.
Sumedang
Kejari Sumedang kini sedang melakukan langkah-langkah untuk kemungkinan melakukan proses hukum berkaitan dugaan kasus kejahatan anggaran secara kolektif di DPRD setempat. Untuk itu, lembaga penegak hukum ini, langsung mempelajari komposisi dan porsi pos anggaran Dewan dan Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD setempat yang diduga menyimpang dari ketentuan PP 110 tahun 2000 itu.
Sementara itu, menurut informasi yang diperoleh PR, Kamis (24/6), berkaitan kasus tersebut, tidak sedikit anggota dewan yang terkesan kebakaran jenggot, bahkan dikabarkan ada yang langsung jatuh sakit begitu mendengar adanya dugaan penyimpangan hasil kajian dan diskusi sejumlah unsur LSM dan praktisi hukum itu.
Kajari Sumedang, Agus Suratno, S.H., membenarkan, pihaknya tengah melakukan langkah-langkah awal untuk mengetahui, ada dan tidaknya, serta sejauhmana dugaan penyimpangan di DPRD itu terjadi. Untuk langkah awal, pihaknya sudah menugaskan jaksa, di bawah koordinator Kasi Pidsus, untuk mempelajari isi perut APBD, khususnya pos anggaran Setwan dan DPRD. Kami sudah perintahkan Kasi Pidsus untuk mempelajari kasus itu. Tapi, sampai saat ini saya belum menerima laporannya, katanya.
Sekretaris Komisi A, Ismet Suparmat mengakui, pedoman yang digunakan dewan dalam menyusun anggaran, bukan Surat Edaran (SE) Mendagri, maupun PP 110 tahun 2000. Pada prinsipnya, masalah anggaran itu masih transisional. Anggaran yang kami gunakan, ada di tengah-tengah antara ketentuan PP 110 dan SE Mendagri. Karena, PP 110 sudah dicabut Mahkamah Agung, tapi belum ada peraturan penggantinya, ujar Ismet yang juga anggota Panmus DPRD ini.
Sedangkan untuk mengikuti ketentuan SE, menurut Ismet, belum dapat dilaksanakan, mengingat kondisi anggaran Sumedang masih terbatas. Karena, jika mengacu kepada SE itu, anggaran yang digunakan akan jauh lebih besar lagi. Contohnya saja, ada kabupaten lain yang telah mengikuti ketentuan SE Mendagri, kemudian menetapkan nilai anggaran penjaringan aspirasi mencapai Rp 5 juta sampai Rp 7 juta/ orang per bulan, sedangkan kita masih Rp 1 juta per bulan/orang, ucapnya seraya menyebutkan, karena tahun anggaran masih berjalan, maka kalau tidak sesuai bisa saja dilakukan perubahan.
Garut
Kini giliran mantan Bupati Garut Drs. H. Dede Satibi Kamis (24/6) dipanggil pihak kejaksaan negeri Garut untuk dimintai keterangan sebagai saksi, setelah sebelumnya penyiar radio FM Reks Garut Iwan Kustiana (Inkus). Dede Satibi itu sendiri datang tepat waktu dan diperiksa oleh Tim penyidik Kasi Pidsus Masril N, S.H., hingga pukul 16.00 WIB pemeriksaan masih berlangsung.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Garut H. Winerdy Darwis, S.H., M.H., saat ditemui di kantornya jalan Pramuka Garut kepada pers menyatakan, hingga saat ini sudah 26 orang saksi yang telah diperiksa sehubungan dengan dugaan korupsi APBD-gate di DPRD Garut, dan tidak menutup kemungkinan kita masih akan memeriksa saksi lain di antaranya dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Saat disinggung masalah pemanggilan Iwan Kustiana salah seorang penyiar radio Reks, Winerdy menjelaskan bahwa pemanggilan terhadap Inkus ini, tujuanya untuk mengumpulkan data yang ada di masyarakat yang telah diterima oleh Inkus.
Sedangkan Inkus saat dimintai keterangan oleh pihak Kejari, disodori dengan 12 pertanyaan berlapis, berkisar soal dugaan korupsi APBD Garut tahun anggaran 2001-2003 oleh anggota DPRD Garut. Antara lain, ihwal sumber pemberitaan, besaran nilai uang yang diduga dikorupsi, tanggapan masyarakat terhadap kasus korupsi Dewan berikut penyelesaiannya, termasuk soal pengembalian uang Rp 2,5 miliar.
Yang jelas, apa yang ditanyakan pihak kejari itu lebih mengarah pada seberapa jauh sikap dan keinginan masyarakat terhadap penyelesaian kasus korupsi APBD ini. Masyarakat menginginkan agar kasus ini diselesaikan secara benar dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah, ujar Inkus.
Menurut Inkus yang selama satu jam diperiksa oleh Kasi Intel H. Ratiman, S.H., M.H. itu, apa yang ingin diketahui oleh pihak kejaksaan dijawab apa adanya sesuai perkembangan pemberitaan. Mengenai sumber pemberitaan pun justru sering dikembalikannya pada pihak kejari karena pemberitaan kasus dugaan korupsi itu, lebih banyak bersumber dari pihak kejari Garut sendiri. Sekalipun banyak pihak yang menawari saya menyediakan advokasi namun rasanya hal itu belum diperlukan saat ini. Saya juga berharap, unsur wartawan yang dijadikan saksi dalam kasus ini cukup saya saja,