Ketika Korupsi Dijadikan Hak Asasi

Indonesia termasuk negara terkorup di dunia. Dalam beberapa laporan terakhir lembaga pemantau korupsi, Transparency International (TI) , senantiasa menempatkan Indonesia dalam 10 negara paling korup di samping Nigeria, Pakistan, Kenya, Bangladesh, Cina, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India.Di negeri ini, praktik korupsi sudah sangat menjamur, mengakar, bahkan jadi budaya sehari-hari.

Hampir di setiap institusi pemerintah dari Rukun Tetangga (RT) sampai tingkat lembaga tinggi negara terjangkit korupsi. Misalnya, dalam mengurus KTP dan surat-surat keterangan lainnya yang dimulai dari pejabat tingkat RT si pembuat akan dikenakan biaya lain-lain di luar biaya resmi. Pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, bahkan sampai membuat surat keterangan tidak mampu dan surat kematian pun tak luput dari korupsi. Pada tingkat yang lebih tinggi, misalnya, seorang pejabat menyimpan uang negara dalam rekening pribadinya, menggunakan fasilitas negara seperti telepon, listrik, air, alat tulis kantor dianggap biasa. Juga anggota legislatif yang tidak disiplin menghadiri rapat-rapat DPR hingga banyak keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat tertunda.

Di lingkungan departemen yang melayani kesejahteraan rakyat, banyak dana sosial yang diselewengkan dan tidak sampai ke tangan yang berhak. Ironisnya, Departemen Agama yang seyogianya menjadi institusi terdepan dalam mempertahankan nilai-nilai moralitas dan Departemen Pendidikan Nasional yang bertugas mencetak generasi penerus bangsa justru menjadi sarang korupsi nomor wahid. Demikian juga korupsi yang terjadi di kalangan penegak hukum, jaksa, hakim, lembaga legislatif, dan lembaga-lembaga swasta lainnya.Yang menggelikan, bahkan masyarakat akar rumput juga ikut berkorupsi ria, meskipun kapasitasnya masih kecil-kecilan. Seperti pedagang kaki lima menggunakan badan jalan untuk berdagang yang membuat kemacetan lalu lintas dan tidak menyisakan tratoar untuk pejalan kaki, pengasong berjualan di sembarang tempat, kondektur dan supir angkutan umum menggunakan jalan seenaknya tanpa mengindahkan rambu-rambu lalu lintas dan pengendara yang lain, para pedagang menjual tidak sesuai dengan timbangan/takaran. Dan, para pegiat sektor informal di tengah gemerlap kota besar, juga tak kalah giat dalam berkorupsi. Tampaknya mereka tak mau kalah dan tak mau disalahkan. Korupsi sudah dianggap menjadi hak asasi yang harus mereka tuntut. ''Kalau para pejabat korupsi mengapa kami tidak,'' begitulah kira-kira pembelaan mereka.

Semua itu memperlihatkan betapa budaya korupsi sudah sampai pada tingkat yang demikian kompleks. Kiranya tak salah jika ada yang menganggap korupsi sebagai bagian inheren dalam budaya masyarakat. Hal inilah kemudian yang seringkali dijadikan pembenaran bagi sikap apatis dan tidak melakukan apa-apa untuk menghilangkan praktik haram tersebut. Masyarakat pun sudah tak mampu lagi berpikir jernih dengan menganggap korupsi sama dengan hak asasi manusia yang biasa atau bahkan harus dilakukan. Sepertinya ada perasaan aneh bila tidak melakukan korupsi.

Faktor penyebab
Mengapa korupsi kian menjadi-jadi? Ada empat hal utama yang memicunya: (1) sistem pemerintahan/negara yang memungkinkan dan memberi peluang untuk korupsi; (2) semakin menurunnya moralitas, akhlak, dan kesadaran masyarakat; (3) pandangan hidup yang materialistis, sekular, kapitalis, komunis, dan melupakan keberadaan Allah dalam kehidupan; serta (4) kurang aktifnya masyarakat dalam mengontrol.

Survei Indonesian Corruption Watch (ICW) belum lama ini menunjukkan bahwa sebab-sebab korupsi, menurut responden, adalah sifat konsumtif masyarakat, ketidakpedulian masyarakat, gaji yang rendah, rendahnya disiplin aparat, atasan ikut melakukan korupsi, adanya contoh dari lingkungan sosial di kantor/tempat kerja, perilaku aparat yang sudah membudaya, sanksi hukum yang rendah, penegakan hukum lemah, prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit dan lama, ketidakjelasan informasi soal prosedur, kurangnya pengawasan dari instansi yang bersangkutan (pengawasan internal) maupun dari instansi luar (pengawasan eksternal), rendahnya kesadaran masyarakat sebagai konsumen, dan lemahnya pengawasan dari unsur masyarakat.

Butuh tindakan nyata
Bagaimana pun korupsi harus diberantas. Perang melawan korupsi tak hanya butuh konsep-konsep di atas kertas, akan tetapi tindakan nyata yang didukung strategi yang tepat. Membudayanya korupsi harus dilawan dengan sikap dan budaya antikorupsi dalam masyarakat.

Kiranya kita masih memerlukan waktu puluhan tahun bahkan adanya perubahan generasi untuk bisa keluar dari budaya korupsi. Cara yang paling tepat barangkali dengan proses penyadaran, advokasi, dan konseling. Juga melalui jalur pendidikan formal dan informal, peran guru agama, para ulama dan pemuka agama sangat diharapkan untuk menumbuhkan/meningkatkan iman dan takwa serta perilaku/akhlak mulia agar dapat mengubah konsep kultural masyarakat yang sudah sampai pada tahap degradasi moral.

Di samping tentu saja penegakan hukum yang didukung kepemimpinan yang berani dan betul-betul menjalankan amar ma'ruf nahi munkar agar dapat menjalankan kebijakan pemerintah yang tegas dengan pelaksanaan yang tegas pula. Koruptor ditindak dan dikenai hukuman tanpa pandang bulu. Jika para penegak hukum -- seperti jaksa, hakim, polisi -- tidak bertindak tegas, maka tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Apalagi bila para penegak hukum mau disuap, maka para pelaku korupsi malah bebas dan berkembang biak.

Survey yang dilakukan United Nation Development Program (UNDP) baru-baru ini menjadi indikasi kuat mengenai hal itu. Hasil survey menunjukkan bahwa korupsi di sektor publik dianggap sangat lazim oleh 75 persen responden. Sebanyak 65 persen responden bahkan tidak hanya menduga tentang praktik korupsi tetapi terlibat secara langsung dalam praktik ini terutama menyangkut pejabat pemerintah. Dari 40 persen responden yang telah melihat kasus korupsi, kurang dari 10 persen yang dilaporkan.

Survey ini juga menemukan bahwa alasan utama tidak melaporkan korupsi karena mereka tidak tahu ke mana harus melapor; kasus tidak dapat dibuktikan; proses yang berbelit-belit dan panjang; dan menganggap tidak ada tindakan nyata terhadap kasus tersebut meskipun sudah dilaporkan.

Penelitian UNDP maupun ICW menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya anti-korupsi. Namun ketika sampai pada tingkat upaya pencegahan, mereka justru cenderung permisif.

Belajar dari negara lain
Satu hal yang bisa diupayakan bersama adalah menempatkan kembali pembangunan karakter bangsa sebagai bagian penting yang tidak boleh dilupakan. Singapura, Hongkong, dan Korsel telah membuktikan bahwa dengan kemauan keras, keseriusan, dan iktikad politik semua pihak mereka dapat menjadi negara jajaran teratas yang mempraktikkan pemerintahan yang bersih.Seyogianya, kita bisa mencontoh hal yang baik dari negara lain. Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan bisa menekan korupsi salah satunya dengan membentuk Biro Investigasi Khusus yang bertugas mengontrol dan mengusut segala macam dugaan korupsi. Biro ini dibentuk sedemikian rupa sehingga bebas dari pengaruh dan tekanan politik, mempunyai integritas, diberikan gaji yang tinggi untuk menghindari suap, serta diikuti dengan adanya penegakan hukum kepada siapapun yang terbukti melakukan korupsi sehingga kerja keras biro ini tidak sia-sia.. Demikian juga di RRC yang mulai dari titik nol. Masa lalu diputihkan, dan selanjutnya penegakkan hukum betul-betul ditegakkan.

Dengan sistem pembuktian terbalik, Malaysia bisa menekan kasus korupsi seminimal mungkin. Dan, para pejabat negara bisa mencontoh Khalifah Umar bin Abdul Azis yang tak mau menggunakan fasilitas negara sedikit pun untuk hal-hal di luar kepentingan negara. Dikisahkan bahwa beliau harus mematikan lampu (dari fasilitas negara) lantaran akan digunakan untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam ajaran agama disebutkan bahwa korupsi termasuk tindakan yang dilaknat Allah. Namun tampaknya tak ada tanda-tanda korupsi itu berkurang bahkan terus berjalan berkesinambungan dan bahkan terpelihara.

Segera bentuk KPK
Sudah banyak perangkat hukum yang dibuat di Indonesia untuk memberantas korupsi. Seperti UU tentang Pemberantasan Korupsi No 3/1971. Bahkan jauh sebelum itu pada 1950-an dan 1960-an juga sudah muncul peraturan-peraturan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN pun sudah didukung UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi).Tapi tampaknya peraturan-peraturan tersebut belum berdampak banyak. Untuk itulah kiranya perlu segera dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang independen sebagaimana diamanatkan oleh UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dan sebelum lembaga itu terbentuk, Komite Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang sudah ada harus tetap memaksimalkan peranannya.Kiranya, pemberantasan korupsi hanya bisa dicapai jika muncul iktikad semua kalangan bahwa korupsi terkait erat dengan harkat dan martabat serta integritas sebuah bangsa. Kita harus yakin bahwa bangsa kita mampu asal ada kemauan yang keras. Di samping itu, harus pula diyakini bahwa korupsi merupakan ancaman yang serius bagi demokratisasi suatu bangsa.(Ahmad Sanoesi Tambunan, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Reformasi)

Tulisan ini diambil dari Republika, 26 Agustus 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan