Keterbukaan Informasi Susu Berbakteri

Kekukuhan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta Institut Pertanian Bogor untuk tidak mengumumkan jenis susu formula yang mengandung bakteri Enterobacter sakazakii (ES) tidaklah mengagetkan. Meskipun hal itu telah diperintahkan Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi, 26 April 2010, yang berkekuatan hukum tetap. Secara umum, karakter birokratik para pejabat kita memang masih cenderung tertutup, bahkan untuk hal yang menyangkut informasi publik sekalipun. Padahal, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), sikap “menyembunyikan” informasi publik semacam itu bisa masuk kategori tindak pidana.

Ketika David L. Tobing, selaku orang tua bayi dan balita, menggugat tiga badan publik, yakni Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Institut Pertanian Bogor (IPB), ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk dapat mengakses informasi hasil penelitian IPB tentang temuan kandungan bakteri ES dalam beberapa sampel susu formula, pertengahan 2008, UU KIP memang belum berlaku. Karena itu, bisa dipahami bahwa gugatan tidak diajukan ke Komisi Informasi, sebagai lembaga penyelesaian sengketa informasi, untuk dapat membuka informasi tersebut, melainkan ke pengadilan negeri.

Putusan pengadilan negeri yang memenangkan David kemudian dibanding oleh ketiga badan publik itu ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang akhirnya juga mengukuhkan putusan PN Jakarta Selatan. Bahkan ketika ketiga badan publik melanjutkan ke MA, putusan Kasasi tetap menguatkan putusan PN yang memerintahkan ketiga lembaga tersebut mengumumkan jenis susu formula yang mengandung bakteri ES.

UU KIP, yang disahkan pada 30 April 2008, memang baru diberlakukan dua tahun kemudian atau pada 1 Mei 2010. Tenggang waktu itu tak lain untuk memberi kesempatan kepada para badan publik mempersiapkan diri sebelum melaksanakan kewajiban menjalankan UU KIP, yang antara lain mengimplementasikan keterbukaan informasi-informasi publik yang berada di bawah kewenangannya. Namun waktu dua tahun tersebut ternyata tak juga membuat badan publik dan para pejabatnya serta-merta berubah karakter dari sikap tertutup, sebagai bagian dari kultur birokrasi masa lalu, menuju sikap yang lebih terbuka.

Dalam kerangka keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur oleh UU KIP, informasi tentang hasil penelitian IPB yang menemukan adanya beberapa sampel susu formula yang mengandung bakteri ES yang berbahaya bagi bayi dan balita adalah termasuk kategori informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta. IPB, sebagai institusi yang menggunakan sebagian anggaran negara dan dana masyarakat, masuk kategori badan publik yang wajib menjalankan UU KIP.

Dalam UU KIP, khususnya Pasal 10 ayat 2, disebutkan bahwa badan publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Bahkan, apabila hal itu secara sengaja tidak diumumkan, dan sampai menimbulkan kerugian orang lain, tindakan ini dapat diancam pidana kurungan satu tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 5 juta (Pasal 52 UU KIP).

Informasi yang masuk kategori “wajib diumumkan secara serta-merta” semestinya tidak perlu diminta oleh pihak lain atau masyarakat. Sebab, hal itu merupakan bagian dari hak konstitusi warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan harus dipenuhi oleh badan publik sebagai bagian dari penyelenggara negara. UUD 1945 Pasal 28F menjamin hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh informasi publik. Karena itu, apabila masyarakat meminta informasi semacam itu, semestinya pihak badan publik tidak menolak memberikannya. Apalagi sampai harus digugat ke pengadilan.

Informasi rahasia
Dalam perspektif lain, keengganan untuk mengumumkan jenis susu formula berbakteri tersebut barangkali dilatarbelakangi penilaian ketiga badan publik bahwa informasi tersebut merupakan informasi rahasia. Bila demikian halnya, UU KIP juga mengatur ketentuan mengenai informasi yang dikecualikan atau rahasia. Dalam konteks informasi susu formula berbakteri ini terdapat pasal yang bersinggungan dengan hal tersebut, yakni Pasal 17b UU KIP, yang menyebutkan bahwa badan publik dapat mengecualikan informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.

Namun ada beberapa pertanyaan penting yang harus dapat dijawab dengan argumentasi yang memadai jika pasal tersebut akan digunakan untuk mengecualikan atau merahasiakan informasi susu formula berbakteri.

Pertama, apakah dengan mengumumkan hasil penelitian IPB tersebut, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) penelitinya akan terganggu? Hal ini tentu harus dijawab dengan pembuktian oleh pihak IPB sebagai badan publik dengan mendasarkan argumentasi pada peraturan perundang-undangan terkait, seperti UU HAKI atau kode etik penelitian.

Kedua, apakah bila jenis dan merek susu tersebut diumumkan akan dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat? Di satu sisi, mungkin ada kekhawatiran bahwa, bila jenis atau merek susu formula tersebut diumumkan, produsen susu formula bakal terganggu usahanya dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Namun, di sisi lain, bukankah setiap produsen memiliki tanggung jawab bagi kenyamanan dan keselamatan konsumen? Di sinilah sisi transparansi informasi publik menjadi isu yang sangat krusial untuk ditegakkan, baik mengacu kepada UU KIP maupun undang-undang lain, seperti UU Perlindungan Konsumen.

Mempertimbangkan dengan argumentasi yang memadai bagi kedua pertanyaan di atas harus dilakukan oleh badan publik sebelum mengecualikan (baca: merahasiakan) informasi. Itulah yang dalam UU KIP disebut “uji konsekuensi” terhadap bahaya yang timbul apabila informasi tersebut dibuka atau ditutup (consequential harm test).

Selain itu, badan publik harus menimbang kepentingan publik yang lebih besar bila akan mengambil keputusan untuk membuka atau merahasiakan sebuah informasi publik (balancing public interest test). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat 4 UU KIP: Informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

Namun diskursus implementasi keterbukaan informasi publik seperti yang diatur oleh UU KIP di atas hanya dapat efektif diterapkan di badan publik bila sengketa informasi belum terjadi. Sebaliknya, bila sengketa informasi sudah ditangani oleh Komisi Informasi, atau bahkan telah sampai pada putusan kasasi MA, yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tidak ada pilihan lain bagi badan publik kecuali mematuhi putusan tersebut: membuka informasi jenis susu formula berbakteri.
 

Abdul Rahman Ma’mun, Komisioner Komisi Informasi Pusat

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 24 Februari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan