Kesimpulan Jaksa Kasus Puteh Dinilai Sepihak

Tim penasihat hukum Abdullah Puteh menegaskan, penuntut umum dalam kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 dengan terdakwa Gubernur (nonaktif) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), telah mengambil kesimpulan sepihak karena menganggap proses pengadaan heli tersebut merugikan negara.

Pasalnya, proses pembelian helikopter Mi-2 antara Pemprov Aceh dan PT Pobiagan Putra Mandiri (PPM) yang mewakili perusahaan Mil Rostov, Rusia, belum selesai karena pembayarannya belum lunas.

Karena itu, berdasarkan keterangan ahli (Suyatna dan M Arifin), maka belum bisa dikatakan adanya kerugian negara. Selain itu secara fisik Pemprov Aceh telah memiliki helikopter tersebut, sehingga dakwaan penuntut umum yang menyebutkan terdakwa telah merugikan negara sekurangnya Rp10,8 miliar tidak tepat, tandas Farida Sulistyani, salah seorang tim penasihat hukum Puteh.

Dalam pleidoi (pembelaan) yang dibacakan secara bergantian pada persidangan di Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, kemarin, tim penasihat hukum menyatakan Gubernur Aceh memiliki otonomi khusus. Dia berhak melakukan suatu kebijakan negara yang darurat dalam pengadaan helikopter untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang serba darurat.

Untuk itu, tim penasihat hukum meminta majelis hakim menerima pembelaan mereka terhadap Puteh dan menyatakan terdakwa tidak melanggar pasal sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Majelis hakim harus membebaskan terdakwa dari semua dakwaan dan tahanan serta memulihkan nama baik Puteh.

Pada persidangan terdahulu, jaksa Khaidir Ramli menuntut majelis hakim yang dipimpin Kresna Menon tersebut menjatuhkan hukuman penjara terhadap Abdullah Puteh selama delapan tahun.

Sebelum tim penasihat hukum mengajukan pembelaan, Puteh dalam pleidoinya menolak semua tuduhan penuntut umum. Dia kembali menegaskan dirinya tidak pernah korupsi termasuk dalam pengadaan helikopter itu.

Kebijakan yang saya lakukan selaku Gubernur Aceh terkait dengan proses pengadaan helikopter Mi-2 dengan cara penggunaan dana daerah, telah saya pertanggungjawabkan kepada DPRD Aceh. Serta telah dipertanggungjawabkan oleh para bupati/wali kota kepada DPRD masing-masing, dan seluruhnya diterima dengan baik, kata Puteh dalam pembelaan dari dirinya setebal 43 halaman.

Selaku Gubernur bersama DPRD Aceh, dia mengaku telah menetapkan APBD 2002 di bawah naungan UU No 18/2001. Ketetapan itu merupakan perda yang memiliki kekuatan hukum setingkat peraturan pemerintah.

Berdasarkan penjelasan umum UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus, perda tersebut berlaku ketentuan prinsip lex specialis derogat lex generalis (peraturan khusus mengesampingkan peraturan yang umum).

Suami mantan penyiar TVRI Linda Purnomo ini juga mengaku kecewa dengan peradilan dirinya yang telah berlangsung hampir tiga bulan ini. Saya dijadikan tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) secara mendadak dengan alasan yang tidak jelas, tandasnya.

Pada pengadilan ini, kata Puteh, dirinya mencium adanya konspirasi yang ingin menjatuhkan Gubernur Aceh dari kelompok oposan gubernur. Niat itu, kata dia, secara ceroboh di handle oleh KPK yang merasa benar Gubernur Aceh adalah seorang koruptor.

Saya amat kecewa, karena melalui uji coba peradilan ini, penuntut umum telah melakukan kriminalisasi dan finalisasi, serta tindak kesewenang-wenangan hukum dalam penegakan hukum, kata dia.

Sidang dilanjutkan Senin (21/3) dengan agenda tanggapan penuntut umum atas pleidoi tersebut. (Sdk/J-3)

Sumber: Media Indonesia, 18 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan