Kerugian Negara Timah Ilegal Mencapai 5 Triliun

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia mempunyai peran penting dalam kegiatan ekspor-impor timah

Sumber: DokICW

Antikorupsi.org, Jakarta, 5 April 2017 - Indonesia Corruption Watch (ICW) pada pertengahan Maret lalu, bertempat di Sekretariat ICW, membeberkan temuan indikasi kerugian negara dari penjualan timah ilegal selama 12 tahun. Dalam periode 2004-2015 terdapat indikasi penjualan timah ilegal sebesar Rp5, 714 triliun. Angka ini didapatkan dari penelusuran tim riset ICW, yakni Firdaus Ilyas dan Siti Juliantari, yang bersumber dari data Kementerian Perdagangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS), dan publikasi UN COMTRADE.

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia mempunyai peran penting dalam kegiatan ekspor-impor timah, terlebih ke negara-negara di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Thailand. Kedua negara ini merupakan negara terbesar pengimpor timah dari Indonesia, tercatat selama 12 tahun. Dalam data bea cukai negara pengimpor timah Indonesia, data publikasi Kementerian Keuangan dan Perdagangan masing-masing negara pengimpor timah Indonesia, dan data publikasi UN COMTRADE, terdapat kelebihan ekspor yang diterima negara-negara pengimpor timah Indonesia. Seperti Singapura menerima timah jenis 8001 selama 12 tahun sebanyak 935.191 MT sedangkan tercatat Indonesia mengekspor sebanyak 448.824 MT (metrik ton - satuan volume timah). Hal ini menandakan ada penjualan ekspor timah ilegal yang tidak tercatat selama 12 tahun terakhir dan mengindikasikan kerugian negara yang cukup besar.

Indonesia menghasilkan berbagai jenis timah, tetapi yang ditelusuri ICW hanya dua jenis timah yakni HS 8001 dan HS 8003. Kedua jenis timah ini dapat juga disebut timah solder.

Timah jenis HS 8001 selama 12 tahun tercatat mengekspor sebanyak 1.149.342 MT dengan nilai US$17.509 juta. Timah jenis HS 8003 selama 12 tahun tercatat mengekspor 26.240 MT dengan nilai US$434,572 juta. Total timah solder yang diekspor sebanyak 1.175.582 MT dengan nilai US$17.944 juta. Rerata per tahun dari total timah yang diekspor sebanyak 97.965 MT. Negara pengekspor timah Indonesia tercatat menerima 1.565.260 MT selama 12 tahun dengan rerata per tahun 130.438 MT. Terdapat selisih atau penjualan ilegal yang tidak tercatat sebanyak 389.678 MT atau sebanyak 24,9% dengan nilai US$5,297 miliar. Jika dikonversi dalam kurs Rp13.000,- menjadi Rp68,864 triliun.

Indikasi kerugian negara periode 2004-2015 dari kewajiban royalti timah (3%) sebesar Rp2,066 triliun dan kewajiban pajak (PPh Badan) sebesar Rp3,648 triliun, dengan total sebesar Rp5, 714 triliun. Royalti timah memiliki aturan dibagihasilkan ke daerah penghasil sebesar 80% daerah dan 20% pusat. Pemerintah daerah penghasil timah seharusnya dapat memiliki pemasukan dari royalti timah sebesar Rp1,653 triliun atau rerata per tahun sebesar Rp137,7 miliar.

Kerugian negara yang cukup besar selama kurun waktu 12 tahun menandakan adanya celah hukum dalam kebijakan Kementerian Perdagangan dan ESDM. Selain itu pula terdapat mekanisme pengawasan yang belum berjalan maksimal antara bea cukai, polisi air, dan TNI AL. Bahkan dapat pula diduga kegiatan ekspor-impor timah ilegal ini melibatkan oknum aparat.

Melihat kondisi ini, ICW mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit dengan tujuan tertentu terkait pengelolaan timah nasional serta dampaknya bagi lingkungan dan keuangan negara. Aparat penegak hukum pun diharapkan dapat bertindak tegas membongkar jaringan mafia timah yang masih marak terjadi. Adapun bea cukai, Kepolisian, TNI AL, dan BAKAMLA melakukan pengawasan yang ketat terhadap ekspor timah, termasuk menindak dugaan aksi pembekingan yang dilakukan oleh oknum aparat internal Indonesia. Hal ini mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memotori Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) untuk membantu mengatasi hilangnya uang negara akibat tindakan ilegal. Jika pemerintah sendiri tidak mau berbenah diri dan bertekad melakukan pengawasan lebih ketat, maka GNPSDA akan sia-sia, dan pada akhirnya akan mati suri. (Dewi)  

Berita

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan