Kepolosan Saksi Menjerat Tommy

Ratusan pengunjung yang memadati Hall B2 Arena Pekan Raya Jakarta terkesiap mendengar pengakuan seorang perempuan muda. Di depan majelis hakim, perempuan muda bernama Sainah itu membuat kesaksian yang menyudutkan Tommy Soeharto. Putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini sedang didakwa atas kepemilikan senjata api ilegal. Upayanya mengelak sudah dilakukan dengan berbagai cara. Namun, semua itu mental ketika Sainah membuat pengakuan menghebohkan.

Di depan majelis hakim, pembantu di Apartemen Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, ini membeberkan bahwa Tommy Soeharto kerap mendatangi apartemen tempatnya bekerja. Dia masih ingat bagaimana bekas pembalap yang sedang jadi buron kala itu diam-diam mengunjungi apartemennya. Menurut Sainah, mula-mula Tommy menelepon bosnya, Hetty. Tak lama kemudian, Hetty meluncur menemui Pangeran Cendana itu untuk menjemputnya. Hetty juga berpesan agar Sainah menyediakan makanan.

Sainah pula yang melihat langsung Tommy datang ke Apartemen Cemara Nomor 23 itu sambil membawa bungkusan tongkat golf. Bahkan dia ikut membantu memindahkan tas berbentuk tongkat golf itu ke kamar di lantai 2. Karena berat, saya dan Bu Hetty terpaksa menyeretnya, tuturnya. Sainah kaget bukan kepalang ketika polisi menggeledah kamar itu pada 4 Agustus 2001. Tas yang dia seret ternyata berisi senjata laras panjang dan puluhan butir peluru. Begitu tahu, dia menjerit dan segera hengkang dari tempat kerjanya.

Keputusan hengkang dia ambil setelah menceritakan apa yang dilihat di tempat kerjanya kepada kerabat di kampung. Mereka mendesaknya keluar. Tapi Sainah bingung karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan lagi. Sainah juga tahu, selama berada di Apartemen Cemara, Tommy tak pernah keluar dari ruang nomor 1, yang terletak di ujung. Tapi Bu Hetty melarang saya bercerita kepada siapa pun, tuturnya.

Namun, tak lama setelah dia pulang kampung, pada Maret 2002, empat anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya datang menjemputnya. Dia akan dijadikan saksi Tommy Soeharto atas kepemilikan senjata api. Kabar ini membuat ayahnya, Takrip, ketakutan. Bayangan anaknya akan mendapatkan perlakuan buruk membayang di depan mata. Sepekan setelah Sainah dijemput polisi, Takrip meninggal dunia. Padahal seminggu sebelumnya masih sehat, kata Kuriah, kakak Sainah.

Kematian Takrip makin menguatkan tekad Sainah menyampaikan kebenaran. Dengan logat Tegal yang kental, Sainah bertutur dengan suara datar. Nyaris tanpa emosi. Namun, ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Keringatnya mengucur deras membasahi tubuhnya. Saya mengatakan apa yang saya lihat, katanya di depan majelis hakim yang dipimpin Amiruddin Zakaria.

Pengakuannya sebagai saksi jelas mengancam jiwanya. Apalagi Tommy Soeharto terang-terangan menebar ancaman saat itu juga. Saya tidak bertanggung jawab atas keselamatan saksi, katanya. Tommy menyampaikan ancamannya dengan suara berat. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia sosok yang gelisah oleh pengakuan saksi.

Sainah membayar mahal kesaksiannya. Menurut Kuriah, ayahnya meninggal karena ketakutan. Di wisma milik Polda Metro Jaya di Bambu Apus, Jakarta Timur, Sainah sempat mengalami kekerasan ketika dimintai keterangan. Dia dipukuli di bagian paha dan kakinya sewaktu dimintai keterangan, kata Kuriah, yang mendampingi adiknya di wisma. Namun, pengakuan Sainah pula yang membuat majelis hakim yakin dengan vonis Tommy bersalah dan harus dijatuhi hukuman. Akhirnya ketua majelis hakim Amiruddin Zakaria mengetuk palu yang mengantar Tommy ke penjara.

Sumber: Koran Tempo, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan