Kemiskinan dan Pemburu Rente

POTRET buram kemiskinan di negeri ini selalu menjadi noktah hitam dalam sketsa pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah. Beberapa tahun lalu, kita terhenyak melihat seorang bapak membawa jenazah anaknya di gerobak karena tidak memiliki biaya untuk prosesi pemakaman  secara layak.

Pemandangan bayi kurus kering tergolek lemah di pangkuan ibunya akibat kekurangan gizi pernah pula menjadi berita utama di media nasional. Beberapa hari terakhir ini, kita menyaksikan potret lain kemiskinan dalam diri seorang TKW yang mengadu nasib di  Arab Saudi dan mengalami nasib tragis.

Sangat ironis ketika TKI/ TKW harus meninggalkan negeri ini yang sejak dulu menjadi magnet bagi penjajah asing karena memiliki sumber daya alam melimpah. Derita rakyat yang susul-menyusul seperti mengingkari sederet prestasi yang diklaim pemerintah. Mengapa negara yang begitu kaya sumber daya alam bisa menjadi begitu miskin, bahkan tak mampu memenuhi kebutuhan gizi warganya?

Sejarah negeri ini memperlihatkan fakta bahwa kemiskinan tidak muncul begitu saja tetapi terjadi secara sistematis seiring dengan meningkatnya korupsi. Kondisi sebagian rakyat yang berkubang dalam kemiskinan, sangat kontras dengan pejabat eksekutif dan legislatif. Anggota dewan yang terhormat dengan mudahnya menaikkan gaji dan tunjangan. Perilaku koruptif wakil rakyat makin kasat mata ketika studi banding menjadi alasan menggerogoti uang negara. Bahkan pembahasan anggaran ditenggarai sarat aroma suap.

Pemangku jabatan publik juga tak mau kalah dalam menghisap uang negara. Sejumlah mantan/ pejabat yang diadili dan dipenjara hanyalah puncak dari gunung es di lautan. Para pemburu rente yang telah menjelma menjadi koruptor penghisap darah rakyat sejak lama, jumlahnya terasa makin mengkhawatirkan.

Korupsi tidak lagi menjadi lakon pejabat lanjut usia karena kalangan muda kini masuk dalam lingkaran itu. Lihatlah praktik yang dilakukan Gayus Tambunan atau Muhammad Nazaruddin, yang masih berusia muda. Bagaimana sesunguhnya korupsi dapat memiskinkan masyarakat?  

Indonesia tidak sendiri dalam urusan kegagalan memberikan kesejahteraan di tengah kelimpahan sumber daya alam. Nigeria, Botswana, dan Sierra Leone yang kaya minyak dan berlian juga menghadapi masalah sama. Teka-teki ini telah menjadi pergulatan ahli ekonomi sekian lama dan mengkristal pada dua pendapat. Yang pertama sering disebut dengan the dutch desease, diambil dari kasus penurunan produktivitas di Belanda menyusul penemuan sumber gas alam.

Sektor Produktif
Melimpahnya sumber daya alam dapat menghambat pemakaian faktor produksi pada sektor yang paling produktif karena pemerintah tidak lagi fokus mengembangkan sektor unggulan. Sebaliknya, keterbatasan sumber daya alam mendorong orang lebih kreatif dan inovatif. Keterbatasan sumber daya alam memaksa negara untuk mencari, menggali, dan mengembangkan potensi dan berinvestasi pada sektor yang memberikan return yang tinggi.

Pendapat yang kedua mengaitkan kemiskinan dengan aktivitas pemburuan rente. Istilah pemburuan rente (rent-seeking) mengacu pada pemburuan keuntungan ekonomi tanpa harus menciptaan nilai tambah. Menurut aliran pemikiran ini, negara yang kaya sumber daya alam sulit mengalami pertumbuhan ekonomi akibat eksploitasi kelompok berkuasa yang memiliki akses terhadap sumber produksi. Kelompok ini adalah pemburu rente ekonomi yang selalu mengincar sektor-sektor produktif dan menggunakan kekuasannya untuk mentransfer kekayaan negara.

Akibatnya, modal dengan cepat tergerus dan pemerintah mengalami kesulitan membiayai perekonomian negara. Negara terpaksa menaikkan tarif pajak untuk mendanai pengeluaran negara. Namun, pajak yang tinggi akan mengurangi return dari modal yang digunakan dan akhirnya tabungan akan menurun. Kondisi ini akan makin menggerus modal dan berujung pada penurunan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi makin tertekan ketika modal yang tersisa dialokasikan pada sektor-sektor yang kurang produktif, seperti sektor primer (pertanian). Ketika aktivitas pemburuan rente yang dilakukan oleh pejabat publik makin marak maka pendapatan agregat makin menurun.

Pendapatan yang diperoleh dari sektor primer tidak mampu lagi mengimbangi kebutuhan impor. Akibatnya, sumber daya yang tadinya digunakan dalam produksi tersedot untuk membiayai impor dan negara dengan cepat kekurangan modal. Ketidakmampuan negara menggerakkan roda perekonomian segera berimbas pada kesejahteraan warganya.
Bila argumen-argumen diatas dipakai untuk merasionalisasi apa yang terjadi maka menjadi jelas keterpurukan Indonesia sebagian besar karena ulah dari para pemburu rente yang telah bermetamorfosis menjadi koruptor. (10)

Sansaloni Butar-butar, dosen Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 28 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan