Kemendagri, Jangan Nekat Lantik Tersangka Korupsi

Kementerian Dalam Negeri terkesan ngotot melantik Hambit Bintih, tersangka kasus suap sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas. Kemendagri berdalih, Hambit bisa dilantik karena masih berstatus tersangka dan belum terdakwa. Padahal, masih ada pilihan lain daripada memaksakan diri melantik tersangka korupsi sebagai kepala daerah.

“Kami menolak Kemendagri memaksakan melantik Hambit sebagai bupati,” tegas peneliti ICW Emerson Yuntho pada jumpa pers di kantor ICW minggu lalu (27/12). “Ini memalukan, dapat dinilai sebagai tidak pro pemberantasan korupsi, dan masih ada alternatif daripada paksa melantik,” tuturnya.

“Pelantikan tersangka/terdakwa korupsi jika tetap dilaksanakan merupakan tindakan amoral yang akan merusak citra pemerintah di mata rakyat dan juga merusak reputasi negara ini dimata internasional. Pelantikan tersangka atau terdakwa koruptor sebagai kepala daerah memberikan kesan kompromi dan bahkan memuliakan koruptor,” kecam Emerson.

Menurut Emerson, Kemendagri tidak dalam posisi “pasif dan pasrah”. Seharusnya, Kemendagri menolak melantik tersangka kasus korupsi, walaupun ia terpilih sebagai kepala daerah.

Pihak Kemendagri yang diwakili Reydonnyzar Moenek, Rabu (25/12) lalu beralasan bahwa calon pejabat yang masih berstatus tersangka dan belum terdakwa masih bisa dilantik berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

“Alasan ini sesungguhnya tidak tepat dan terkesan dicari-cari,” ujar Emerson.

Menurut peneliti ICW Abdullah Dahlan, ngototnya Kemendagri melantik Hambit bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. “Hambit terindikasi kuat akibat menyuap Hakim MK soal pilkada. Kita mendukung KPK yang tidak mengizinkan dan tidak memberi ruang. Ini etika demokrasi,” ujar Abdullah.

Abdullah juga menilai Kemendagri seolah-olah hanya mengambil sikap formalitas administratif. “Ini seperti membenarkan Hambit. Kemendagri menentang etika demokrasi yang sedang coba kita bangun,” tutur Abdullah.

Partai politik juga tidak lepas sebagai sumber masalah. “Parpol memaksakan mengusung figur-figur bermasalah dengan rekam jejak buruk dalam kasus korupsi, dan menang pula,” ujar Abdullah. Partai politik, menurutnya, hanya berpikir jangka pendek dan disinyalir karena terkait faktor transaksional.

Ada jalan lain

Sebenarnya, ada langkah terobosan yang bisa dilakukan Kemendagri, yaitu mengangkat wakil bupati sebagai bupati, atau sebagai Pejabat Sementara (PJS) kepala daerah. Hal ini sesuai Pasal 108 Ayat (3) UU 32 Tahun 2004 dan Pasal 97 Ayat (1) PP 6 Tahun 2005. Pasal 108 Ayat (3) UU 32 Tahun 2004 menyebutkan “Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah”  Pasal 97 Ayat (1) PP 6 Tahun 2005 berbunyi: “Dalam hal calon Kepala Daerah terpilih berhalangan tetap, calon Wakil Kepala Daerah terpilih dilantik menjadi Kepala Daerah”.

Kedua regulasi ini membuat Kemendagri tidak perlu susah payah memaksakan diri melantik Hambit Bintih yang saat ini masih ditahan di Rutan KPK. “Kemendagri melantik calon wakil kepala daerah terpilih, Arton S Dohong, sebagai kepala daerah. 

“Bukan malah melantik bupati, kemudian dinonaktifkan, baru melantik wakilnya,” tukas Abdullah, “Ini langkah yang bisa ditempuh Kemendagri, khusus untuk Gunung Mas.” Menurut Abdullah, yang perlu dipastikan, wakil yang diangkat tersebut tidak terlibat kasus yang sedang diproses.

Keberadaan Hambit Bintih yang ditahan di  Jakarta dan tidak adanya izin dari KPK untuk keluar Rutan harus dianggap sebagai suatu kondisi “berhalangan tetap”.  Wakil kepala daerah terpilih Arton S Dohong bukanlah tersangka kasus korupsi yang melibatkan Hambit Binti dan Akil Mochtar. Sehingga tanpa Hambit, proses pelantikan tetap dapat diteruskan. “Tidak perlu dilantik di rutan, bisa di Kabupaten Gunung Mas,” terang Emerson.

“Secara fungsi, ini tidak disalahkan. Tugas-tugas kepala daerah bisa tetap berjalan. Ini paling aman,” ujar Tama. Menurut Tama, lebih baik menempuh langkah di atas daripada memaksakan kepala daerah yang sudah kena kasus hukum tetap memerintah dibalik jeruji.

ICW menilai inilah momentum penting untuk memperbaiki Undang-undang Otonomi Daerah, Undang-undang Pemilukada, dan Undang-undang Pemerintahan Daerah.

Lebih jauh, masih menurut Tama, ini momentum yang tepat untuk merevisi UU Pemilukada. Sebab, mengambil contoh Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah yang tidak bisa dipecat karena UU Pemerintahan Daerah belum memuatnya. Padahal, ini mengganggu jalannya kinerja Pemprov Banten. “Akan kita dorong,” kata Tama.

Dengan alasan UU Pemda dan belum menjadi terdakwa, pemerintah berdalih belum bisa memberhentikan sementara (menonaktifkan) Atut.  Pasal 31 Ayat (1) UU Pemda menyebutkan “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara”.

“Ketentuan pasal 31 Ayat (1) UU Pemda untuk kondisi saat ini sudah usang, sangat tidak relevan dan tidak pro pemberantasan korupsi serta menghambat jalannya roda pemerintahan daerah,” tukas Emerson.

Rumusan yang penting ditambahkan dalam revisi UU Otonomi Daerah adalah tentang kepala daerah yang dianggap berhalangan juga mencakup kepala daerah yang sedang menjalani proses hukum. “Misalnya 1-2 bulan di tahanan, sudah bisa dianggap berhalangan tetap,” kata Tama.

Nantinya, kata Tama, juga perlu ada persyaratan khusus bagi calon kepala daerah, yaitu tidak ada kaitan dengan proses hukum. “Kalau tidak begitu, ketika terpilih kemudian berubah statusnya menjadi terdakwa, dia harus nonaktif. Akhirnya tidak bisa menjalankan fungsi sebagai kepala daerah,” ujar Tama.

“Seharusnya pemberhentian sementara oleh Presiden dapat dilakukan ketika kepala daerah dan/atau wakilnya ditetapkan sebagai tersangka,” kata Emerson.

Rekomendasi lain, menurut Tama, hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan pemilukada dimasukkan dalam tindak pidana korupsi.

“Hambit ini petahana (incumbent). Curang-curang, dipilih kembali dengan diduga menyuap Ketua MK. Kalau ada revisi UU Pemilu, saya harapkan ini dimasukkan. Ini dikerdilkan jadi kejahatan pemilu. Daluarsanya 7 hingga 15 hari. Bayangkan kejahatan apa yang bisa dilakukan. Cost politik sudah tinggi tapi kejahatan juga tinggi, makin beban,” ujar Tama prihatin.

“Status nonaktif harus diberikan kepada kepala daerah tersebut. Dianggap tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi. Jangan sampai sebagai tahanan, masih bisa mengendalikan pemerintahan daerah. Selain kinerja pemerintah terganggu, citra demokrasi juga jadi buruk. Orang bermasalah kok masih bisa mengendalikan pemerintahan,” tuturnya.

“Mudah-mudahan Kemendagri tidak nekat melantik Hambit,” ujar Emerson.

Jika Kemendagri ngotot melantik Hambit, maka ini bukan yang pertama kalinya tersangka/terdakwa korupsi dilantik. ICW pernah memantau 10 calon kepala daerah dengan status tersangka/terdakwa yang memenangkan pilkada. Kemendagri melantik tiga di antaranya ketika menjalani masa tahanan. Contohnya, Bupati dan Wakil Bupati Mesuji dilantik di Rutan Menggala, Lampung.

Pada 2011, meski berstatus sebagai terdakwa dugaan korupsi APBD, Jefferson Rumajar tetap dilantik sebagai Walikota Tomohon. Pelantikan tersebut dilakukan oleh Mendagri di Kantor Kemendagri, pada 7 Januari 2011.

Hal serupa juga terjadi terhadap Yusak Yaluwo. Meski berstatus terdakwa perkara korupsi, tetap dilantik sebagai sebagai bupati. Bersama pasangannya, Yusak dilantik oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu di gedung Kemendagri, Jakarta, pada 7 Maret 2011.

Segini banyaknya fenomena kasus calon kepala daerah yang terkait kasus korupsi. Statusnya tersangka, kemudian ditahan, tapi masih menjabat,” ungkap Tama.

Para kepala daerah yang dilantik dan kemudian status hukumnya naik dari tersangka jadi terdakwa ini akhirnya harus dinonaktifkan. Di sini, biaya demokrasi terkuras untuk pengeluaran tidak efisien. Para pemilih yang sudah memberi mandat juga tidak bisa dilayani oleh kepala daerah yang telah diberi mandat, yang gagal menjalankannya.

Jika Kemendagri tetap memaksakan diri melantik Hambit walaupun tidak diizinkan KPK, Kemendagri dapat dihitung sebagai pihak yang secara tidak langsung mencegah atau merintangi proses penyidikan dalam perkara korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hambit Bintih adalah tersangka kasus suap sebesar Rp 3 miliar terhadap mantan Ketua MK, Akil Mochtar dan kini mendekam di Rutan Guntur Jaya.  Sebelumnya, pada 9 Oktober 2013 lalu meskipun tertangkap tangan melakukan suap, MK tetap memenangkan pemenang Pilkada Kabupaten Gunung Mas, yakni Hambit Bintih dan Arton S Dohong, dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan