Kembali ke Khitah Century

Mundurnya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan dan manuver penguatan kembali partai- partai koalisi lewat pembentukan Sekretariat Bersama semakin mengaburkan jalan keluar politik dan hukum atas kasus Century.

Kegamangan yang meluas di masyarakat harus mampu dibuat terang oleh komunitas politik dan institusi hukum. Kasus Century memerlukan pemaknaan baru agar tidak ”terlalu” tampak sebagai alat dagangan politik.

Tidak serumit membaca tarik-menarik di dalam proses Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century. Kembalinya dukungan partai-partai koalisi untuk secara tegas menolak usulan hak menyatakan pendapat terkait Century hanya diselesaikan dalam sebuah forum kecil. Terbatas dan informal di rumah salah satu petinggi Partai Demokrat. Meski sempat menimbulkan riak di internal parpol-parpol koalisi, keputusan forum ini dapat dikatakan final. Setting politiknya tak tanggung-tanggung. Penguatan partai koalisi tak hanya mampu meredam ”nafsu pemakzulan” kekuasaan yang mengemuka di DPR, tetapi juga mampu mengerdilkannya menjadi semacam Tim Kecil Pengawas tindak lanjut proses hukum Century yang lemah. Fragmentasi baru lalu melembaga dengan papan nama ”Sekber Partai Koalisi” yang dikomandoi Ketua Umum Partai Golkar yang diketahui pernah berbenturan dengan SBY terkait kasus tunggakan pajak.

Ternyata, dukungan terhadap pemerintahan SBY-Boediono masih kuat dari para petinggi partai koalisi. Lagi, publik semakin yakin, kerumitan proses di Pansus Century yang panjang dan tegang hanyalah panggung sandiwara politik dan sarana tawar-menawar. Yang penting untuk dipersoalkan terkait terbentuknya Sekber adalah; apakah betul mekanisme ini jadi simbol kemenangan para elite pro-koalisi terhadap SBY. Atau sebaliknya, alat kontrol SBY untuk melembagakan keputusan politik partai koalisi mengingat bagi SBY, pelembagaan penting untuk mencegah keliaran individu yang kerap mencuat sebagai ”artis politik” tanpa didasari keputusan parpol secara kelembagaan. Namun, munculnya para penentang yang bermetamorfosa menjadi barikade baru di sisi SBY adalah komposisi yang menarik meski kesetimbangan yang terjadi masih belum begitu jelas.

Memang masih penting melihat motif berbaliknya dukungan partai-partai koalisi yang awalnya tercerai kemudian kembali solid. Apakah manuver di dalam Pansus telah berbuah benefit politik? Misalnya, posisi-posisi baru di pemerintahan, konsesi atau semacamnya. Namun, fakta berlanjutnya proses hukum atas dugaan keterkaitan para inisiator hak angket dengan Century juga tidak bisa dinafikan. Dalam kacamata ini, bisa jadi terbentuknya Sekber dilihat dalam konteks besar—menyelamatkan kawan dan menjaga citra parpol, adalah alat kompromi yang cukup ampuh dan cukup kuat untuk memunculkan posisi tawar parpol-parpol koalisi.

Secara politik, pembentukan Sekber bisa jadi sebuah terobosan mengingat opsi pemakzulan kekuasaan telah jadi kurang populer seiring menurunnya syahwat politik dan hambatan struktural akibat tingginya persyaratan pengajuan. Sekber juga bisa jadi alat tekan dan tawar baru. Terutama dalam mengusung sikap parpol koalisi menghadapi tindak lanjut proses hukum Century di depan mata, atau untuk jangka panjang agenda mengawal sisa masa pemerintahan SBY-Boediono.

Lebih leluasa
Mundurnya Sri Mulyani masih jadi tanda tanya besar. Secara politik, mundurnya Sri Mulyani adalah simbol kuatnya tekanan politik mengingat posisi pentingnya di pemerintahan. Mengisi posisi baru sebagai Menkeu bisa jadi salah satu simbol kemenangan politik Sekber Koalisi.

Namun, SBY lagi-lagi bermain cantik di balik skenario mundurnya Sri. ”Mundur dengan pujian” mungkin gelar terbaik yang disandang Sri di akhir kariernya sebagai Menkeu. Bagi SBY, mundurnya Sri adalah titik kesetimbangan baru di tengah instabilitas dan penyanderaan politik atas pemerintahannya. Juga dapat dimaknai sebagai cara meringankan tudingan kemungkinan intervensi kekuasaan ke ranah hukum. Secara tak langsung, SBY juga mempersilakan Sri diperiksa KPK bukan sebagai pembantu utama SBY.

Sejujurnya, banyak fakta penting belum terungkap secara telanjang dari konstruksi kasus Century. Hal ini masih jadi misteri, yang menurut penulis agak dikesampingkan dan hilang di balik dominannya motif politik di balik pengusutan kasus Century. Kenapa pemilik bank tidak begitu dimasalahkan? Apa kaitan pemilik dengan Bank Indonesia, bagaimana sebenarnya perampokan Century bisa terjadi? Ini mozaik yang hilang dari konstruksi Century baik secara hukum maupun politik.

Fakta secara terang menyebutkan, kerugian dana bail out Century Rp 6,7 triliun sebagian besar disebabkan pemilik bank. Sosok Robert Tantular dan pihak yang terkait dengannya menyebabkan kerugian Rp 2,75 triliun dari berbagai modus kejahatan. Pemilik sebelumnya, Rafat Ali Rizki, menyebabkan kerugian Rp 3,11 triliun dari manipulasi surat-surat berharga. Sayangnya, arahan prioritas dari hasil investigasi BPK tidak sama dengan pilihan Pansus Century sebagai isu utama.

Terbentuknya Sekber dan mundurnya Sri seharusnya dapat mengembalikan kasus Century pada fakta-fakta yang terang. Besarnya dukungan publik atas hasil Panitia Angket Century harus direpresentasikan lewat besarnya dukungan secara politik terhadap proses hukum kasus Century. Sebagai figur di luar pemerintahan, Sri kini diharapkan dapat lebih leluasa mengungkap fakta di balik keputusan yang diambilnya terkait Century. Mata rantai yang terputus harus dapat disambungkan lewat fakta-fakta baru oleh KPK. Jika dana bail out Century memberikan kemanfaatan dalam menalangi praktik kejahatan pemilik bank, seharusnya ada kaitan antara pemilik bank dengan pihak-pihak yang dapat memengaruhi kebijakan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan bail out terhadap Bank Century.

Ibrahim Fahmy Badoh  Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan