Kejutan Kejagung di Hari Adhyaksa [23/07/04]

Selalu saja ada

kejutan. Mungkin sebutan ini layak disandang oleh Kejaksaan Agung. Kejutan kali ini, adalah di Hari Adhyaksa yang ke-43, kejaksaan mengumumkan seorang pengemplang uang rakyat yang di hentikan penyidikannya. Kali ini yang beruntung adalah Sjamsul Nursalim.

Sjamsul Nursalim yang dikenal sebagai taipan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), saat ini boleh berbangga hati. Dia tak lagi-pura-pura- dikejar-kejar oleh aparat saat berada di Singapura. Dengan berbekal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dia dapat bebas pulang ke Indonesia tanpa harus masuk penjara lagi.

Bos BDNI ini resmi dihentikan penyidikannya lewat SP3 yang dikeluarkan oleh Kejagung pada 13 Juli 2004 lalu. Tapi Kejagung, baru mengumumkannya secara resmi pada Hari Adhyaksa 22 Juli 2004 kemarin. Sungguh faktor kebetulan sekali.

Sjamsul yang terlibat kasus korupsi dana BLBI dengan kerugian negara Rp 10,09 triliuan -pada saat awal disidik kejaksaan- pernah merasakan dinginnya sel penjara Kejagung. Namun dia tak lama mendiami sel itu. Dengan alasan klasik -sering dipakai koruptor- yakni sakit, Sjamsul minta izin berobat. Kejagung pun membantarkan penahanan Sjamsul.

Dengan murah hati kejaksaan pun memberikan izin. Sjamsul pun terbang ke Jepang, untuk berobat. Izin yang diberikan pun punya batas waktu. Tapi ternyata, Sjamsul punya niat lain. Setelah selesai berobat ke Jepang Sjamsul bukannya balik ke Jakarta, tapi malah tinggal di Singapura.

Walhasil Kejagung bingung karena tahanannya tak mau pulang kandang ke sel kejaksaan. Kejagung pun -mungkin saja pura-pura- kerepotan dengan mengeluarkan statement resmi. Mulai dari mengancam akan disidang in absentia, panggil paksa, ditangkap, bantuan interpol, dan lain-lain.

Namun seperti biasa dan bisa ditebak, langkah itupun tak juga membawa Sjamsul pulang ke Indonesia. Akhirnya nasib Sjamsul seperti koruptor-koruptor lainnya yang tak mau pulang ke Indonesia, seperti Hendra Rahardja, Bambang Sutrisno, Samadikun Hartono dan David Nusa Wijaya.

Apa yang dilakukan kejagung diharapkan masyarakat adalah mengembalikan harta negara yang dirampas dan menjebloskan para koruptor ke pengadilan. Tapi justru kejagung menafikan keinginan masyarakat dengan menghentikan kasusnya.

Dengan tameng, ini adalah keputusan pemerintah melalui KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) terhadap debitor bermasalah, kejaksaan pun dengan sigap mengeluarkan SP3 tersebut. Tentunya langkah ini menimbulkan reaksi dan protes yang keras dari masyarakat.

Praktisi hukum, Bambang Widjojanto menilai keputusan SP3 Sjamsul jauh dari pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Filosofi hukum sekarang sudah berubah. Pendekatannya saat ini adalah mengembalikan uang negara. Padahal uang negara yang dikembalikan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan para koruptor, kata Bambang kepada detikcom di Jakarta, Jumat (23/7/2004).

Padahal, kata Bambang, dalam prinsip hukum pengembalian uang negara tidak akan menghapus tindak pidananya. Inilah yang kerap didengungkan oleh kejaksaan. Tapi ternyata kenyataan berkata lain, katanya.

Apapun alasannya menghentikan penyidikan Sjamsul, akan sulit untuk menjerat Sjamsul kembali ke dalam proses hukum. Tapi masih ada celah, kasus itu akan dibuka kembali ketika ada novum (bukti baru). Tapi persoalannya adalah apakah kejaksaan mau membuka ketika sudah ada novum. Tergantung jaksa agung yang baru nanti.

Tapi harapan ini agak sulit terwujud, karena Presiden Megawati lebih senang memiliki jaksa agung yang diambil dari jaksa karier. Sejak kepemimpinan MA Rachman -yang merupakan jaksa karier- telah banyak kasus besar yang di SP3. Tengok saja, kasus korupsi HTI dengan tersangka Prajogo Pangestu atau kasus Pipanisasi dan JORR yang melibatkan Siti Hardijanti Rukmana sebagi tersangka. Tiga kasus korupsi besar ini di SP3 di saat kepemimpinan MA Rachman. Sungguh sebuah prestasi. Selamat ulang tahun pak jaksa!. (mar)
Reporter: Maryadi

Sumber: Detik.com, 23/07/2004 07:55 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan