Kejaksaan, Kok, Bingung?

Senin (25/10), sempat berembus ”kabar baik” bahwa Kejaksaan Agung akan mengeluarkan deponeering untuk menutup kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Kabar tersebut berasal dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Muhammad Amari. Amari mengatakan bahwa Kejaksaan telah mengambil sikap memilih opsi deponeering. Namun, kabar baik itu tiba-tiba buyar. Melalui pernyataan terbuka, Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono membantah pernyataan Amari. Lebih jauh dari sekadar membantah, Darmono mengemukakan bahwa dia telah menegur Amari karena buru-buru menyampaikan opsi deponeering yang belum diputuskan Kejaksaan Agung.

Tidak berhenti sampai memberikan teguran, Darmono menambahkan bahwa pilihan deponeering harus menunggu Jaksa Agung definitif. Seperti mau menutup opsi deponeering, Darmono menambahkan, sekiranya pilihan tetap melimpahkan ke pengadilan, Kejaksaan akan menuntut bebas dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Karena amat masuk akal jika sikap Kejaksaan Agung tersebut dinilai membingungkan (Kompas, 26/10).

Mengulur waktu
Bantahan Darmono yang hanya terjadi dalam hitungan jam atas keterangan Amari menjadi bukti lebih lanjut bagaimana sesungguhnya pendirian Kejaksaan Agung dalam skandal Bibit-Chandra. Menilik perjalanan skandal yang penuh misteri ini, dari semula dapat dilacak bahwa Kejaksaan seperti tidak hendak menuntaskan skandal ini. Kesan mengulur-ulur penyelesaian secara cepat dan tuntas menjadi fakta yang sulit dimentahkan.

Setidaknya ada dua fakta yang membuktikan taktik buying-time yang dilakukan pihak Kejaksaan. Pertama, Kejaksaan keliru merumuskan argumentasi hukum ketika mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) bagi Bibit-Chandra. Dengan kekeliruan itu, Anggodo Widjojo mempunyai ruang untuk mempersoalkan pilihan instrumen hukum SKPP ini. Sekiranya serius, sejak awal Kejaksaan harus dengan cermat memperhitungkan celah untuk adanya praperadilan.

Rasanya, dengan begitu besarnya perhatian publik dalam skandal Bibit-Chandra, sulit dimengerti Kejaksaan bisa keliru memilih alasan hukum. Apalagi, berdasarkan temuan Tim 8, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara eksplisit memerintahkan penyelesaian skandal Bibit- Chandra melalui jalur di luar pengadilan (out of court settlement). Sebagai institusi yang berada di bawah Presiden, hal itu seharusnya dimaknai Kejaksaan sebagai perintah penutupan skandal ini secara permanen.

Selepas dari kesempatan pertama untuk menutup secara permanen, Kejaksaan dapat kesempatan kedua, yaitu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan permohonan Anggodo. Ketika itu, diingatkan sejumlah kalangan bahwa pilihan mengajukan banding dapat dikatakan sebagai pilihan yang keliru. Selain sulit mengalahkan argumentasi Anggodo, pilihan banding akan menghabiskan banyak waktu sehingga upaya penyelesaian kasus Bibit-Chandra akan semakin tertunda.

Dengan tetap bertahan mengajukan upaya hukum, termasuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, kesan mengulur-ulur upaya penyelesaian secara cepat menjadi sulit untuk dibantah. Desain menunda penyelesaian secara cepat kelihatan menjadi mudah dibaca dari pernyataan Darmono dengan mempertahankan opsi melimpahkan ke pengadilan meski Kejaksaan akan menuntut bebas Bibit-Chandra. Selain memberi tekanan besar bagi Bibit-Chandra, pilihan ke pengadilan jelas memerlukan banyak waktu.

Jaksa Agung definitif
Yang juga menarik dari rangkaian bantahan Darmono adalah pernyataan bahwa deponeering harus menunggu Jaksa Agung definitif. Dalam Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ditegaskan, tugas dan wewenang Jaksa Agung adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c ditegaskan bahwa mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memerhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Bisa jadi, frase ”mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung” hanya dijadikan sebagai dalil untuk menghindari penerbitan deponeering. Jika dalil itu dibenarkan, dalam kedudukan sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung, seharusnya Darmono juga tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangan Jaksa Agung yang lain.

Lalu, jika tidak bisa melaksanakan tugas dan kewenangan Jaksa Agung, apa manfaatnya Presiden melantik pelaksana tugas? Bukankah tujuan melantik pelaksana tugas agar tugas dan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan Jaksa Agung tetap berjalan?

Berdasarkan argumentasi ini, sulit menerima argumentasi Darmono yang mengatakan, penerbitan deponeering harus menunggu Jaksa Agung definitif. Jika sadar betul dampak dari kasus Bibit-Chandra dalam jagat penegakan hukum terutama dalam agenda pemberantasan korupsi, Darmono seharusnya mampu memanfaatkan posisinya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung. Keberanian menutup skandal yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi ini pasti akan dicatat sebagai prestasi tersendiri.

Di luar masalah dalil menunggu Jaksa Agung definitif, bisa jadi keengganan Darmono menerbitkan deponeering bagi Bibit-Chandra karena adanya keharusan memerhatikan saran dan pendapat badan-badan kekuasaan negara yang punya hubungan dengan masalah ini. Dalam kedudukan sebagai acting Jaksa Agung, tentunya tidak mudah bagi Darmono berhubungan dengan lembaga lain. Dalam masalah ini, kemampuan Darmono berkomunikasi dengan lembaga lain—termasuk lembaga politik seperti DPR—menjadi salah satu ujian untuk menilai kemampuan Darmono memimpin Kejaksaan.

Terlepas dari perdebatan itu, di tengah kebingungan Kejaksaan, publik nyaris tidak bisa melacak sikap Presiden Yudhoyono. Banyak kalangan percaya, kebingungan yang melanda Kejaksaan akan berakhir jika Presiden memberikan sinyal yang jelas. Adakah situasi ini menjadi bukti yang sesungguhnya meluruhnya komitmen Presiden memberantas korupsi?

Jika tidak, seharusnya Presiden tidak membiarkan Kejaksaan berlama-lama larut dalam kebingungan. Caranya, tegaskan kembali pernyataan yang pernah disampaikan sebelumnya: skandal Bibit-Chandra diselesaikan di luar pengadilan. Dengan mengulangi ”pesan” tersebut, tidak perlu ada pertanyaan: Kejaksaan, kok, bingung?

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 Oktober 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan