Kejagung Harus Prioritaskan UU Korupsi untuk Jerat Illegal Logging yang Rugikan Keuangan Negara
Press Release
Kejagung Harus Prioritaskan UU Korupsi untuk
Jerat Illegal Logging yang Rugikan Keuangan Negara
Tindakan pembalakan liar (illegal logging) sesungguhnya punya banyak dimensi. Dari aspek kerugian negara, rata-rata sekitar Rp. 30-45 Triliun negara dirugikan setiap tahun. Secara ekologis, kejahatan ini merusak lingkungan hidup dan mengancam kelangsungan kehidupan beberapa generasi ke depan. Menurut FAO dan FWI, dalam lima tahun (200-2005) sekitar 9,4 juta hektar hutan Indonesia berkurang. Lebih dari itu, illegal logging pun sangat terkait dengan kejahatan luar biasa lainnya seperti: korupsi, suap, pencucian uang, pemerasan, pungutan liar, mafia perdagangan kayu lintas negara, bisnis militer yang melibatkan mafia lintas negara.
Berbagai upaya telah dilakukan, begitu banyak kebijakan telah diterbitkan, akan tetapi pembalakan liar terus terjadi, dan bahkan Menteri Kehutanan sendiri mulai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait beberapa kasus, khususnya alih fungsi hutan Pelelawan. Kenapa pemberantasan illegal logging terkesan begitu lemah?
Disorientasi
ICW melakukan pencatatan dan analisis putusan kasus Illegal Logging tertentu selama tahun 2005-2008. Dari 205 terdakwa yang terpantau dan muncul ke permukaan, sekitar 66,83% diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang (21,46); vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang (6,83%), dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang (4,88%).
Apakah dapat dikatakan pengadilan tidak berpihak pada pemberantasan illegal logging?
Hal itu akan terjawab ketika sejumlah tersangka dipilah berdasarkan kualifikasi level aktor. Ada dua poin yang dapat dibaca dari pengklasifikasian ini, yaitu:
1.
Dari 205 tersangka, yang dapat dikategorikan aktor kelas menengah keatas (middle upper level) hanya 58 orang (28,29%).
Artinya, sebagian besar aktor yang berhasil dijerat dalam penegakan hukum pemberantasan illegal logging dari tahun 2005-2008 hanya menyentuh aktor yang berada di level menegah kebawah, tepatnya 71,71%. Ini yang disebut "DISORIENTASI PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING".
2.
Lebih dari itu, Putusan hakim untuk 58 tersangka yang merupakan aktor kelas menegah keatas pun dominan dikategorikan tidak berpihak pada pemberantasan illegal logging, yakni sekitar 85,71%, yang terdiri dari: Vonis Bebas 71,43% dan Vonis dibawah 1 tahun 14,29%.
Di tingkatan Mahkamah Agung, hasil yang serupa tergambar dari kasus illegal logging yang ditangani. Sekitar 82,76% kasus yang ditangani MA ternyata hanya melibatkan petani, operator lapangan dan supir sebagai tersangka. Sedangkan Direktur Utama, Komisaris dan pemilik sawmill hanya sejumlah 17,24%.
Sehingga, menurut ICW ada tiga penyebab utama kegagalan pemberantasan illegal logging selama ini:
1.
Dis-orientasi penegakan hukum yang cenderung menyentuh Aktor Kelas Bawah (71,71%)
2.
Pengadilan belum berpihak pada pemberantasan illegal logging
3.
Celah hukum pada UU Kehutanan
Kejaksaan harus pimpin
Dalam beberapa kasus baik Kepolisian dan Kejaksaan memang telah mencoba menggunakan UU Korupsi untuk menjerat pembalak liar. Akan tetapi, banyak diantaranya terbentur di pengadilan, dan dijatuhi vonis bebas. Persoalannya: dakwaan Jaksa seringkali dinilai lemah dan pembuktian tidak lengkap; rasa keadilan dan keberpihakan pengadilan yang sangat rendah; dan koorinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan.
Masalah pertama dapat dipecahkan dengan perbaikan terus menerus mulai dari Kejaksaan Agung. Khusus untuk persoalan koordinasi, dapat diselesaikan melalui ketegasan Kejaksaan menyatakan pada publik akan memimpin pemberantasan illegal logging yang memenuhi unsur KORUPSI. Karena UU 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan memberikan kewenangan pada Kejaksaan untuk menjadi Penyelidik dan Penyidik kasus Korupsi. Sehingga, Kejaksaan tidak perlu menunggu Kepolisian untuk bisa menjerat illegal logging yang mengandung unsur Korupsi.
Cabut Surat Edaran
Kesempatan ini sayangnya disia-siakan Kejaksaan Agung ketika menerbitkan Surat Edaran R-042/A/PD.1/07/2008 tanggal 16 Juli 2008, tentang penanganan perkara dibidang kehutanan yang berindikasi korupsi. Alih-alih menegaskan ketegasan dan dorongan agar Kejaksaan berinisiatif menjerat pembalak liar dengan UU Korupsi, Surat Edaran ini justru mewanti-wanti Kejaksaan di daerah untuk tidak menggunakan UU Korupsi jika sudah diatur sebagai delik di UU Kehutanan.
Hal ini tentu bertentangan dengan putusan Kasasi Mahkamah Agung (kasus Adelin Lis) yang baru saja dijatuhkan. MA memvonis Adelin Lis penjara 10 tahun dan denda Rp. 2 miliar. Meskipun Adelin juga terbukti melanggar delik UU Kehutanan, akan tetapi hakim memilih UU Korupsi, karena hukuman yang lebih berat. Putusan ini sekaligus menegaskan, UU Kehutanan tidak bersifat khusus (lex specialis) dibanding UU Korupsi.
Atas dasar itulah, Kejaksaan dituntut segera mencabut Surat Edaran tersebut dan menerbitkan Edaran yang baru agar Kejaksaan di seluruh Indonesia proaktif mulai melakukan penyelidikan illegal logging dan menjerat dengan UU Korupsi.
Gunakan UU Korupsi
Koalisi mengusulkan dua pilihan yang dapat dilakukan Kejaksaan untuk menggunakan UU Korupsi;
Pertama, tetap menjerat secara berlapis (UU Korupsi sebagai prioritas) jika perbuatan dapat dijerat UU kehutanan dan juga UU Korupsi. Contoh kasus: Adelin Lis
Kedua, Menjerat hanya dengan UU Korupsi bagi tindakan yang menurut UU Kehutanan hanya dapat diancam sanksi Administratif padahal merugikan Keuangan Negara dan menguntungkan orang lain. Di sini, sanksi bisa diterapkan komulatif, karena Hukum Administratif tidak akan mengesampingkan/menghilangkan pertanggungjawaban pidana korupsi. Poin ini disampaikan untuk menjawab kelemahan dan celah hukum yang terdapat pada UU Kehutanan.
Jakarta, 14 Agustus 2008
(JAIL-PK)
"Jaringan Anti Illegal Logging – Pencucian Uang dan Korupsi"
------------------------------------------------------------------------------
ELSDA Institute – ICEL (Indonesian Center for Environtmental Law) – ICW (Indonesia Corruption Watch) – IHSA (Institut Hukum Sumberdaya Alam) – IWGFF (Indonesian Working Group on Forest Finance) – FWI (Forest Watch Indonesia) – HUMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) – TITIAN-Kalbar – PROTEUS – TELAPAK –
WWF (World Wild Fund for Nature)
--------------------------------------------------------------------------