Kebijakan Setengah Hati

BERDASAR data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), ada 509 pemerintah daerah pada tahun anggaran 2011 dengan rata-rata belanja untuk gaji pegawai kabupaten 50 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan rata-rata belanja gaji pegawai level kota 55 persen dari total APBD.

Bahkan pada APBD 2011, 124 dari 509 pemerintah daerah itu mengalokasikan belanja pegawai di atas 60 persen dan belanja modal dari 1 persen sampai 24 persen serta belanja barang dan jasa dari 1 persen sampai 19 persen. Dari ke-124 daerah itu, 16 daerah memiliki belanja pegawai di atas 70 persen (lihat tabel).

Akibat kebijakan anggaran seperti itu, daerah kabupaten/kota memiliki APBD yang lebih besar “ongkos tukang” pegawai negeri sipil (PNS) ketimbang belanja pekerjaan. Artinya, belanja pegawai makin menggerus belanja modal serta barang dan jasa. Tak pelak, ruang fiskal daerah menyempit sehingga pemerintah daerah harus mengorbankan pelayanan publik dan program pengembangan ekonomi lokal lantaran alokasi anggaran lebih banyak diperuntukkan bagi gaji pegawai.

Hal itu bisa juga dilihat dari realisasi dana alokasi umum (DAU) yang diberikan pemerintah pusat ke daerah. Semestinya 80 persen dana itu untuk gaji PNS dan 20 persen untuk pelayanan publik. Namun pemerintah daerah malah mempergunakan DAU antara 95 persen dan 100 persen untuk dibelanjakan sebagai gaji PNS. Dana alokasi umum untuk pelayanan publik, sekali lagi, harus dikorban demi menutup kekurangan gaji PNS.

Terlihat betapa anggaran daerah untuk belanja modal menjadi minim. Akibatnya, banyak infrastruktur jalan menjadi rusak lantaran tidak ada anggaran dalam APBD untuk memperbaiki jalan yang rusak atau membangun jalan baru. Pembangunan sumber daya manusia di daerah sangat lambat karena anggaran pendidikan yang seyogianya 20 persen dari total APBD, ternyata lebih banyak dialokasikan untuk gaji PNS daripada program pendidikan bagi pembangunan masyarakat daerah yang mandiri.

Kepentingan Elite
Dalam keadaan seperti itu, pemerintah pusat melalui tiga kementerian berkait, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Dalam Negeri, mengeluarkan moratorium atau penghentian sementara perekrutan PNS. Maksud moratorium PNS adalah untuk menghentikan laju penambahaan PNS serta merasionalisasi anggaran bagi belanja pegawai.

Selama ini penambahaan PNS disebabkan oleh perekrutan PNS yang dilakukan pemerintah bukan berdasar kebutuhan organisasi atau tidak berdasar sistem perekrutan PNS berbasis kompetensi. Namun lebih mengutamakan kepentingan elite politik daerah. Tak ayal, ketika memproses perekrutan calon PNS, pemerintah daerah tidak mencari kualitas yang terbaik untuk mengisi kekosongan jabatan organisasi. Pemerintah daerah justru lebih suka menjaring calon PNS yang mempunyai kedekatan dengan elite politik daerah. Jika masyarakat tak mempunyai kedekatan dengan elite politik daerah, biasanya menyuap atau membayar calo yang dekat dengan elite politik daerah agar bisa diterima menjadi PNS.

Jadi, dengan demikian, perekrutan PNS saat ini masih berdasar praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gambaran perekrutan PNS itu memperlihatkan bahwa reformasi birokrasi sebenarnya tidak pernah berjalan di pemerintahan daerah. Sebab, kalangan pegawai pemerintah daerah menganggap reformasi birokrasi bukan untuk memperbaiki sistem organisasi, seperti perbaikan sistem perekrutan PNS berbasis kompetensi, pendidikan, dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan standar kerja individu, serta mutasi dan promosi yang tidak diskriminatif. Mereka lebih melihat reformasi birokrasi sebagai kenaikan gaji PNS, baik berupa kenaikan gaji setiap tahun maupun gaji ketiga belas.

Tidak Efektif
Karena itulah, jika pemerintah hanya menjalankan kebijakan moratorium, tidak akan cukup efektif untuk merasionalisasikan anggaran. Sebaiknya pemerintah juga menawarkan kebijakan lain, seperti kebijakan pensiun dini kepada PNS yang dianggap tidak produktif bekerja.

Penawaran pensiun dini bagi PNS akan mengurangi beban anggaran negara. Negara tak lagi dianggap boros ketika tidak ada lagi PNS yang bekerja di kantor hanya main game di komputer, mengobrol di kantor, serta nonton televisi seharian. Dua kebijakan itu akan mengurangi jumlah PNS dan menghemat anggaran daerah.

Selanjutnya, pengurangan jumlah PNS akan mengakibatkan perampingan organisasi birokrasi. Organisasi birokrasi akan diisi personel yang kecil dan mempunyai kompotensi baik.

Jadi fungsi personel organisasi yang kecil bukan lagi meminta dilayani masyarakat, melainkan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan pelayanan publik yang andal.

Kerja sama antara PNS dan masyarakat akan menghasilkan kekuatan politik PNS yang mandiri, yang tidak lagi bisa dikendali oleh kepala daerah seperti sekarang ini.

Sebab, selama ini, kepala daerah menjadi pembina pegawai sipil daerah (PNSD). Tak ayal, kepala daerah bisa memolitisasi PNS demi kepentingan politik mereka. Bukan mengarahkan pegawai untuk bekerja secara profesional agar dapat melayani kepentingan publik.

Namun tampaknya moratorium PNS akan gagal mencapai target dengan baik. Sebab, kebijakan moratorium PNS yang akan dilaksanakan pemerintah masih dianggap kebijakan “setengah hati” untuk menghemat anggaran negara. Terlihat kebijakan moratorium hanya diberlakukan untuk membatasi lulusan sekolah atau perguruan tinggi umum guna menjadi PNS. Adapun lulusan sekolah kedinasan atau perguruan tinggi yang dikelola kementerian terkait, misalnya IPDN, masih dibolehkan menjadi PNS.

Selain itu, indikasi kegagalan kebijakan moratorium bisa dilihat dari kebijakan yang tidak bersifat permanen; hanya diberi waktu sekitar 16 bulan. (51)

Uchok Sky Khadafi, Kordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Jakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 3 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan