Kawal Perekrutan Hakim
Saturday, 19 August 2017 - 00:00
Mahkamah Agung membuka 1.684 formasi calon hakim untuk tahun 2017.
Perekrutan hakim dilakukan sebagai antisipasi atas kekurangan jumlah hakim di Indonesia sebagai buntut dari pelaksanaan moratorium perekrutan hakim sejak 2010.
Jika berkaca pada beban kerja Mahkamah Agung (MA) yang tertuang dalam laporan tahunan, dibutuhkan setidaknya 12.847 hakim untuk ditempatkan di pengadilan tingkat pertama dan banding. Sementara jumlah sumber daya hakim yang tersedia hanya 7.989 orang. Setidaknya masih dibutuhkan 4.000-an hakim untuk memenuhi angka kebutuhan hakim di Indonesia.
Meski kebutuhan hakim dirasakan mendesak, perekrutan hakim kali ini cukup mengejutkan publik. Pasalnya, MA, Komisi Yudisial (KY), dan pemerintah sedang menggodok RUU Jabatan Hakim, yang salah satu poin krusialnya akan mengatur tentang perekrutan hakim. Pengaturan perekrutan dalam RUU selain ditujukan sebagai payung hukum penyelenggaraannya, juga sebagai upaya memperbaiki kualitas perekrutan hakim yang selama ini dianggap sebagai proses yang gelap dan tidak transparan.
Ihwal perekrutan hakim memang persoalan sangat pelik. Dalam beberapa tahun terakhir, diskursus tentang perekrutan hakim pasang surut. Pada 2015, misalnya, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi perihal kewenangan KY dalam merekrut hakim. Dalam putusannya, MK mengabulkan gugatan Ikahi dan menghapus kewenangan KY untuk terlibat dalam perekrutan hakim.
Namun, dalam perkembangannya, kewenangan KY untuk terlibat dalam perekrutan hakim tingkat pertama dan banding coba kembali diadopsi dalam RUU Jabatan Hakim. Dalam hal ini RUU mengatur bahwa perekrutan hakim dilakukan secara bersama antara MA dan KY.
Karena itu, upaya MA melakukan perekrutan hakim dapat dipahami sebagai jalan pintas. Pembahasan RUU diprediksi akan berlangsung penuh perdebatan dan pertarungan kepentingan sehingga pembahasannya akan memakan waktu cukup panjang sebelum akhirnya disahkan dan dapat dijadikan payung hukum dalam perekrutan hakim. Namun, langkah praktis itu seolah menunjukkan keengganan MA untuk melakukan perbaikan dalam pola perekrutan hakim.
Perlu diakui bahwa persoalan keterbatasan hakim adalah persoalan yang sangat serius. Hal ini akan berdampak pada berbagai pelayanan pengadilan, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian perkara hingga keluarnya putusan pengadilan. Jumlah hakim yang terbatas juga berdampak pada kualitas putusan hakim karena hakim dituntut menyelesaikan banyak perkara dalam waktu yang terbatas.
Jalan pintas yang ditempuh MA hanya menyelesaikan persoalan kekurangan jumlah hakim, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasar dari perekrutan hakim. Tanpa pembenahan pola dan model perekrutan, rasanya mustahil menjamin perekrutan berjalan transparan, jujur-adil, serta akuntabel dan terpilih calon hakim berkualitas.
Potensi kecurangan
Pembenahan perekrutan hakim tidak cukup hanya dilakukan dengan mengadopsi sistem terkomputerisasi atau computer assisted test (CAT). Mengadopsi sistem tersebut sebagaimana seleksi calon aparatur sipil negara (ASN) tentu akan menambah nilai transparansi dan akuntabilitas. Namun, penting juga untuk dipahami bahwa sistem tersebut tidak serta-merta memberikan jaminan perekrutan dilakukan tanpa celah kecurangan. MA harus pula mengidentifikasi potensi kecurangan yang mungkin tetap dapat terjadi dalam perekrutan hakim dengan sistem terkomputerisasi.
Potensi kecurangan masih dapat terjadi mengingat sistem komputerisasi tidak 100 persen meng-cover perekrutan hakim. Masih ada beberapa tahapan yang dilakukan secara manual oleh panitia seleksi. Dalam seleksi administrasi, misalnya, pengecekan kelengkapan berkas calon masih dilakukan secara manual. Hal ini memungkinkan terjadinya praktik favoritism dan nepotisme di mana seleksi didasarkan pada kedekatan calon dengan hakim dan/atau pegawai MA. Tahapan ini juga rentan terhadap intervensi dari hakim dengan cara menitipkan calon yang memiliki hubungan kekerabatan agar diluluskan dalam seleksi administrasi.
Praktik ini juga membuka potensi terjadinya percaloan dan pemerasan. Praktik percaloan terjadi dengan calo yang mengaku kenal panitia seleksi dan menawarkan jasa kepada calon untuk mempermudah seleksi. Sementara praktik pemerasan dapat terjadi jika panitia seleksi atau yang mengaku sebagai panitia seleksi meminta sejumlah uang kepada pelamar jika ingin berkasnya diproses.
Model praktik kecurangan semacam ini juga terjadi dalam perekrutan ASN yang menggunakan sistem yang sama. Dalam laporan pemantauan seleksi calon ASN tahun 2013, misalnya, Indonesia Corruption Watch (CW) masih menemukan sejumlah kecurangan selama seleksi meski telah menggunakan sistem komputerisasi. Kecurangan tersebut, antara lain, pengumuman kelulusan yang tidak transparan, seleksi administrasi yang tidak akuntabel, serta praktik pemerasan dan percaloan.
Hal serupa mungkin saja terjadi dalam perekrutan hakim mengingat perekrutan dilakukan secara mandiri oleh MA. Tanpa kontrol dan penyeimbang, bukan tidak mungkin perekrutan hakim tetap dipenuhi praktik kecurangan. Karena itu, kehadiran lembaga penyeimbang merupakan syarat mutlak untuk memastikan perekrutan hakim dilakukan dengan fair, transparan, dan akuntabel.
Lembaga penyeimbang seperti KY atau pelibatan publik sangat penting dalam perekrutan hakim. Selain untuk mempersempit ruang terjadinya kecurangan, kehadiran KY dan partisipasi publik akan mendorong MA untuk secara lebih serius memilih calon hakim yang memiliki kualitas kemampuan dan pengetahuan yang baik.
Pelibatan publik dan KY dalam perekrutan hakim jangan dipandang sebagai bentuk intervensi terhadap independensi kekuasaan kehakiman, tetapi lebih sebagai upaya untuk mendorong akuntabilitas lembaga peradilan dan upaya melakukan reformasi lembaga peradilan.
ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Kawal Perekrutan Hakim".