Katanya, Logika, dan Fakta Hukum

”KELEMAHAN” lema ”katanya katanya” dipakai oleh Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, untuk menepis sangkaan yang membelit dirinya. Bahkan sampai ia belum memenuhi panggilan sehingga KPK perlu melayangkan panggilan kedua (SM, 15/06/11).

”Yang jelas, tuduhan ke saya itu baru katanya katanya saja. Katanya si A, katanya si B, katanya si C. Fakta hukum bukan didasari dari sumber atau katanya katanya. Jadi, biarkan KPK bekerja secara profesional. Dalam kasus ini (suap Sesmenpora-Red), saya tak merasa dikorbankan, karena saya tidak ada sangkut-pautnya,” kata Nazaruddin di gedung DPR (10/05/11).

Sepintas kata tersebut membawa aneka tafsir yang mewarnai hukum dalam kenyataan.
Ilmu hukum mengenal pandangan bahwa hukum itu juga logika. Maka jika menganut pandangan itu maka logika bisa didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi (ratio) untuk membimbing menuju yang benar (M Sommer, 1982 :2). Hal itu bertolak belakang dengan pandangan bahwa katanya si A katanya si B bukan fakta hukum yang  memberi  arti lain bahwa katanya katanya itu justru erat dan tumpang tindih dengan fakta hukum.

Mengapa dapat diartikan bahwa katanya katanya itu juga merupakan suatu fakta hukum? Pasalnya, katanya adalah ucapan dari subjek hukum awalnya (pemberi informasi), dengan demikian dapat menjadi awal dari sebuah peristiwa hukum. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa yang paling berperan adalah logika.

Dalam memutuskan terbukti atau tidaknya perbuatan pidana, lembaga peradilan juga dapat melandaskan pada logika, sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat 1 d dan Ayat 2 KUHAP yang menyebutkan, ”alat bukti yang sah ialah petunjuk dan mendasarkan juga pada ketentuan” dan ”hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Dua ayat itu menjelaskan bahwa logika amat berperan dalam mekanisme hukum dan peradilan. Persoalan itu lebih diperjelas oleh Pasal 188 KUHAP yang menyebutkan, ”petunjuk adalah juga bukti”, dan diperjelas lagi dengan Pasal 184 Ayat 2 yang menyatakan, ”hal yang secara umum sudah diketahui, tidak perlu dibuktikan”.

Fakta Hukum
Hal yang penulis kemukakan itu tampak pada kenyataan bahwa hampir tiap hari media massa menginformasikan pemikiran tentang korupsi atau koruptor, terutama terkait dengan demo LSM yang kemudian diliput insan pers. Inipun dapat diartikan bahwa perbuatan itu katanya si narasumber A atau katanya sumber yang tidak mau ditulis namanya ada korupsi dan ada koruptor, dan kenyataan itu jelas adanya, serta merupakan fakta hukum.

Jika Nazaruddin berpandangan ”katanya katanya” bukan merupakan fakta hukum, hal itu berbeda dari penganut logika hukum yang menganggap pandangan logika hukum ”katanya katanya” sejatinya merupakan alur fakta hukum. Hal itu bisa dimaknai dari pandangan Diana Napitupulu SH MH MKn mengenai korupsi. ”Korupsi layaknya sebuah epidemi penyakit”, demikian tulisnya dalam buku KPK in Action ( 2002: 20). Pendapat itu lahir dari logika kalau korupsi itu sebuah ”epidemi” penyakit, dan jika ini juga dikemukakan oleh ”Napitupulu-Napitupulu” lain, maka dapat juga dikatakan sebagai katanya katanya.

Contoh lain adalah tindakan pemerasan dan jika dicermati maka tindakan itu merupakan bentuk lain dari korupsi. Konstruksinya bisa dijelaskan lewat kata si A, kata si B, dan seterusnya. Andaikata si korban tidak merespons permintaan si pemeras ada kemungkinan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Hal itu sekaligus menempatkan dan memerankan logika akal budi (ratio) untuk menimbang menuju yang benar. Adapun yang benar itu sekaligus disebut fakta, ditopang oleh rotiocinium (akal budi), judicium (putusan), dan conceptus (pengertian). Kalau hal itu tercapai, maka bisa disebut bahwa katanya katanya itu juga fakta hukum.

Ada pepatah mengatakan tidak ada asap tanpa ada api. Hal itu bisa diartikan tidak ada akibat tanpa ada sebab, dan dapat diperinci bahwa kondisi itu lahir dari katanya katanya itu (merupakan) asap, yang bisa berarti ”ada apa?” dan apa pula perbuatan pidananya. Hal itu sekaligus memberi jawaban bahwa katanya katanya itu sejatinya merupakan fakta hukum. (10)

Prof Ign Ridwan Widyadharma SH MS PhD, advokat di Semarang, dosen mata kuliah Professional Responsibility Fakultas Hukum Undip dan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 20 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan