Kasus Rumit Nazaruddin

FIAT Justitia Ruat Coelum. Bagi kalangan pengkaji hukum, kalimat yang diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) ini sangatlah akrab. Kurang lebih dapat diterjemahkan ”Hukum Harus Ditegakkan meskipun Langit Runtuh”. Kalimat itu menunjukkan betapa hukum sangat penting ditegakkan, tak peduli bagaimana dampaknya, kepada siapa, atau kekuatan mana yang akan menjadi korban. Pasalnya, hukum adalah bagian tak terpisahkan dari tegaknya kepentingan sosial yang menjadi cita-cita bersama. Bahkan, kepada presiden sekalipun hukum tetap harus ditegakkan.

Komitmen itu perlu terus digelorakan seiring dengan tertangkapnya M Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat yang terbelit kasus megakorupsi di beberapa kementerian pemerintah. Diskursus publik kembali menandaskan betapa pentingnya penegakan hukum terhadap siapa saja, tanpa pandang bulu. Bahkan hampir semua pejabat negeri memberikan perhatian yang agak spesifik terhadap kasus ini.

Dari sisi hukum, posisi Nazaruddin sama seperti masyarakat umum lainnya. Tetapi karena melibatkan banyak kekuatan yang secara politis memegang peran kunci maka kasus ini menjadi sangat spesifik. Bisa saja ada invisible hand yang memungkinkan adanya intervensi superpower politik untuk membonsai atau malah melebarkan kasus ini yang bisa mengurangi atau mengaburkan substansi penegakan hukum.

Kecenderungan itu bisa dilihat dari dua indikator. Pertama; sejak awal Nazaruddin menyebut banyak nama mentereng yang menikmati aliran dana megakorupsinya, seperti Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng, dan Ibas (Edhie Baskoro). Kemudian, ia mempersempitnya hanya pada beberapa, tanpa lagi menyebut Ibas. Bahkan dalam perkembangannya, muara opini lebih mengarah kepada Anas. Seolah-olah ia memiliki hidden agenda untuk menyeret Anas lebih jauh.

Kedua; pemeriksaan awal Nazaruddin di KPK sejak dibawa dari Kolombia tidak didampingi tim kuasa hukum. Bahkan, pembukaan barang bukti berupa tas hitamnya yang diyakini sebagai kotak pandora kasus ini, dilakukan tanpa sepengetahuannya. Seolah-olah ada operasi khusus untuk menyeting kasus ini pada muara tertentu. Karena itu wajar tim kuasa hukum tersangka memprotesnya karena itu bertentangan dengan prinsip UU yang menyatakan bahwa penyitaan barang bukti harus sepengetahuan tersangka alias pemilik, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kedua indikator tersebut meninggalkan pesimisme cukup kuat akan penegakan hukum yang tidak transaparan dan sarat intervensi.

Pemihakan
Seorang Ralf Dahrendorf dalam pengembaraan teoretisnya tentang perilaku-perilaku hukum di berbagai negara modern menegaskan bahwa ekspresi hukum, termasuk juga kerangka implementasinya akan sangat terpengaruh oleh struktur kekuasaan yang melingkupinya. Bahkan dia menilai ada kecenderungan lapisan masyarakat yang berkuasa untuk mengadili atau menghukum masyarakat lainnya yang tidak berkuasa.

Struktur sosial masyarakat modern, lanjutnya, terkonfigurasi ke dalam relasi kekuasaan di mana ada dikotomi sangat kuat antara kelompok berkuasa dan yang tidak berkuasa. Celakanya, produksi hukum merupakan cerminan kekuatan kelompok yang berkuasa, sehingga warna dan muara penegakan hukum akan sangat memihak pada kelompok pemegang otoritas. Kiranya, dalam konteks ini bisa dipahami mengapa belakangan ini Nazaruddin tidak lagi menyebut nama Ibas.

Dalam kondisi seperti itu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama; aparat penegak hukum, terutama KPK sebagai leading sector penanganan kasus Nazaruddin, harus benar-benar mampu membangun garis demarkatif antara proses penegakan hukum dan kemungkinan intervensi politik. Sikap itu guna memberikan kepercayaan di hadapan publik bahwa penegakan hukum benar-benar tanpa rekayasa, dan tidak memiliki tendensi apapun sehingga keadilan dapat ditegakkan.

Kedua; kelompok penguasa, terutama yang disinyalir terlibat melalui data dan pengakuan Nazaruddin harus rela menerima proses rule of law dan menahan diri untuk tidak memasuki ranah hukum dengan menggunakan bahasa kekuasaan yang represif dan intimidatif. Hal itu untuk menjaga agar tidak menjadi preseden buruk dalam waktu jangka panjang terhadap masa depan hukum.

Ketiga; kekuatan civil society harus terlibat aktif memantau proses ini sehingga memunculkan kontrol publik untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan hukum. Tanpa kontrol publik, sangat mungkin terjadinya pressing politik secara transaksional yang dapat mencederai supremasi hukum. (10)

Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Unissula Semarang, dosen Magister Ilmu Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 Agustus 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan