Kasus Century, persoalan hukum atau politik?

Setahun berlalu sejak Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 21 November 2008 memutuskan menyelamatkan Bank Century (bailout) yang dianggap kontroversial.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang terbit pada 15 Oktober 2008 memberi landasan hukum wewenang KSSK menangani bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.

Pasal 11 ayat 5 UU Nomor 3/2004 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan atas bank gagal berdampak sistemik diatur UU tersendiri, yang seharusnya terbentuk akhir tahun 2004.

Walau terlambat 4 tahun, Perppu 4/2008 dimaksud mengisi kekosongan hukum tentang pengertian dampak sistemik. Akan tetapi, begitu Perppu ditolak DPR periode 2004-2009 pada 18 Desember 2008, kewenangan KSSK dan definisi dampak sistemik tidak lagi memiliki dasar hukum.

Dasar hukum
Pemerintah, seperti disampaikan Menkeu dalam Raker Komisi XI DPR, 27 Agustus 2009, menganggap Perppu itu masih berlaku. Alasannya, Surat Ketua DPR pada 24 Desember 2008 tentang Keputusan Sidang Paripurna DPR 18 Desember hanya meminta pengajuan RUU JPSK sebelum 19 Januari 2009. Tidak ada pernyataan apakah Perppu JPSK disetujui atau tidak menjadi UU.

Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 memberi hak kepada Presiden menerbitkan Perppu apabila terdapat hal ihwal kegentingan yang memaksa. Walau pengertian 'kegentingan yang memaksa' dapat menjadi perdebatan Hukum Tata Negara yang terpisah, UUD 1945 jelas memberi peluang kepada Presiden membuat UU bersifat sementara dalam bentuk Perppu sampai disetujui DPR.

Bila disetujui, Perppu itu langsung menjadi UU dan semua norma didalamnya-termasuk norma dampak sistemik -menjadi hukum negara. Semua kebijakan pemerintah yang diambil berdasarkan norma itu berkekuatan hukum.

Pasal 31 RUU JPSK yang diajukan Pemerintah mengusulkan Perppu 4/2008 baru dinyatakan dicabut apabila RUU disetujui menjadi UU. Artinya, Pemerintah menganggap Perppu itu belum ditolak DPR dan masih terus berlaku. RUU tentu berbeda dengan Perppu.

RUU sebelum disahkan menjadi UU tidak berkekuatan hukum karena masih bersifat usulan. Perppu walaupun belum disetujui sampai masa Sidang DPR berikutnya memiliki kekuatan hukum.

Begitu tidak disetujui DPR, dasar hukum Perppu hilang. Pemerintah menambah argumentasi penyelamatan Bank Century dengan menggunakan UU Nomor 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pasal 21 Ayat 3 UU 24/2004 menyatakan bahwa LPS melakukan penanganan bank gagal berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (terdiri dari Menkeu, LPP, BI, dan LPS) menyerahkan penanganannya kepada LPS.

Karena norma dampak sistemik Perppu JPSK tidak menjadi UU, keputusan komite koordinasi tentang penanganan bank gagal berdampak sistemik juga tidak memiliki dasar hukum. Inilah titik kontroversi pertama terkait bailout Bank Century.

DPR, melalui Komisi XI, yang dikukuhkan Sidang Paripurna pada 29 September 2009, justru berpendapat karena Sidang Paripurna 18 Desember 2008 tidak memberi persetujuan, semua kebijakan KSSK atau komite koordinasi terkait penyelamatan Bank Century menjadi tidak sah.

Sebagian pendapat menyatakan 15 Oktober-18 Desember, di mana keputusan atas Bank Century terjadi 21 November, dianggap sah karena Perppu masih berlaku sebagai UU (sementara).

Namun, tindakan meneruskan kebijakan bailout setelah 18 Desember tidak memiliki dasar hukum (illegal). Dengan pandangan ini, menurut DPR, suntikan dana yang terus dilakukan bahkan setelah keputusan DPR tidak menyetujui Perppu yang mencapai Rp6,7 triliun menjadi masalah hukum yang layak dipertanggungjawabkan.

Walau Surat Ketua DPR hanya meminta ajuan RUU JPSK, karena Perppu tidak diterima, pemerintah seharusnya juga mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu 4/2008 yang sekaligus mengatur segala akibat yang terjadi karena Perppu ditolak.

Justru bila RUU Pencabutan Perppu diajukan sebagian akibat hukum dari suntikan dana ke Bank Century mungkin dapat diminimalkan. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 25 ayat 3 dan 4 serta Pasal 36 Ayat 2, 3 dan 4 UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sikap Pemerintah yang mengusulkan Pasal 31 RUU JPSK, di mana pencabutan Perppu JPSK dilakukan saat RUU JPSK disahkan menjadi UU bertentangan dengan norma UU 10/2004. Kita berasumsi pemerintah mengetahui dan selayaknya melaksanakan ketentuan yang berlaku dalam UU 10/2004. Ini menjadi titik kontroversi kedua.

Politik transparansi
Keputusan DPR meminta BPK melakukan investigasi untuk tujuan tertentu pada dasarnya merupakan langkah politik DPR untuk menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Prinsip ini secara tegas dirumuskan Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 bahwa "...pengelolaan keuangan negara...dilaksanakan secara terbuka [transparan] dan bertanggung jawab [akuntabilitas]..."

Pasal 2 UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Nagara menyebut yang dimaksud keuangan negara adalah termasuk kekayaan negara yang dipisahkan (huruf g) dan kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah (huruf h). LPS, BI atau lembaga lain yang mengelola keuangan negara yang dianggap terkait dalam kasus Bank Century menjadi objek pelaksanaan tugas dan wewenang BPK seperti dijelaskan pada Pasal 6 Ayat 1 UU Nomor 15/2006 tentang BPK.

Laporan sementara BPK yang disampaikan ke DPR pada 26 September 2009 menyatakan ada dugaan unsur pidana dalam penyelamatan Bank Century, karena itu dinyatakan bersifat rahasia. Komisi XI DPR menyepakati sifat kerahasiaan itu dijaga agar tidak mengganggu proses penegakan hukum bila BPK nanti menyimpulkan temuan unsur pidana dalam laporan akhirnya.

Bila BPK yakin ada temuan pidana, Pasal 8 Ayat 3 UU BPK menegaskan bahwa BPK berkewajiban melaporkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut kepada instansi yang berwenang, seperti kepada Kejaksaan bila terkait kejahatan perbankan dan/atau ke KPK bila ditemui unsur korupsi. Ayat 4 UU BPK mengamanatkan temuan BPK itu menjadi dasar penyidikan oleh pejabat penyidik di Kejaksaan maupun KPK.

Bila proses politik yang dilakukan DPR masuk ke wilayah penegakan hukum, sesungguhnya tugas DPR dalam menegakkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara relatif selesai dalam konteks kasus Bank Century.

Hak angket yang kini diusulkan sejumlah Anggota DPR sebenarnya masuk wilayah politik. Bila usulan ini disetujui Sidang Paripurna DPR, sikap politik DPR dalam mengawasi pengelolaan keuangan negara secara transparan dan akuntabel makin dipertegas.

Perdebatan apakah hak angket dilaksanakan setelah audit investigasi BPK selesai atau dilakukan secara paralel sesungguhnya juga bergantung pada kesimpulan akhir audit BPK.

Tentu kita berharap bahwa pelaksanaan hak angket bila nanti disetujui maupun audit investigasi BPK bukan untuk mencari kesalahan, melainkan lebih untuk menegakkan disiplin pengelolaan keuangan negara sehingga tidak seorang pun di negara ini dapat lolos dari jerat hukum bila lalai atau sengaja melakukan kesalahan.

Dengan pengelolaan keuangan negara yang makin transparan dan akuntabel, manfaat pengelolaan uang negara bagi kesejahteraan rakyat makin berkualitas.

Oleh Harry Azhar Azis, Ketua Badan Anggaran/ Anggota Komisi XI DPR

Tulisan ini disalin dari Bisnis Indonesia, 23 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan