Kartu Merah bagi Koruptor
Komisi Pemilihan Umum gerah dengan barisan politisi yang menjadi pesakitan karena kasus korupsi.
Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi telah berulang kali menangkap tangan para politisi dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Kesejahteraan sosial sebagai tujuan demokrasi semakin jauh karena ulah para koruptor.
Maka, KPU menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 14 dan 20 Tahun 2018. KPU mewajibkan semua partai politik menandatangani pakta integritas yang berisi tiga aspek.
Pertama, komitmen partai untuk memilih caleg berintegritas: tidak terlibat korupsi, nepotisme, dan melanggar hukum. Kedua, nama calon bukan mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba. Ketiga, sanksi pembatalan akan diterapkan KPU apabila nama usulan caleg melanggar aspek kedua. PKPU ibarat ”kartu merah” bagi koruptor.
Banyak pihak mengapresiasi langkah KPU. PKPU dinilai sebagai regulasi terobosan untuk menghentikan ”ternak” koruptor dalam pemilihan umum. Meski demikian, banyak pihak juga yang kontra. Mereka menilai, PKPU tidak memiliki landasan hukum karena bertabrakan dengan regulasi yang lebih tinggi.
Strategi regulasi
Polemik PKPU mengingatkan pada perdebatan panjang strategi regulasi (regulatory strategy).Apa strategi regulasi terbaik menghentikan regenerasi koruptor di zaman demokrasi elektoral? Tentunya regulasi yang memiliki landasan hukum sekaligus memberikan ruang partisipasi publik untuk aktif melawan korupsi.
Sebagai regulator, KPU dapat belajar dari strategi regulasi yang diterapkan dalam dunia bisnis. Pada dasarnya, relasi antara KPU, partai politik, caleg, dan masyarakat memiliki kesamaan logika dengan relasi antara negara, perusahaan, barang/jasa, dan masyarakat sebagai konsumen.
Partai politik menawarkan caleg, perusahaan menawarkan barang atau jasa. Dalam dunia bisnis, regulator memiliki tiga pilihan strategi regulasi, yakni pasal, perusahaan, dan pasar. Dalam konteks KPU, tiga strategi ini menjadi pasal, partai, dan pasar.
Pasal atau pendekatan berbasis hukum merupakan pilihan regulasi paling awal. Pada awal perkembangannya, pendekatan pasal diyakini paling efektif untuk menciptakan perubahan.
Regulator berwenang menentukan kriteria barang/jasa yang layak ditawarkan kepada masyarakat. Cara pandang ini menjadi dasar KPU menerbitkan PKPU Nomor 14 dan 20 Tahun 2018.
Pendekatan pasal mampu menghentikan mantan koruptor untuk tampil dari hulu proses pemilihan umum. Namun, pendekatan pasal ini lemah ketika diterapkan dalam situasi regulasi yang kompleks. Konflik regulasi (regulatory conflict) di mana terdapat regulasi-regulasi yang tidak sejalan membuat pendekatan pasal tidak efektif.
KPU akan disibukkan oleh gugatan hukum dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Akan lebih tragis jika PKPU dibatalkan atas nama hukum yang lebih tinggi. UU menjamin hak politik setiap warga negara, termasuk mantan narapidana korupsi.
Strategi kedua adalah perubahan pada kesadaran sasaran regulasi (regulatory target). Dalam strategi ini, regulator memberi kewenangan pada sasaran regulasi untuk menentukan pilihan terbaiknya. Dalam strategi ini, KPU mendorong partai politik untuk berkesadaran tidak mengusulkan caleg berlatar belakang koruptor. Hal ini jelas termuat pada pakta integritas PKPU. Namun, banyak pihak—apalagi KPU—tidak yakin atas strategi ini karena partai politik masih menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi para politisi ataupun birokrat.
Regulasi berbasis pasar
Strategi regulasi berbasis pasar merupakan alternatif pilihan kekinian dalam kajian ilmu regulasi. Strategi pasar adalah anak kandung sistem politik demokrasi. Sistem demokrasi menganjurkan pemerintah meminimalkan regulasi yang bersifat mengarahkan secara detail (prescriptive regulation).
Regulasi mengarahkan dinilai menghambat inovasi, berbiaya tinggi, dan menegasikan kesadaran nilai masyarakat. Maka, memberikan peluang masyarakat untuk memilih sesuai kehendak politiknya merupakan esensi dari strategi pasar.
Namun, strategi pasar juga menuai kritik terkait efektivitasnya. Pilihan masyarakat belum tentu sejalan dengan nilai-nilai baik dalam birokrasi publik. Calon yang terpilih bukan yang terbaik, tetapi yang dukungannya terbanyak, sehingga banyak calon berkualitas baik tersingkir. Lebih tragis, pesakitan kasus korupsi menjadi pemenang dalam pemilihan umum, seperti di Kabupaten Tulungagung.
Intervensi pasar
Strategi regulasi berbasis pasal, partai, dan pasar (3P) memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun, saya mengusulkan pendekatan intervensi pasar sebagai strategi regulasi untuk dipertimbangkan KPU. Intervensi pasar masih sejalan dengan prinsip demokrasi yang menyepakati rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Pertanyaannya, bagaimana memastikan fenomena Kabupaten Tulungagung tidak terulang pada pemilihan mendatang?
KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu mengintervensi pasar melalui strategi regulasi yang sejalan dengan demokrasi. Sebagian masyarakat Indonesia tidak bisa dibiarkan di ”pasar bebas” untuk memilih wakilnya.
Kampanye sistematis untuk mempermalukan koruptor dapat menjadi pilihan. Mempermalukan (shaming approach) telah terbukti efektif menjadi strategi regulasi saat ini. Beberapa program bisa diinisiasi KPU untuk mempermalukan koruptor.
Pertama, KPU menjadikan pemilu bukan semata-mata proses demokrasi elektoral, melainkan juga ajang mempermalukan koruptor. Kampanye antikorupsi masuk kegiatan pemilu agar ingatan masyarakat terhadap korupsi menjadi bagian dari rasionalitas di dalam bilik suara.
Kedua, KPU berwenang memberikan perlakuan khusus kepada caleg yang berlatar belakang koruptor di kertas suara. Tanda khusus ini menjadi pengingat bahwa ada mantan narapidana koruptor menjadi kontestan.
Ketiga, caleg berlatar belakang koruptor perlu dipermalukan di tempat pemungutan suara di mana dia terdaftar sebagai pemilih. Strategi ini untuk menekan elektabilitas calon di wilayahnya sekaligus memberikan pesan kepada koruptor untuk tidak mencalonkan diri apabila tidak ingin dipermalukan di rumah sendiri.
Keempat, KPU dapat memberikan rating khusus kepada partai politik peserta pemilu. Satu simbol tikus, misalnya, berarti ada satu caleg berlatar belakang mantan narapidana kasus korupsi. Simbol tikus berbanding lurus dengan jumlah caleg yang berlatar belakang koruptor. Dengan rating ini, publik dengan mudah mengetahui komitmen internal partai politik untuk memerangi korupsi.
Bahruddin, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM
Tulisan ini disalin dari harian Kompas, 18 Juli 2018