Kartelisasi Korupsi Anggaran

Penangkapan 41 anggota DPRD Kota Malang terkait korupsi APBD membuat publik kembali mempertanyakan jargon antikorupsi yang kerap didengungkan. Praktik ini mengonfirmasi fenomena gunung es praktik kongkalikong dalam pembahasan anggaran.

Tercatat sejak pertengahan 2017, puluhan elite lokal daerah, parlemen daerah, dan kepala daerah terjerat dalam transaksi gelap pengesahan APBD. KPK telah menetapkan tersangka korupsi APBD: kepala daerah dan DPRD di Provinsi Sulawesi Barat, Jambi, Kota Mojokerto, dan terakhir Kota Malang.

Fakta ini seolah-olah mencerminkan paradoks demokrasi dan desentralisasi di Indonesia yang telah bergulir hampir dua dasawarsa. Penguatan fungsi anggaran legislatif yang sedianya untuk memperkuat akuntabilitas anggaran publik termanipulasi menjadi ajang bagi-bagi rente anggaran. Desentralisasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah justru dibajak gerombolan elite lokal.

Praktik kongkalikong dalam pembahasan anggaran bukan hal baru. Bancakan anggaran juga marak terjadi di aras nasional. Deretan kasus korupsi proyek pembangunan infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara, KTP elektronik, dana penyesuaian infrastruktur, wisma atlet, dan pencetakan Al Quran memiliki modus serupa dengan korupsi anggaran lain.

Pembahasan anggaran di legislatif memang merupakan ruang transaksi kepentingan yang rawan. Eksekutif berkepentingan agar anggaran yang diajukan disetujui legislatif. Di sisi lain, anggota legislatif berkepentingan agar anggaran bisa melayani kepentingan konstituen sebagai bentuk hubungan patronase dan akumulasi kapital dalam mempertahankan kekuasaan.

Banyak pihak menyinyalir praktik kongkalikong pembahasan anggaran yang terus berulang ini terjadi karena biaya politik demokrasi liberal yang mahal dan insentif yang relatif tidak mencukupi. Pemerintah sebenarnya merespons dengan menerbitkan PP Nomor 18 Tahun 2017 guna menambah tunjangan dan fasilitas parlemen daerah dan PP Nomor 1 Tahun 2018 untuk menaikkan bantuan dana partai politik hingga sepuluh kali lipat. Berbagai tunjangan dan fasilitas juga mengguyur legislatif di tingkat pusat, tetapi tetap saja tidak mampu mengekang hasrat membajak anggaran rakyat.

Persoalan sistemik
Sebenarnya memandang persoalan korupsi politik pada arena pembahasan anggaran sebatas pada penghasilan para elite politik kurang tepat. Persoalan sebenarnya lebih sistemik terkait sistem perekrutan politik. Barry Ames (2001) menegaskan sistem pemilu sebagai faktor determinan perilaku politisi pada saat menjabat. Perubahan sistem pemilu menjadi proporsional daftar terbuka sejak Pemilu 2009 ditengarai berkontribusi terhadap perilaku korup para legislator dalam arena pembahasan anggaran.

Sistem pemilu ini telah mengubah fokus dari partai politik ke personal kandidat. Kandidat lebih memprioritaskan membangun hubungan personal dengan konstituennya secara langsung daripada membangun hubungan melalui partai politik. Tidak heran, berbagai survei mengonfirmasi rendahnya identifikasi pemilih terhadap partai (party ID).

Sebagai konsekuensi sistem proporsional daftar terbuka, peluang petahana untuk terpilih kembali memiliki tingkat ketidakpastian tinggi dan mendorong mereka mencari tambahan sumber daya untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).

Politisi yang ingin meningkatkan peluang terpilih kembali perlu memberikan manfaat yang dapat dirasakan konstituennya. Praktik yang terjadi terus-menerus ini akhirnya terlembagakan dan menjadikan hubungan para politisi petahana dengan konstituennya menjadi hubungan patronase.

Hal ini juga yang mendorong para legislator lebih tertarik dalam proses pembahasan anggaran daripada kebijakan publik lain. Hicken dan Simmons (2008) menggarisbawahi sistem pemilu yang berbasis keterpilihan suara individu tidak hanya membuat inefisiensi anggaran, tetapi juga menjadikan proses pembahasan anggaran rentan terhadap praktik korupsi.

Selain terdegradasi perannya pada aras konstituen, partai politik juga tidak hadir pada saat pembahasan anggaran dan arena politik pembuatan kebijakan lainnya. Partai politik hanya hadir mengoordinasikan anggotanya dan memberikan arahan yang jelas jika menyangkut kebijakan terkait perebutan kekuasaan seperti RUU Pemilu.

Riset yang dilakukan penulis menemukan identitas anggota legislatif sebagai alat kelengkapan lebih kuat dibandingkan identitasnya sebagai anggota partai politik atau anggota koalisi partai politiknya (Farhan, 2018). Beberapa perdebatan terkait pembahasan anggaran bahkan terjadi antar-alat kelengkapan yang berasal dari satu partai.  Tidak ada kontestasi partai politik, baik sebagai partai pemerintah maupun nonpemerintah, dalam arena politik pembahasan anggaran.

Pembahasan anggaran yang bersifat konsensus dan kesepakatan-kesepakatan informal yang terjadi dalam arena pembahasan anggaran juga berkontribusi pada terdegradasinya peran partai politik.

Kombinasi antara sistem pemilu yang berfokus pada suara individu yang memotivasi legislator memanipulasi sumber daya anggaran, ditambah dengan ketidakhadiran partai politik dalam arena pembahasan anggaran yang bersifat konsensus, pada akhirnya terlembagakan menjadi jaringan transaksi ilegal yang terorganisasi dan membentuk elite kartel politisi terlepas dari aliansi partai politiknya.

Maka, tidaklah mengherankan apabila korupsi anggaran yang terjadi, baik di nasional maupun daerah, kerap melibatkan legislator lintas partai politik, baik yang berasal dari partai koalisi pemerintah maupun partai pengusung kepala daerah, dengan partai yang berada di luar pemerintahan.

Bukan tidak mungkin kartelisasi korupsi anggaran ini masih akan terus menjamur dengan diloloskannya para bekas koruptor terjun dalam kontestasi Pemilu 2019.

Kiranya apa yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer semakin relevan dengan kondisi saat ini: ”Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik”.

Yuna Farhan Alumnus Doktoral University of Sydney; Sekjen Fitra 2009-2013

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 18 September 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan