Kamuflase DPR, Antara Bangun Gedung Baru dengan Pakta Integritas

Jakarta, antikorupsi.org (3/11/2015) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai tidak transparan, bahkan cenderung tertutup dalam rencana pembangunan gedung barunya. Dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pemerintah, DPR telah mengajukan anggaran pembangunan gedung tersebut. Akhirnya permintaan ini dikabulkan pemerintah dalam pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 740 miliar.

Tentunya hal tersebut bertentangan dengan zona integritas yang baru-baru ini dicanangkan oleh DPR bersama lembaga negara terkait. “Ini aneh, wakil rakyat mendorong agar pemerintah lebih transparan dan bebas korupsi, tapi dia sendiri tidak terbuka soal anggaran pembangunan gedung baru tersebut. Buktinya, selain anggaran pembangunan gedung ini, DPR juga tidak mau transparan dalam pengelolaan anggaran yang dikelola selama ini,” jelas peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, saat dihubungi antikorupsi.org.

Menurutnya, dalam pembahasan Rancangan APBN 2016 yang telah disahkan menjadi APBN 2016, DPR cenderung tertutup dan jauh dari prinsip transparasi. Semestinya, sebagai wakil rakyat DPR juga menerapkan proses tranparasi, baik di internal (DPR) maupun kepada masyarakat.

Sampai saat ini masyarakat masih sangat sulit untuk mengakses anggaran murni DPR, baik yang akan digunakan maupun yang sudah digunakan. “DPR tidak memberikan penjelasan untuk apa saja dana tambahan Rp 740 miliar akan digunakan. Detail biaya pembangunan saja publik tidak diberitahu,” kata Roy.

Pemerintah Tidak Konsisten

Keinginan DPR untuk membangun gedung baru sudah muncul pada tahun 2011 lalu, namun saat itu ditolak oleh masyarakat, dan akhirnya tidak jadi. Wacana pembangunan gedung DPR ini kembali membuat gempar saat Agustus 2015 lalu, Ketua DPR Setya Novanto menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah sepakat dan menyetujui anggaran dalam pembangunan gedung baru. Namun, hal ini dibantah keras oleh kabinet kerja Jokowi-JK.

Lebih lanjut Roy menjelaskan bahwa pemerintah terlihat juga tidak konsisten dalam keputusan yang telah diambil. Jelas, hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa akhirnya pemerintah mengabulkan permintaan DPR melalui APBN 2016. Padahal jelas desakan publik yang menolak seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah. Terlebih saat ini keuangan negara sedang tidak stabil, seharusnya antara pemerintah dan DPR dapat bersinergi dan bekerja keras dalam memperbaiki stabilitas ekonomi.

Roy juga menegaskan, persetujuan anggaran ini seharusnya juga melalui mekanisme persetujuan fraksi-fraksi di DPR. Sebelumnya, seperti fraksi hanura dan gerindra yang menolak penambahan anggaran pembangun gedung DPR, saat ini berbalik sikap menyetujui.

“Ini juga menjadi pertanyaan, kenapa fraksi yang dulu menolak sekarang justru menyetujui? Penetapan APBN 2016 juga tidak melalui mekanisme paripurna, kita tidak tahu mungkin saat ini mekanismenya berbeda,” keluh Roy. (Ayu-Abid)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan