Jokowi dan Serbuan Nikotin

Presiden Joko Widodo semula sangat diragukan orang untuk menduduki posisi Indonesia-1. Bagaimana mungkin seorang yang belum punya pengalaman kenegaraan pada tingkat nasional tiba-tiba meroket menjadi presiden ke-7 Republik Indonesia, negara besar keempat di muka bumi, sesudah China, India, dan Amerika Serikat.
 
Belum sampai tiga tahun menduduki posisinya yang sekarang ini, beberapa perubahan fundamental telah dilakukan, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Ini ia lakukan demi mempercepat terwujudnya cita-cita nasional dalam upaya mendekati tujuan kemerdekaan, sekalipun masih sangat jauh. Dari sumber lingkaran dalam saya dapat info bahwa presiden jangkung ini benar-benar mengawasi secara rinci dan terus-menerus semua proyek infrastruktur itu.
 
Selama setahun masa jabatan pertama, Jokowi masih belum bisa menancapkan gas pemerintahan secara efektif karena konsolidasi perpolitikan nasional sulit dilakukan. Bahkan hubungan Jokowi dengan partai pendukung utama terasa kurang mulus lantaran belum punya bahasa yang sama dalam membaca peta permasalahan bangsa yang memang tidak sederhana.
 
Dengan demikian, baru sejak dua tahun terakhir gas pembangunan itu diinjak lebih keras. Tatanan birokrasi nasional memang terpontal-pontal dibuatnya karena mental pejabatnya tidak siap menghadapi perubahan yang radikal dan fundamental ini.
 
Dalam menilai keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih saja ada kekuatan yang ingin menghancurkannya, termasuk DPR yang dulu perancang dan perumus Undang-Undang Anti Korupsi (UU No 32/2002) itu. Kita berharap Jokowi akan bersikap lebih tegas menghadapi gerakan politik hitam yang tak ingin korupsi dibabat habis di negeri ini.
 
Adapun munculnya pendapat agar KPK mengedepankan kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya saya setuju. Bahkan saya mengusulkan agar KPK punya Badan Pengawas Independen agar langkah-langkahnya dalam memberantas korupsi lebih terukur, arif, dan benar-benar tepat sasaran. Dan, lima komisioner KPK harus punya sikap yang relatif seragam dalam menghadapi kasus-kasus besar, termasuk kasus yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang mau dihabisi nyawanya itu.
 
Selain masalah korupsi yang masih menggurita, ada tiga kekuatan penghancur lain yang meminta perhatian khusus Jokowi dan pemerintahannya, yaitu narkoba, terorisme, dan pembatasan ruang pengaruh adiktif nikotin akibat rokok. Narkoba dan terorisme sebagai ancaman global memang tidak mudah mengatasinya. Diperlukan kerja sama lintas negara untuk penanggulangannya.
 
Khusus dalam upaya melawan terorisme, Indonesia telah punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan tangan eksekutornya Densus 88 telah menampakkan giginya, sekalipun dalam menangani beberapa kasus tertentu belum tentu selalu profesional. Oleh sebab itu, kritik publik terhadap cara penanganan terorisme ini perlu didengar dan diperhatikan sehingga sinisme yang kadang-kadang masih terdengar dapat diredam.
 
Belum dapat perhatian
Sampai sekarang masalah bahaya nikotin rokok belum dapat perhatian serius oleh pemerintahan Jokowi/Kalla. Ternyata cukai rokok masih terlalu rendah, yaitu 40 persen, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia seperti India, Singapura, Nepal di kisaran 80 persen. Akibatnya, masyarakat miskin yang sudah teramat lama bermain dengan serbuan nikotin ini semakin terkapar dalam situasi tak berdaya. Ironisnya, ia telah menyumbangkan laba yang tak terhingga kepada pengusaha rokok di Indonesia.
 
Data statistik berikut ini akan menjelaskan betapa dalam dan dahsyatnya pengaruh nikotin itu terhadap manusia Indonesia yang masih ketagihan. Data ini saya dapatkan dari Kementerian Kesehatan saat ”Pelatihan dan Workshop Perda Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta”, di Yogyakarta, 22-24 Agustus 2017.
 
Salah seorang tokoh sentral dalam pelatihan ini adalah Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, yang juga adalah dokter obstetri dan ginekologi yang sangat gigih memelopori upaya pembatasan pengaruh nikotin bagi masyarakat luas. Dokter Hasto juga Ketua Aliansi Wali Kota/Bupati Kawasan Tanpa Rokok dan Pengendalian Tembakau Masyarakat (KTR-PTM) se-Indonesia.
 
Pelatihan selama tiga hari ini diikuti perwakilan 21 kabupaten dan kota di Jawa Tengah dan DIY. Bertujuan antara lain untuk mewujudkan komitmen bersama dalam inisiasi kawasan tanpa rokok bagi kabupaten dan kota di kedua provinsi itu dan menyusun draf rancangan Perda KTR.
 
Melihat semangat tinggi yang diperlihatkan para peserta latihan ini, saya percaya ancaman nikotin dapat dikurangi secara berangsur, tetapi pasti, melalui pendekatan persuasif, ilmiah, kesehatan, dan (kerugian) ekonomi.
 
Perhatikan baik-baik angka-angka berikut ini. Tahun 2016 tercatat sekitar 70 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif dengan menghabiskan 342 miliar batang rokok dibandingkan 240 miliar tahun 2009. Rata-rata empat batang per hari per kepala.
 
Untuk Kabupaten Kulon Progo saja, di mana Perda KTR sudah berjalan sejak 2014, menurut dokter Hasto, masih saja terdapat sekitar 120,000 (34 persen) rakyatnya yang perokok aktif. Kemudian, data lain, ada sekitar 62 juta perempuan, 30 juta laki-laki, dan 11,4 juta anak-anak Indonesia usia 0-4 tahun adalah perokok pasif (terisap asap rokok).
 
Perlu juga dicatat, mayoritas para perokok itu adalah rakyat miskin Indonesia. Kalikan saja berapa triliun rupiah yang dibakar setiap hari dengan sia-sia untuk menghancurkan diri sendiri dan keluarga.
 
Salah seorang yang selalu turut aktif dalam setiap pertemuan seperti di atas adalah dokter Tara Singh Bam (warga Nepal), Deputi Direktur the International Union Against Tuberculosis and Lungs Diseases. Sewaktu saya tanyakan kepada dokter Tara tentang cara yang tepat dan cepat untuk mengurangi ancaman nikotin, menurut dia tak lain adalah ketegasan presiden agar menaikkan cukai rokok setinggi mungkin sehingga rakyat miskin akan sadar dan kapok untuk tidak terus bermain dengan nikotin, zat pembunuh itu.
 
Pengalaman di beberapa negara menunjukkan adanya korelasi positif antara cukai yang tinggi dan pengurangan angka perokok. Saya percaya Presiden Jokowi akan mempertimbangkan harapan dari gerakan pembatasan pemakaian tembakau ini, yang telah dipelopori Kementerian Kesehatan RI.
 
AHMAD SYAFII MAARIF, KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH 1999-204
-------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Jokowi dan Serbuan Nikotin".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan