Jangan Pilih Ketua MA yang Vonis Bebaskan Kasus Korupsi
Pernyataan Pers
Perhelatan akbar Pemilihan Ketua MA akan dilaksanakan Kamis, 15 Januari 2008. Harapan akan terjadi pembersihan, transparansi, perbaikan, dan perang terhadap Mafia Peradilan diperkirakan akan sulit tercapai. Proses pemilihan yang tidak terbuka, tidak melibatkan partisipasi publik, keengganan menerima masukan track record dari masyarakat, dan bahkan resistensi dengan kritik yang berasal dari mantan Hakim Agung menjadi salah satu dasar kekhawatiran, hasil pemilihan ini hanya akan membawa kemunduran di Mahkamah Agung.
Seperti diketahui, Peradilan Indonesia berada di posisi terburuk dalam penilaian PERC dan LBH Masyarakat di tahun 2008. 'Prestasi' terbaru dikeluarkan diawal 2009 oleh Komisi Ombudsman yang menempatkan Peradilan dibawah MA sebagai lembaga yang paling tidak responsif pada pengaduan masyarakat. Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis TI bahkan menempatkan sektor Pengadilan termasuk 4 insitutsi terkorup beberapa tahun berturut-turut sejak tahun 2005. Peringkat dan persepsi buruk dari masyarakat ini tentu bukan tanpa alasan.
Kondisi buruk peradilan ini tentunya tidak lepas dari faktor kepemimpinan generasi tua dan berkuasanya kelompok elit di Mahkamah Agung. Salah satu masalah krusial ditubuh peradilan adalah lemahnya pengawasan, dan penegakan sanksi atau pembiaran terhadap praktek yang membuka peluang terjadinya penyimpangan. Hal itu juga dinilai sangat berhubungan dengan tingginya vonis Bebas kasus korupsi dari tahun 2005 sampai dengan 2008.
Hasil pencatatan rutin ICW, misalnya. Dari 1421 terdakwa kasus korupsi di pengadilan umum yang terpantau selama tahun 2005-2008, ditemukan catatan yang menyedihkan. Trend vonis bebas untuk kasus korupsi terus menigkat dari tahun ke tahun.Dari hanya 22,22% vonis bebas di tahun 2005, meningkat jadi 62,38% di tahun 2008. Total terdakwa korupsi yang divonis bebas lebih dari 650 orang, dan vonis dibawah dua tahun sekitar 291 terdakwa.
Khusus di tahun 2008, MA berperan paling besar dalam vonis bebas kasus korupsi. Sekitar 121 terdakwa dibebaskan dari tuduhan korupsi dari total 277 yang dibebaskan di tahun 2008.
Potret buram Mahkamah Agung dan Pengadilan Indonesia ini tentu harus diperbaiki. Salah satu momentum terpenting adalah Pemilihan Pimpinan MA. Karena itu, kursi pimpinan MA tidak boleh diisi oleh "orang titipan", calon yang justru berkelindan dengan Mafia Peradilan, anti perubahan, anti transparansi, dan alergi dengan kritik publik. Terkait dengan Komisi Yudisial, Ketua MA haruslah terbuka diawasi dan tidak berupaya mendelegitimasi keberadaan KY.
ICW sangat memahami, bahwa undang-undang mengatur, Pimpinan MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung. Namun, bukan berarti MA berhak melakukannya secara tertutup dan mengarah pada semi Tirani Yudisial.
Karena itulah, ICW sangat berharap Hakim Agung memilih Ketua MA dengan kriteria:
- Berkomitmen dengan Pemberantasan Korupsi. (TIDAK PERNAH menjatuhkan VONIS BEBAS kasus korupsi)
- Berusia dibawah 65 tahun
- Mampu mengembalikan kewibawaan Hakim Agung dan Mahkamah Agung
- Sehat Jasmani dan rohani berdasarkan bukti hasil general check up resmi dari dokter.
- Menunjukan sikap hidup sederhana. Misal: Tidak hoby Golf), punya harta kekayaan yang masuk akan dibanding dengan penghasilan resmi sebagai Hakim Agung
- Berkomitmen terhadap Transparansi. Misal: Membuka Akses BPK terhadap Audit Biaya Perkara
Jika tidak ingin MA hancur dibelit Mafia Peradilan, maka Enam kriteria diatas dinilai sangat penting dimiliki oleh Pimpinan. Khusus kriteria PERTAMA, terkait komitmen Pemberantasan Korupsi, tentu calon Ketua MA dan Pimpinan MA tidak pernah memvonis bebas kasus korupsi.
ICW mempunyai catatan khusus tentang hal ini. Tiga calon kuat Ketua MA yang berkembang di publik ternyata pernah memvonis bebas kasus korupsi (lihat: lampiran). Bagaimana mungkin MA akan dipimpin oleh pihak yang komitmen terhadap pemberantasan korupsi nya diragukan? Atas dasar itulah, ICW menghimbau pada Hakim Agung yang memilih Pimpinan MA agar tidak memilih mereka yang pernah memvonis bebas kasus korupsi.
Jakarta, 14 Januari 2009
Indonesia Corruption Watch
-----------------------------------------------------
PROFIL CALON PIMPINAN MAHKAMAH AGUNG
HARIFIN TUMPA
Lahir di Soppeng, 23 Februari 1942. Memulai karirnya sebagai hakim PN Takalar tahun 1969, lalu menjadi Ketua PN di beberapa PN di Sulses selama 1972-1989. Pernah menjadi hakim PN Jakarta Barat tahun 1989, Ketua PN Mataram tahun 1994 dan Hakim Tinggi PT Makasar tahun 1997, sebagai Direktur Perdata tahun 1997-2000, mejadi wakil PT Palembang selama 2001,dan tahun 2002 hingga 2004 menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Palu. Menjadi Hakim Agung pada 14 September 2004 hingga saat ini. Sejak 27 November 2007, Harifin menjabat sebagai Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial merangkap Pelaksana Tugas Ketua MA.
Menempuh pendidikan Sekolah Hakim dan Djaksa di Makasar pada 1959-1963, kuliah di fakultas hukum Universitas Hasanuddin Makasar lulus tahun 1972,Post Graduate Universitas Leiden 1987, dan Magister Hukum di Universitas Krisnadwipayana Jakarta tahun 1998-2000.
Harifin menikah dengan Herwati Sikki dan dikaruniai tiga orang anak yaitu A. Hartati, AJ. Cakrawala, dan Rizki Ichsanudin. Data kekayaan berdasarkan laporannya ke KPK (per 1 Maret 2006) adalah sebesar RP 1,456 miliar.
Pernah melaporkan Komisi Yudisial ke Kepolisian pada 10 Februari 2006 karena pemberitaan Hakim Agung yang bermasalah. Merupakan salah satu pemohon uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Komisi Yudisial terkait dengan pasal pengawasan. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh MK.
Selama menjadi hakim agung, Harifin Tumpa pernah membebaskan kasus korupsi HGB Hotel Hilton dengan terdakwa Ali Mazi dan Pontjo Sutowo, korupsi dana Kavling gate dengan terdakwa Kurdi Moekri (anggota Komisi III DPR).
JOKO SARWOKO
Lahir di Boyolali 21 Desember 1942. Karirnya sebagai hakim dimulai sebagai calon hakim di PN Jakarta Utara pada tahun 1973, selanjutnya menjadi hakim PN Tanjung Pinang, Hakim PN Batam, Hakim PN Surabaya, Ketua PN Bogor, Hakim PT Sumatera Utara. Pada tahun 1997 hingga 2000 menjabat sebagai Direktur Pidana MA. Kemudian menjadi Wakil Ketua PT Tanjung Karang sejak 2000-2004. Menjadi Hakim Agung sejak 14 September 2004 hingga saat ini. Menjabat Ketua Muda bidang Pengawasan merangkap Ketua Muda Pidana. Dikalangan media dikenal juga sebagai juru bicara MA.
Meraih gelar sarjana hukum pada tahun 1970 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menyelesaikan pendidikan magister hukum di Universitas Krisna Dwipayana Jakarta pada tahun 2000 dan mengikuti kursus Lemhanas KSA IX pada 2001.
Menikah dengan Tien Sri Sugiartien pada tahun 20 April 1953, pasangan ini dikarunia dua orang anak bernama Viska Yustikatina dan Windi Yuria Valentina. Memiliki hobby menyanyi. Nilai kekayaan per 1 Mei 2007 berdasarkan laporan ke KPK adalah sebesar Rp 1,311 miliar dan USD 3500.
Selama menjadi hakim agung pernah membebaskan 10 orang terdakwa anggota DPRD Provinsi Sumbar yang diduga melakukan korupsi senilai Rp 2,9 miliar. Dampak putusan kasasi ini, 33 anggota DPRD Sumbar juga divonis bebas ditingkat peninjaun kembali. Putusan ini juga menjadi acuan bagi hakim-hakim ditingkat pengadilan tinggi dan pertama untuk membebaskan pelaku korupsi yang melibatkan anggota dewan.
Joko merupakan salah satu pemohon uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Komisi Yudisial terkait dengan pasal pengawasan. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh MK.
PAULUS EFFENDI LOTULUNG
Memulai karirnya sebagai hakim di PN Gresik, lalu ke PN Ngawi dan menjadi Kepala Biro Umum di PT Surabaya tahun 1973.
Lulus Sekolah Hakim dan Jaksa Negara di Malang pada tahun 1963. Dilanjutkan pada tahun 1965 ke Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabya hingga lulus pada tahun 1971. Setelah pulang dari kulia di Paris, Paulus bertugas menjadi asisten di MA hingga 1984. Kemudian pada tahun 1984 menjadi hakim di PN Jakarta Pusat. Lalu menjadi hakim dan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tahun 1995-1996, menjabat sebagai Ka. Litbang di MA dan hakim tinggi PT DKI Jakarta, dan sejak 1998 dilantik sebagai hakim agung. Sejak tahun 2000, Paulus menjabat sebagai Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara MA. Jabatan lainnnya Ketua Tim Pembaruan MA.
Di tahun 1976 mendapat beasiswa ke Paris untuk kuliah di Institute Internatuonal d'administration Publique, yang dilanjutkan ke Universite Sorbone (Paris) sampai pada tahun 1980 untuk program S2 dan dilanjutkan lagi sampai 1982 untuk program S3.
Lahir di Boyolali, 9 Maret 1943 ini menikah dengan Dra. Sri Murtinah Mangunwidodo, MA, dari Yogyakarta yang juga alumni dari Universitas di Paris.
Data kekayaan berdasarkan laporannya ke KPK (per 31 Maret 2001) adalah sebesar RP 535 juta dan USD 38.
Selama menjadi hakim agung, Paulus Efendi Lotulung pernah membebaskan kasus korupsi HGB Hotel Hilton dengan terdakwa Ali Mazi dan Pontjo Sutowo, dan korupsi dana non budgeter Bulog dengan terdakwa Akbar Tanjung.
Dokumentasi Indonesia Corruption Watch
Diolah dari LHKPN- KPK, Profil Hakim 2003 yang diterbitkan oleh IKAHI, dan update media
---------------------------------------------------
Lampiran.
Daftar Vonis Bebas yang Dijatuhkan Tiga Hakim Agung Senior
No. |
Nama Hakim Agung |
Terdakwa |
Kasus Korupsi |
Kerugian Negara |
1 |
Harifin A. Tumpa (23/2/1942) |
Akhmad Dimyati, Wakil Wali Kota Banjar non-aktif dan Taufik anggota DPRD Kabupaten Ciamis |
APBD Kab. Ciamis th. 2001-2002 |
Rp. 5,2 M |
|
|
Kurdi Moekri, mantan Wakil Ketua DPRD Jabar |
Dana Kapling DPRD Jawa Barat |
Rp.33,38 M |
|
|
Ali Mazi, Pontjo Sutowo |
Perpanjangan HGB Hotel Hilton, Jakarta |
Rp. 1,94 T |
2 |
Djoko Sarwoko (21/12/1942) |
10 anggota DPRD Provinsi Sumbar periode 1999-2004 (yaitu Mafendi, Hilmi Hamid, Sueb Karyono, Hendra Irwan Rahim, Jufri Hadi, Lief Wanda, Alvian, Mahardi Effendi, Sahril BB, M Yunus Said) |
APBD Provinsi Sumbar tahun 2002 |
Rp. 2,9 M |
3 |
Paulus Efendi Lotulung (9/3/1943) |
Akbar Tandjung |
Dana non budgeter bulog |
Rp. 40 M |
|
|
Ali Mazi, Pontjo Sutowo |
Perpanjangan HGB Hotel Hilton, Jakarta |
Rp. 1,94 T |
Sumber: ICW, 2008 |