Jangan “Pahlawankan” Soeharto!

Wacana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto oleh salah satu calon presiden harus diwaspadai sebagai ancaman kembalinya Orde Baru dan rezim yang membelenggu kebebasan berekspresi, penegakan hukum dan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.

Koodinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menyatakan wacana calon presiden Prabowo Subianto soal pemberian gelar pahlawan pada Soeharto sangat memprihatinkan. Haris meyakini wacana pemberian gelar mencerminkan keinginan “mengembalikan atau mengubah fakta seolah-olah tidak ada yang salah dengan masa lalu.”

Menurut Haris, wacana ini aneh karena ratusan ribu korban dan keluarga akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di era Soeharto belum mendapatkan keadilan dan kejelasan.

“Kok justru malah ada orang yang ingin memperkuat situasi masa lalu sebagai sesuatu yang tidak salah,” kritik Haris dalam konferensi pers di kantor ICW, Jakarta (3/7). Ia menyayangkan sikap Prabowo dan menilai wacana ini sebagai “cara pikir picik yang harus dilawan.”

Ia mengingatkan bahwa Prabowo dalam berbagai keterangan dan kesaksiannya mengungkapkan penculikan yang ia lakukan didasari perintah atasan. KontraS juga telah melakukan berbagai upaya pembelaan hukum dan advokasi lainnya, termasuk investigasi ke berbagai lokasi pelanggaran HAM seperti Timor-Timur.

Hasil investigasi KontraS, ungkap Haris, menyatakan dugaan bahwa yang dimaksud Prabowo sebagai atasan adalah Haji Muhammad Soeharto. Maka dari itu, Haris mempertanyakan wacana Prabowo.

“Kalau dia (Prabowo) bilang, bahwa dia melakukan penculikan atas perintah atasan, kok dia mau memberikan gelar pahlawan pada Soeharto? Apakah ini berarti penculikan, korupsi, perampasan tanah, dan penghilangan orang yang mengakar pada rezim Orde Baru adalah tindakan heroik?” tanya Haris. Ia juga mengingatkan bahwa kejahatan-kejahatan serius seperti pelanggaran HAM berat tidak lekang dimakan waktu untuk diadili.

Haris juga membahas pendapat bahwa demokrasi Indonesia menghabiskan biaya, waktu, dan tenaga. Menurut dia, demokrasi mahal dan berat seperti hari ini bukanlah warisan atau budaya baru yang dibangun di Era Reformasi, melainkan warisan Orde Baru.

“Contohnya, demokrasi demokrasi yang berat hari ini, itu karena ada korupsi di dalamnya. Korupsi itu bukan muncul di masa reformasi. Ini warisan Orde Baru yang sudah berkembang biak kemana-mana. Orde Baru itu rezim biadab, rezim anti kemanusiaan, rezim yang memproduksi banyak korupsi, perampokan, dan perampasan hak orang lain,” tutur Haris.

Haris juga mengingatkan masyarakat bahwa awal mula ICW dan KontraS lahir sebagai penanda bahwa masyarakat pernah melawan terhadap Orde Baru yang merusak tata kelola negara Indonesia.

“ICW untuk menjawab mandat pemberantasan korupsi, KontraS untuk menjawab mandat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM,” tegas dia.

Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menyatakan kalau wacana ini benar-benar terlaksana, akan menjadi titik balik terhadap pemberantasan korupsi, terhadap penegakan HAM, dan demokrasi di Indonesia.

Khususnya dalam konteks korupsi, kata Agus, publik harus kembali mengingat saat terjadi peralihan rezim dari Soeharto kepada Habibie dan kemudian selanjutnya, muncul TAP MPR nomor 11 Tahun 1998 yang menegaskan bahwa untuk menegakkan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, harus ada pengusutan korupsi yang melibatkan pejabat maupun mantan pejabat, termasuk di dalamnya adalah Soeharto.

“Ini yang harus kita tekankan, bahwa TAP MPR itu jelas masih berlaku. Bahkan setelah peninjauan tahun 2003 terhadap TAP MPR, TAP itu tetap berlaku,” tegas Agus.

Ia juga menekankan bahwa “dosa-dosa korupsi zaman Soeharto”, bahkan yang sudah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung, misalnya terkait korupsi Yayasan Supersemar yang mencapai sekitar Rp 3 triliun, belum pernah dieksekusi kejaksaan. Artinya, masih ada hutang pekerjaan rumah di mana aset hasil korupsi belum juga dirampas oleh negara.

Agus juga menilai menguatnya wacana ini memang bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia ke depan, tetapi untuk kepentingan perlindungan masa lalu. Ia juga menilai adanya nuansa politik dalam wacana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto dalam rangka meraup suara dalam Pemilihan Presiden 2014. Menurut Agus, publik juga harus mewaspadai kemungkinan konsolidasi elit kekuasaan untuk mengamankan dosa-dosa masa lalu seperti korupsi dan pelanggaran HAM.

“Saat ini masyarakat harus benar-benar melihat mana capres yang punya dimensi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dan mana yang mau mengembalikan situasi ke masa Orde Baru,” tuturnya.

Peneliti dari Indonesia Legal Roundtable Erwin Natosmal Oemar menyatakan bahwa publik jangan sampai melupakan dokumen penelitian tentang korupsi di zaman Orde Baru yang berjudul Stolen Asset Recovery atau StAR (Pemulihan Aset yang Dicuri) terbitan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“StAR menyebutkan Soeharto sebagai diktator paling korup. Artinya, bciara korupsi, Soeharto dekat dengan itu,” ujar Erwin. Ia berharap publik tidak terjebak dan akhirnya lupa pada fakta-fakta sejarah dan hukum.

“Apalagi dalam konteks Pemilihan Presiden, ketika ada satu capres yang mencoba mengembalikan kejayaan Soeharto tanpa melihat apa saja kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat Soeharto,” kata Erwin.

Erwin mengungkapkan, sejarah korupsi di era Soeharto harus melihat kembali kasus-kasus sejumlah yayasan yang didirikan Soeharto. Dulu, lewat Peraturan Presiden No. 17 Tahun 1976, Soeharto menekankan bahwa 5% sisa laba bersih milik bank pemerintah harus disumbangkan ke yayasan-yayasannya, seperti Supersemar, Dharmais, dan Dana Abadi Karya.

Untuk kasus Supersemar misalnya, ungkap Erwin, Mahkamah Agung sudah memutuskan bahwa Soeharto dan yayasannya bersalah, terbukti secara hukum melakukan tindak pidana, penyalahgunaan kewenangan sebagai kepala negara sehingga merugikan negara dalam kurs sekarang sekitar Rp 3,9 triliun, atau 420 juta dolar AS.

Penyalahgunaan uang negara lainnya juga berlaku untuk kepentingan bisnis anak-anak Soeharto. Erwin mencontohkan bahwa pada tahun 1990, ada 125 juta dolar AS yang dialirkan ke Bank Duta. Pada 13 November 1995 juga terdapat aliran dana ke PT Kiani Sakti. Kemudian juga untuk Sempati Air, yang dikuasai anak Soeharto.

Artinya, kata Erwin, dari satu kasus saja, yaitu Yayasan Supersemar, sudah merugikan negara sekitar 420 juta dolar AS. “Masih ada enam yayasan lain yang belum ditindaklanjuti pemerintah,” kata Erwin.

“Soeharto dan keluarganya masih berhutang pada republik ini, terhadap uang-uang republik yang digunakan dia dan keluarga untuk memperkaya diri sendiri. Jangan kaget misalnya, ketika kita melihat dalam penemuan paling baru, tiga anak Soeharto termasuk orang-orang terkaya di Indonesia, yaitu Bambang, Tommy, dan Tutut. Dana yang mereka dapatkan itu awalnya dari dana-dana yayasan dan disalahgunakan untuk kepentingan modal. Ini yang terbukti baru Supersemar. Belum lagi, keputusan-keputusan yang menyalahi aturan oleh Soeharto,” sesal Erwin.

Maka, kata Erwin, kalau ada calon presiden yang mengaku ingin memberantas korupsi tapi ingin meletakkan Soeharto sebagai pahlawan, itu tindakan yang kontradiktif.

“Tidak mungkin seorang koruptor diangkat sebagai pahlawan. Ini adalah penipuan publik, manipulasi sejarah. Yang perlu kita ingatkan bersama pada publik, bahwa orang-orang semacam ini melakukan perbuatan yang merugikan sejarah Indonesia,” ujar Erwin.

“Cacat” kepahlawanan

Sejarawan Bonnie Triyana menilai usul Soeharto agar “dipahlawankan”, apalagi oleh kandidat presiden, adalah bentuk ancaman bagi demokrasi yang sudah dicapai Indonesia.

Bonnie mengajak masyarakat untuk kembali mengacu pada dasar hukum dan pengertian pahlawan dalam Peraturan Presiden No. 33 Tahun 1964 yang dibuat di era Presiden Soekarno.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pahlawan adalah warga negara Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya, suatu tugas perjuangan untuk membela bangsa dan negara. Selain itu, kata Bonnie, masih ada syarat selanjutnya untuk menjadikan seseorang sebagai pahlawan, orang tersebut dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda suatu tindakan atau perbuatan yang menyebabkan kepahlawanannya menjadi cacat nilai perjuangannya.

Maka, menurut Bonnie, merujuk pada Perpres tersebut terutama ketentuan kedua, Soeharto tidak bisa disebut pahlawan karena tidak memenuhi syarat dan jauh dari layak untuk disebut pahlawan.

“Kita tahu dia pernah diproses oleh Kejaksaan Agung untuk kasus korupsi yayasannya dan beberapa kasus lain, yang membuat nilai-nilai perjuangannya dia—walau dalam sejarah pun masih diperdebatkan apa perjuangan dia—itu cacat,” kata Bonnie dalam kesempatan yang sama. Wacana pemberian gelar pahlawan pada Soeharto kata Bonnie, adalah hegemoni terhadap ingatan warga negara Indonesia.

“Dia pelaku sejarah, iya. Dia presiden, iya. Dia pahlawan, bukan. Jadi, pemberian gelar pahlawan akan menutup semua usaha penegakan keadilan atas apa yang dilakukan Soeharto di masa lalu, dan membuka peluang pada mereka yang dulu di lingkaran Orde Baru untuk kembali menegakkan kekuasaan yang selama ini hilang dari tangan mereka,” tegas Bonnie.

Menurut Bonnie, penggembar-gemboran tentang Soeharto sekarang ini bukanlah untuk mengembalikan keadaan agar jadi lebih baik, namun utamanya untuk mengembalikan lagi kekuasaan yang sempat hilang dari orang-orang “pemain lama” zaman Orde Baru.

“Saya curiga, agenda utamanya adalah merestorasi kekuasaan yang sempat hilang. Dengan memanfaatkan ingatan orang Indonesia yang mudah lupa bahwa masa Orde Baru banyak korupsi, pembungkaman, pelanggaran HAM. Ini artinya kita mundur 50 tahun ke belakang,” kata Bonnie prihatin.

Dipaksa lupa

“Pada masa Orde Baru, memori kolektif orang Indonesia itu dikontrol oleh rezim pemerintah dengan satu versi sejarah saja. Sehingga orang Indonesia tidak punya pilihan lain untuk mengingat peristiwa mana dalam sejarah yang mau mereka ingat. Apa yang mereka ingat adalah apa yang dibuat Rezim Orde Baru,” tutur Bonnie.

“Jadi, setelah 16 tahun reformasi ada stiker “enak zamanku tho”, “zaman Soeharto enak”, dan lain-lain, dengan mudahnya orang percaya, karena sedikitpun ingatan mereka tidak ada tentang Orde Baru. Apa yang ada di kepala mereka adalah: susu murah, pendidikan murah, musuh kita komunisme, Soeharto Bapak Pembangunan, Soeharto penyelamat bangsa. sehingga, mereka tidak punya kesempatan untuk mengingat peristiwa lain yang justru merusak sendi-sendi kehidupan orang Indonesia,” jelas Bonnie. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan