Isu Rokok, Terorisme, dan Korupsi

Tiga isu besar, yakni rokok, terorisme, dan korupsi, kini sedang diperdebatkan oleh banyak pihak. Ketiganya mengandung berbagai macam pandangan dan sikap. Namun determinan pengendali isu ini terletak pada peran negara dan ideologi para elite pemeran. Semua didasari oleh persepsi yang berbeda tentang kesenjangan sosial dan rasa keadilan. Dampak peristiwa ketiga isu tersebut mulai ketakutan hingga kematian. Semua berakibat merugikan orang banyak dan sesama hidup.

Para profesor dan kaum cerdik pandai di bidang kesehatan hampir sepakat bulat bahwa rokok merupakan faktor risiko dari berbagai macam penyakit. Langkah WHO terus berupaya dengan berbagai sumber daya untuk memerangi akibat perilaku merokok dengan menghabiskan triliunan rupiah dana untuk mengobati dan mencegah akibat risiko merokok. Berbagai ahli ekonomi kesehatan memberikan gambaran bahwa biaya untuk pengobatan penyakit akibat rokok berkisar 3-4 kali lipat dibanding pendapatan dari cukai produksi rokok. Di pihak lain, ada yang bertahan untuk meyakinkan bahwa rokok merupakan hak dan kesenangan yang tidak semata-mata merusak tubuh manusia. Sering pula mereka beralasan bahwa pembatasan peredaran rokok akan menambah pengangguran. Mereka pun beralasan, petani tembakau dan buruh pabrik rokok banyak menggantungkan kehidupannya pada industri rokok.

Setuju dan tidak setuju dalam pengendalian perilaku merokok hampir terjadi di berbagai negara. Tidak mustahil jika pihak industri dan kelompok lain yang tidak setuju dalam pengendalian merokok, dengan berbagai upaya, membendung pembatasan dan pelarangan promosi rokok. Upaya pihak yang tidak setuju dilakukan sejak dari pembuatan Undang-Undang Kesehatan, Rancangan Peraturan Pemerintah yang akan mengatur Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, dan mungkin hingga tingkat perda. Indonesia, yang berpenduduk besar, sangat potensial untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan rokok. Menurut data WHO 2008, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia jumlah perokok terbesar, setelah Cina dan India. Dari pangsa pasar yang begitu besar dan subur, perusahaan rokok menjadi salah satu sumber bisnis bagi para miliuner yang masuk 10 orang terkaya Indonesia.

Masyarakat miskin diindikasikan kelompok yang paling dirugikan oleh industri rokok. Dari berbagai laporan menunjukkan bahwa sebagian perokok, sekitar 60-70 persen, merupakan kalangan masyarakat kurang mampu. Sementara itu, faktor perilaku masyarakat belum memprioritaskan upaya pencegahan dan penanganan masalah kesehatan. Menurut beberapa data Susenas 2006, besar belanja rumah tangga miskin lebih tinggi untuk konsumsi merokok, sebesar 11,9 persen, dibandingkan dengan besar belanja keluarga kaya, yakni 6,8 persen. Bagi keluarga tertentu, mereka lebih mengutamakan belanja merokok daripada untuk kesehatan, pendidikan, bahkan membelanjakan makanan bergizi untuk anaknya.

Fatwa haram rokok mendapat respons beragam yang begitu luar biasa, baik masyarakat umum, kaum cendikia, ulama, hingga kalangan pengusaha rokok. Dampak kerugian merokok bersifat tidak langsung, dapat berkisar puluhan tahun. Ancaman bahaya ini kurang menimbulkan rasa ketakutan yang berlebih pada masyarakat. Mereka lupa pada penyakit dan kematian akibat perilaku merokok. Mereka merasa tidak membutuhkan proteksi dari bahaya ini. Sama halnya kebutuhan orang terhadap kesertaan dalam asuransi kesehatan. Banyak contoh kasus di sekitar kita. Jika belum sakit, mereka tidak merasa butuh dan tidak mengurus menjadi anggota jaminan kesehatan, baik yang bersifat gratis maupun dengan membayar premi. Padahal biaya pengobatan sangat mahal dan sulit dijangkau masyarakat biasa, apalagi yang tidak memiliki perlindungan asuransi kesehatan.

Bersamaan dengan isu fatwa rokok, isu pemberantasan terorisme lebih mendapatkan dukungan negara dan masyarakat umum. Terorisme merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memeranginya. Terorisme menjadi musuh bersama internasional. Selain itu, dampaknya dapat menimbulkan efek psikologi yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.

Dampak terorisme bersifat langsung dan menyentuh rasa kemanusiaan. Kematian, cacat, dan kesakitan yang ditimbulkan mengundang rasa belas kasihan yang dalam. Antara kejadian teror dan risiko mati serta sakit dapat langsung dikaitkan. Korban terorisme langsung mendapatkan simpati publik yang besar. Dengan demikian pihak berwenang dan masyarakat. Mereka terdorong segera mencegah dan menangani.

Korupsi merupakan isu yang setiap saat dibicarakan. Korupsi seakan ada di semua tempat dan waktu. Korupsi menjangkiti pejabat tinggi sampai hingga pejabat pedesaan. Kasus yang diungkap Susno Duadji sekarang ini semoga membuka celah untuk membongkar fenomena mafia hukum dari tingkat atas. Publik menanti dengan rasa pesimistis, karena belum ada bukti vonis berat terhadap koruptor tingkat atas, apalagi mereka yang masih berkuasa. Kasus ini mengingatkan publik pada kasus BLBI dan sejenisnya. Dana ratusan triliun tidak jelas keberadaannya. Dana sebesar itu sangat cukup untuk digunakan sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan. Selama ini anggaran sektor kesehatan masih terbatas. Jutaan warga yang kurang mendapat layanan kesehatan dan kekurangan gizi karena miskin menjadi korban tidak langsung dari korupsi. Sesungguhnya sangat dahsyat dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Korupsi bukan semata pelanggaran pidana, tapi juga pelanggaran hak asasi manusia di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Isu fatwa haram terhadap korupsi belum menjadi hal yang penting, padahal sangat dinanti oleh publik. Dampak perbuatan korupsi berskala besar dapat menimbulkan jutaan warga mengalami kesakitan, cacat, dan kematian. Salah satu isi fatwa yang ditunggu adalah sangsi yang berat atas perbuatan korupsi, karena setara dengan penyengsaraan dan pembunuhan banyak manusia yang tidak berdosa karena minimnya fasilitas kesehatan dan sosial lainnya.

Hikmah dari isu besar ini semoga dapat turut menggugah rasa kemanusiaan kita akan bahaya dan dampak ketiga fenomena yang tengah terjadi. Negara dan rakyat harus bersama-sama mencegah dan menanggulangi agar risiko rokok, terorisme, dan korupsi jauh dari kehidupan kita sekarang dan generasi yang akan datang.
 
Sunarto, dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UII, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 29 Maret 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan