Istana Diam, KY terancam

Komisi Yudisial (KY) bak anak tiri di negeri ini. Lembaga ini seakan tertatih-tatih untuk menyambung kepemimpinannya di generasi kedua. Sementara presiden masih belum menyatakan sikap tegas atas kondisi. Enggankah istana untuk “mengulurkan tangan”, membantu komisi ini ?
JIka dihitung secara matematis, usia komisioner jilid satu (2005-2010) hanya tinggal 36 hari saja. Namun hingga saat ini, proses seleksi masih saja berputar-putar pada tahapan pendaftaran calon peserta. Bahkan pansel telah menyatakan proses pendaftaran akan diperpanjang. Ironis memang, karena jika mengacu kepada Undang-Undang 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, idealnya proses ini akan memakan waktu hingga 6 bulan. Sehingga hampir dipastikan, lembaga ini akan kekosongan kepemimpinan yang akan demisioner terhitung pada 2 Agustus 2010.

Berbeda halnya dengan nasib Komisi Pemberantasan Korupsi yang  berada “ diujung tanduk” karena ulah perlawan koruptor ( corruptor fights back). Nasib Komisioner Yudisial justru terancam karena tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Kondisi ini menyajikan sebuah fakta, bahwa sebagai kepala negara, Presiden telah melalaikan kewajiban konstitusionalnya.
Keterlambatan proses seleksi yang berujung pada kekosongan kepemimpinan Komisi Yudisial merupakan sesuatu hal yang tidak bisa ditolerir. Haram hukumnya jika Presiden “lupa” dengan agenda rutin ini. Apalagi Jika melihat komposisi Pemerintahan diisi dengan kabinet yang serba “komplit”  mulai dari menteri hingga staf khusus presiden.
Jelas sekali,  bahwa Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi sosok tunggal yang paling bertangungjawab terhadap permasalahan ini. paling tidak, ada 3 fakta yang menunjukkan kelalaian presiden terhadap kewajibannya konstitusionalnya.  
Pertama, Pembentukan Pansel yang terlambat dari jadwal semestinya. Jika pemerintah serius dalam melakukan peralihan Komisi Yudisial  jilid II ini, maka setidaknya panitia seleksi ini sudah terbentuk pada Februari 2010. Namun kenyataannya, pansel baru terbentuk pada tanggal 23 April 2010 melalui Keppres No 5 tahun 2010. Parahnya lagi, Presiden baru “tersadar” akan tugas dan tanggungjawabnya setelah Koalisi Pemantau Peradilan mendesak Presiden untuk segera membentuk dan melantik pansel komisioner KY. Karena Koalisi melihat, waktu peralihan yang semakin dekat, namun pansel belum juga terbentuk. Desakan ini berbuah pada terbentuknya pansel,  minus 2 bulan menjelang habisnya masa jabatan Komisioner jilid I.
Dengan waktu yang sangat kasip, akan sangat sulit kiranya pansel akan mampu melakukan proses seleksi tepat waktu. Karena Undang-Undang telah  mengatur rincian serta tahapan proses seleksi tersebut. Oleh karenanya  tidak mungkin salah satu tahapan akan diabaikan, jika hendak “memaksakan” untuk selesai tepat waktu. Terkecuali jika pemerintah dan pansel memilik inovasi dan terobosan untuk mengejar ketertinggalan. Namun, jika menakar keseriusan pemerintah hari ini, agaknya sulit mengharapkan hal tersebut bisa terjadi.
Padahal, Keberadaan Komisi ini sangat strategis untuk memberantas mafia hukum, yang tubuh subur di sektor Peradilan. Apalagi jika melihat catatan Global Corruption Barometer, Pada tahun 2008, sektor Pengadilan menduduki peringkat kedua setelah parlemen, sebagai institusi potensial korup. Dengan kewenangan yang dimilikinya, KY menjadi menjadi sangat penting keberadaannya. Apalagi melihat sepak terjangang Komisi Yudisial selama 5 tahun belakangan ini terbilang tidaklah mengecewakan. Beberapa kasus para mafia di Pengadilan berhasil terungkap.
Sehingga, ketidakseriusan untuk membangun KY sama halnya dengan tidak serius dalam memerangi mafia hukum. Patutlah kita khawatir, jika pernyataan perang terhadap korupsi dan keinginan untuk memberantas mafia hukum yang diwujudkan dengan pembentukan satgas hanyalah kamuflase belaka.
Kedua, Anggaran Pansel yang tak kunjung diturunkan. Pasca terbentuk, Ketua pansel, Harktistuti Harkrisnowo sudah mengajukan anggaran sebesar 6 M kepada pemerintah. Namun hingga dua bulan berjalannya pansel, anggaran untuk melaksanakan proses seleksi belum juga diturunkan.
Anggaran yang tak kunjung turun pada gilirannya akan sangat mempengaruhi tahapan proses seleksi ini. Pansel tidak akan bisa melaksanakan tahapan seleksi dengan baik, karena tidak ada dukungan logistik dari pemerintah. Padahal pembentukan dan pengajuan anggaran seleksi KY sudah lebih dahulu jika dibanding pansel KPK. Namun, kenyataannya pansel KPK lah yang lebih dahulu direalisasikan anggaran seleksinya.
Ketiga, Ketidakseriusan pemerintah semakin nyata karena pansel KY dipimpin oleh seorang dirjen. Bertolak belakang dengan pansel KPK yang dipimpin oleh seorang menteri. Bagaimanapun posisi tawar ( bargaining posisition) seorang menteri jauh diatas dirjen. Apalagi terhadap seleksi komisioner KY yang sudah berada diujung tanduk. Maka kebutuhan terhadap pimpinan pansel dengan posisi tawar yang kuat, semakin dibutuhkan. Tidak bisa dipungkiri, Komposisi pansel KY ini, menjadi salah satu tolak ukur keseriusan pemerintah dalam “meyelamatkan” KY.
Ketiga fakta diatas menunjukkan kelalaian presiden dalam menjalankan amanat konstitusi. Tidak hanya itu, hal ini semakin menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola setiap agenda rutin negara ini.
Atas kelalaian tugas dan kewajibanya, maka DPR hendaknya memanggil dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Karena hal ini bagian dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Bagaimanapun, Presiden selaku kepala negara adalah sosok yang paling bertanggungjawab atas permasalahan ini. sehingga harus dimintai pertanggungjabannya pula.
Pemanggilan oleh DPR akan menjadi stimulus dan desakan politis untuk mempercepat proses selaksi KY. Sembari mengingatkan presiden yang barangkali “lupa” akan kewajiban konstitusionalnya. Karena jika istana diam, maka dipastikan KY terancam.
Oleh: Donal Fariz, Peneliti Hukum ICW, Anggota Koalisi Pemantau Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, Juli 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan