Ironi Kriminalisasi

Pemerintahan tanpa stabilitas tidak mungkin. Namun, jika stabilitas dianggap sebagai norma tertinggi dalam pemerintahan, segera akan lahir kesulitan. Dalam keadaan stabil, kecenderungan berpikir formal menjadi kuat, berjalan seperti biasa.

Cara berpemerintah (dan bernalar) secara formal tampak jelas mengapa pihak-pihak yang berwenang tidak mudah memahami gejala yang oleh umum disebut kriminalisasi KPK. Hal yang sederhana, tetapi tidak mudah dimengerti. Atau tepatnya, jika dilihat secara formal/normatif, kasus KPK/Polri tidak akan tampak sebagai ”masalah” politik. Maksudnya?

Makna kriminalisasi
Kriminalisasi pejabat negara tak hanya terkait penegakan hukum. Seperti saat presiden Amerika Serikat ingin membuka file CIA untuk penyiksaan dalam interogasi tawanan perang, reaksi keras muncul karena dengan rencana itu akan terjadi kriminalisasi seluruh prosedur intelijen AS. Masalah menjadi gawat karena teknik penyiksaan dituangkan dalam pedoman kerja yang diparaf kepala negara dan kehakiman. Artinya? Teknik penyiksaan yang melanggar hak asasi itu secara formal tanpa masalah, tetapi secara moral penuh masalah. Kasus seperti inilah yang ujungnya adalah pengadilan kriminal di Den Haag (ICJ) untuk kriminal melawan kemanusiaan.

Secara legal, begitulah duduk perkara kriminalisasi sebuah kebijakan politik yang sah secara formal prosedural dan nasional. Namun, selain secara legal, ada pergeseran lebih penting dalam tata pergaulan politik dewasa ini. Jika politik konvensional tak lain adalah penentuan kawan/lawan, politik zaman sekarang sedang menghadapi paradigma khusus yang muncul di abad XX. Politik bukan saja sekadar mengurusi konflik kepentingan (arti konvensional), yang lalu dapat diteruskan dengan perang jika perlu (penggunaan kekerasan). Politik harus menghormati kemanusiaan, atau manusia sebagai manusia, dan manusia tidak pernah dijadikan alat dalam politik.

Prinsip kemanusiaan sebagai tujuan mutlak (dan bukan sekadar alat) itulah yang dianut saat ini. Itulah yang disebut Kantianisme yang humanistik. Itulah yang menjelaskan mengapa reaksi amat luas atas tindakan Polri dalam kasus KPK. Kemanusiaan yang secara ”sah dan resmi” dilanggar Polri itulah yang tampaknya dirasakan masyarakat luas.

Di bawah konsep kriminal melawan kemanusiaan itulah dalam skala kecil dapat dimengerti apa maksud kriminalisasi KPK. Jadi bukan sekadar soal cicak lawan buaya, bukan juga sekadar upaya melemahkan KPK oleh mereka yang terganggu aktivitas lembaga khusus ini.

Dalam konflik kekuasaan antarlembaga negara (Polri, kejaksaan, dan KPK), hal semacam itu dapat dan mungkin terjadi. Anda lebih mudah memahami kriminalisasi jika memerhatikan sikap politik teroris yang membunuh sambil meng-”kafir”-kan musuh. Mengingat KPK adalah lembaga khusus, maka pukulan terhadap KPK dengan cara seperti itu segera mendapat reaksi luas. Tindakan Polri telah meneror masyarakat.

Pelajaran politik
Dari semua yang terjadi itu muncul pelajaran politik yang amat berharga. Pelajaran itu muncul dari program pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi. Artinya, agar alat pemerintahan ditempati orang yang tepat, lembaga tinggi negara ditempati oleh mereka yang mengenal baik bahwa statecraft bukan sama sebangun dengan urusan organisasi swasta, seperti perusahaan!

Mengingat TNI sekarang sudah kian profesional (dalam arti penjaga keamanan negara) dan polisi adalah penjaga ketertiban dalam negeri, maka tuntutan profesionalisme polisi akan semakin kuat. Profesionalisme Polri bukan sekadar penguasaan keahlian tukang bengkel, tetapi polisi tak bisa lain dituntut memberi contoh bagaimana menghadirkan prinsip hukum secara layak dalam demokrasi. Dan apa pengertian hukum dalam negara demokrasi?

Asas dasarnya hanya satu, yakni ”kepantasan”. Sistem hukum dimaksudkan untuk memungkinkan keadilan yang penuh ”kepantasan” ditegakkan. Pihak yang memungkinkan secara substansial kepantasan itu tegak tak lain adalah Polri dan penegak hukum lainnya. Jadi, reaksi keras dan meluas atas tindakan polisi terhadap KPK, suka atau tidak, adalah karena asas subtil ”kepantasan” telah dilanggar. Itulah sejatinya kriminalisasi KPK.

Kembali ke dasar
Untuk menghindarkan diri secara kolektif tenggelam dalam arus liar membingungkan, sebaiknya dicatat tiga asas berikut.

Pertama, legalisme demokratik berdasarkan paham Kantian yang humanistik, seperti semboyan Brimob yang berbunyi ”jiwa ragaku untuk kemanusiaan”.

Kedua, kepantasan adalah kaidah juristik yang harus dipahami semua penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim). Dan mereka harus memberi contoh tegaknya aturan hukum itu.

Ketiga, mengingat kasus KPK/Polri terjadi dalam proses reformasi birokrasi, maka semua pejabat negara harus memahami, statecraft jauh beda dengan sekadar keterampilan tata kelola (SOP) yang formal, tekstual, dan normatif.

Emmanuel Subangun Sosiolog

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan