Irman Gusman dan Efek Jera bagi Koruptor

Saat Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada September lalu setelah menerima Rp 100 juta terkait dengan impor gula oleh perusahaan swasta, masyarakat diingatkan kembali bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia belum maksimal. Penangkapan oleh KPK, dari legislator Damayanti hingga Irman Gusman, perlu diapresiasi, tapi kualitas penangkapan belum menimbulkan efek jera yang optimal.

Tentu kita masih ingat bahwa KPK pernah menangkap sekitar 20 anggota DPR di Komisi Keuangan yang strategis, menahan Ketua Mahkamah Konstitusi, serta mengadili beberapa menteri di portfolio strategis, seperti Menteri ESDM dan Menteri Agama. Tidak mengherankan bila KPK memperoleh apresiasi dari dunia internasional, seperti penghargaan Magsaysay Award pada 2013. Akademikus internasional juga mengakui bahwa, dengan sumber daya terbatas, KPK sangat efektif dalam melakukan prosekusi terhadap figur-figur politik berpengaruh (Butt 2011, Schutte 2012).

Di sisi lain, pemerintah saat ini lebih memfokuskan sumber daya ekonomi dan politiknya dalam pembangunan infrastruktur, seperti proyek pembangkitan listrik 35 ribu megawatt yang diluncurkan pada Mei 2015. Selain itu, pembiayaan investasi infrastruktur menjadi prioritas pemerintah dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendapatkan alokasi dana terbesar dalam APBN 2016 sebesar Rp 104,1 triliun.

Pada saat yang bersamaan, terjadi upaya pelemahan terhadap KPK, terutama dengan melemahkan wewenangnya, dengan upaya revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan oleh DPR hingga Februari 2016 (ICW 2016). Menteri Hukum dan HAM mewacanakan pula untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pemberian remisi guna memperingan pemberian remisi bagi koruptor. Tentu saja melegakan saat mendengar jaminan dari Presiden Joko Widodo di hadapan para pakar hukum pada 22 September lalu yang memastikan akan menolak revisi peraturan tersebut.

Namun tindakan reaktif tersebut, walaupun baik, belum cukup untuk memperbaiki efek jera terhadap koruptor. Bahkan, dalam survei dari CSIS terakhir pada Agustus 2016, peneliti mengidentifikasi bahwa korupsi dalam pemerintah berada pada urutan kedua sebesar 48,6 persen sebagai sumber pesimisme masyarakat akan masa depan Indonesia. Penelitian oleh Anna Persson dkk. (2013) mengidentifikasi kegagalan inisiatif antikorupsi di negara dengan masalah korupsi sistemik adalah tidak adanya usaha pembangunan institusi politik secara keseluruhan, baik di dalam eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Untuk melakukan pekerjaan raksasa tersebut, menurut Susan Rose-Ackerman dan Bonnie Palifka di dalam bukunya, Corruption and Government (2016), perlu diperkuat kelompok progresif untuk mendorong reformasi institusi politik secara bertahap dalam kondisi negara yang normal. Sebab, resistansi dari kelompok kepentingan akan sangat kuat. Artikel "The Politics of Corruption in Indonesia" dari Howard Dick dan Jeremy Mullholland (2016) mengidentifikasi bahwa pihak yang paling resistan terhadap pemberantasan korupsi oleh KPK adalah aparat penegak hukum dan DPR.

Koalisi efektif antara pemerintah dan KPK sudah pernah terjadi saat Sri Mulyani menjabat Menteri Keuangan pada 2005-2010. Saat itu pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk ukuran institusi baru seperti KPK, sehingga dapat menjalankan proses pembangunan kapasitas dalam melakukan investigasi dan prosekusiyang terbukti cukup efektif hingga saat ini. Selain itu, Kementerian Keuangan beberapa kali membantu KPK dalam melakukan inspeksi mendadak guna menangkap aparat Bea-Cukai yang melakukan pungutan liar pada Juni 2008.

Saat menjabat Wali Kota Solo, Joko Widodo dikenal dengan usahanya membenahi birokrasi pemerintah sehingga diberi penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2010. Dalam forum internasional, sebagai presiden, Jokowi juga turut berkomitmen dengan negara lain yang tergabung dalam G-20 untuk melaksanakan rencana aksi antikorupsi pada 2015-2016. Salah satu prioritas utamanya adalah isu penyuapan serta penerapan transparansi dan integritas di sektor publik.

Diangkatnya figur Kepala Polri baru dengan reputasi baik, yakni Jenderal Tito Karnavian, dan kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan tentunya akan memperkuat kelompok progresif di dalam pemerintah, seperti disyaratkan oleh Ackerman dan Palifka. Melalui momentum penangkapan Irman Gusman, diharapkan trisula Presiden, Kapolri, dan Menteri Keuangan bekerja sama dengan KPK dapat memberikan energi baru untuk efek jera yang besar terhadap koruptor. Tentu saja jika hal ini dilaksanakan dengan kebijakan yang lebih proaktif, baik aspek pencegahan maupun penindakan, terutama terhadap kasus korupsi berskala besar.

Vishnu Juwono Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia 
-----------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 3 Oktober 2016, di halaman 11 dengan judul "Irman Gusman dan Efek Jera Bagi Koruptor".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan